OPINI — Mencermati updating data kasus terkonfirmasi positif Covid-19 berdasarkan hasil pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) atau pemeriksaan swab lendir per Rabu, 8 April 2020, pukul 15.52 WIB yang telah menyentuh angka 2.956 kasus; 222 orang di antaranya yang sembuh dan 240 orang yang tutup usia, membuktikan bahwa penyebaran dan penularan virus corona masih terjadi di masyarakat. (Kompas.com)
Pemerintah pun berharap seluruh masyarakat mematuhi pemerintah agar penyebaran Covid-19 tidak meluas. Ini mesti didukung oleh semua pihak tanpa terkecuali dengan membumikan spirit “kekamian” dan “kesadaran kolektif”.
Membumikan spirit “kekamian” atau “kesadaran kolektif” dalam kehidupan publik adalah sebuah keharusan, lebih-lebih di tengah merebaknya virus corona.
Spirit itu dapat dirasakan saat mentadabburi ayat 5 surah Al-Fatihah, khususnya kalimat “na’budu” dan “nasta’in”, dan lebih khusus lagi karena sang pemilik kalam menggunakan dhamir mutakallim ma’ al-ghair, yaitu “kami”, bukannya menggunakan dhamir mutakallim wahdah, “saya”.
Ayat ini antara lain menyemangati kita untuk menjadi hamba Allah secara kolektif, bukan hamba seorang diri. Mengapa demikian? Karena Allah hendak menyadarkan kita bahwa Islam adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Karena itu, meski shalat sendirian, tidak boleh mengubah kalimat “na’budu” menjadi “a’budu” dan “nasta’in” menjadi “asta’in”. Ini isyarat bahwa saya dan Anda adalah bagian dari umat dan tidak sendirian dalam hidup ini.
Itu sebabnya mengapa Nabi menganjurkan
shalat berjemaah. Karena ia merupakan salah satu simpul yang mempersatukan berbagai perbedaan sosial para jemaah, baik ekonomi, kedudukan, jabatan, pangkat, ras, dan etnik serta tua-muda dan lain-lain.
Problem masyarakat kebanyakan saat ini adalah masih sering terjebak pada debat hal-hal yang sifatnya tidak prinsip dalam shalat berjemaah, sehingga berpotensi membuat perpecahan dan meminggirkan spirit utama dari shalat berjemaah: keberjemahaan, padahal sejatinya ibadah mencakup segala kegiatan yang mulia dan terhormat serta benar dalam pandangan Allah yang dalam konteks sosial, ibadah adalah al-akhlaaq al-kariimah (kepribadian yang mulia).
Akibatnya, bukan hanya muncul jemaah-jemaah kecil, tetapi juga berjemaah dipahami hanya identik dan terjadi di masjid. Ketika jemaah kecil ini keluar dari masjid, maka spirit keberjemaahan itu hilang dan hanya menjadi pribadi-pribadi yang mengancam kehidupan dan ajaran sosial yang telah tertata secara apik di publik.
Saat ini masyarakat dunia tengah berjuang mengatasi penyebaran covid-19. Maka spirit “kekamian” dalam rangka mengakhiri musibah global yang kita rasakan saat ini dengan cara membumikan kesadaran kolektif meskipun dalam bentuknya yang sederhana seperti mematuhi imbauan untuk tetap stayathome jika tidak ada kebutuhan penting dan mendesak, disiplin menjaga jarak pisik (physical distancing, bukan social distancing) dan menghindari kerumunan yang memudahkan virus bermutasi juga merupakan ibadah/pengabdian yang nilai dan derajat kebermanfaatannya tidak kalah dengan shalat berjemaah (terutama berjemaah jumat) di masjid. (*)
Parepare, stayathome, 9 April 2020
03.30 AM