OPINI–Di tengah riuh dan padatnya jadwal kegiatan atau runititas masyarakat Indonesia, pariwisata Berau atau yang dikenal dengan sebutan Bumi Batiwakkal menjadi salah satu penyumbang pariwisata negeri.
Untuk memperkenalkan dan mendatangkan pengunjung ke Maratua, Berau. Pemerintah mendukung penuh diadakannya festival musik yang digelar di pulau Maratua. Event ini merupakan bagian dari komitmen terhadap kemajuan pariwisata di Bumi Batiwakkal, dan diharapkan konsistensinya sehingga mampu menjadi daya tarik wisatawan.
Pengembangan wisata ini dalam rangka menggerakkan ekonomi Indonesia serta turut menjadikannya sumber pendapatan negara. Kabid Pemasaran dan Kerjasama Disbudpar Berau Hotlan Silalahi menyatakan “Komitmen Pemkab dalam hal ini sudah berkolaborasi dengan instansi lain agar festival maupun acara lainnya bisa dikemas sedemikian bagus, agar di sekitarnya pun bisa merasakan dampaknya. Seperti UMKM dan pelaku usaha resor hingga transportasinya,”
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi pariwisata yang sangat besar, baik melalui kebudayaan, makanan, produk kerajinan khas daerah hingga kekayaan alam yang beraneka ragam. Dalam sistem kapitalisme pariwisata dipandang sebagai obyek sumber pendapatan negara. Sehingga program yang dibuat berfokus pada penambahan pendapatan bagi berlangsungnya pengembangan ekonomi sebuah daerah, serta program pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Jika melihat program yang ada, maka dapat difahami bahwa program tersebut tidak melakukan pertimbangan selain pada sektor ekonomi. Cara pandang yang sekuler kapitalistik telah menjadikan sektor pariwisata hanya bertumbuh atas nama kepentingan ekonomi.
Padahal, mengundang wisatawan ke Pulau Maratua justru sekaligus dapat mentrasfer kebudayaan mereka ke dalam negeri, dan merugikan rakyat, disebabkan kemaksiatan dan liberalisasi yang terjadi di sekmen sosial budaya. Pertimbangan akan masuknya pemikiran liberal dan gaya hidup yang sangat membahayakan kehidupan sosial masyarakat bukan menjadi pertimbangan dan program urgen bagi negara dan pemerintah daerah. Cara pandang ini tentu mengancam hilangnya budaya asli negeri.
Berdalih pada semua ini untuk lapangan kerja dan ekonomi rakyat acap kali sekedar menjadi pemanis. Sebab, aktor yang paling diuntungkan dengan pengembangan kawasan wisata adalah mereka yang memiliki modal besar atau para kapitalis.
Fakta yang pernah ada, bagi masyarakat sekitar yang tidak berharta dan hanya bermodalkan lahan kecil, nyatanya banyak yang mengalami penggusuran dengan alasan wajib ikut menyukseskan pembangunan. UMKM pun tergusur oleh pembisnis-pembisnis besar pariwisata yang ada baik lokal maupun luar daerah.
Dalam islam pariwisata merupakan bagian obyek dakwah untuk menguatkan keimanan. Keindahan alam yang ada mejadikannya tempat mengindra ciptaan dan keagungan Sang Khaliq. Serta sarana dakwah Islam, dan bukan menjadi sumber utama pemasukan negara.
Pariwisata pun menjadi tempat untuk memperkenalkan budaya Islam yang cantik dan menawan sehingga para turis akan semakin memahami Islam. Sungguh disayangkan, jika pemerintah memilih memperkenalkan pariwisata sekedar dalam rangka pertumbuhan ekonomi semata.
Negara harus mampu mengokohkan ekonomi masyarakat serta mengontrol masuknya budaya luar yang memberikan dampak negatif. Dan tidak menjadikan pariwisata hanya sebatas sektor ekonomi penambah pendapatan daerah atau negara. Sangat diperlukan membenahi landasan tata kelola sektor pariwisata agar kembali memiliki fungsi utamanya.