Oleh : Syafa’at Anugrah (Pemerhati Pendidikan / Mahasiswa Program S3 Ilmu Hukum Unhas)
OPINI — Munculnya pemberitaan terhadap UPT SMA Negeri 7 Pinrang yang diduga melakukan pungutan terhadap orang tua siswa mengakibatkan timbulnya polemik di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, hal ini juga berdampak terhadap gagal pahamnya sebagian masyarakat, terutama yang terkait dengan keberadaan komite sekolah sebagai bagian dari unsur pelayan pendidikan.
Selaku pemerhati pendidikan, penulis merasa perlu memberikan pemahaman sekaligus pencerahan kepada sebagian masyarakat yang mungkin belum memahami mengenai esensi dari komite sekolah itu sendiri.
Komite Sekolah yang dahulu bernama Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) merupakan sebuah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
Adapun frasa “peduli pendidikan” dalam definisi komite sekolah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, memberikan penafsiran bahwa keberadaan komite sekolah berorientasi kepada peningkatan mutu dan kualitas pelayanan pendidikan.
Salah satu elemen penting dalam mewujudkan peningkatan mutu dan kualitas pelayanan pendidikan adalah melalui sumbangan pendidikan atau bantuan pendidikan, bukan “pungutan pendidikan” (sebagaimana dipersoalkan sejauh ini).
Perbedaan mendasar antara sumbangan, bantuan, dan pungutan jelas tersurat dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Sumbangan pendidikan adalah pemberian uang/barang/jasa oleh peserta didik, orang tua/walinya baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan.
Bantuan pendidikan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orang/tua walinya, dengan syarat yang disepakati para pihak.
Sedangkan pungutan pendidikan adalah penarikan uang oleh sekolah kepada peserta didik, orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan.
Dari ketiga istilah tersebut, isi aturan hanya membenarkan bahwa komite sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya yang berbentuk: “bantuan dan/atau sumbangan”; bukan “pungutan”.
Pada pelaksanaannya, seringkali terdapat perbedaan paham di antara orang tua siswa. Di sinilah peran penting dari komite sekolah untuk meluruskan perbedaan pemahaman ini. Ketika orang tua siswa masih belum paham terhadap penjelasan dari komite sekolah, mereka dapat menyalurkan aspirasinya kepada Dewan Pendidikan sebagai lembaga yang menerima aspirasi dan keluhan terkait masalah pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
Kalau Dewan Pendidikan berperan aktif dalam menerima keluhan dan aspirasi masyarakat terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, penulis sangat meyakini bahwa tidak ada lagi bibit-bibit fitnah yang muncul dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan ini.
Akhirnya, esensi keberadaan komite sekolah merupakan sebuah berkah yang luar biasa jika mampu dimanfaatkan semaksimal mungkin. Karena Negara hanya mampu berkorban 20% (dua puluh persen) untuk memajukan pendidikan di Indonesia, selebihnya adalah pengorbanan dari orang tua siswa melalui komite sekolah. (*)