Oleh: Aditya Putra (Dosen Universitas Syekh Yusuf Al-Makassary dan Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin)
Kreatif. Kata ini seperti mantra yang selalu muncul pada setiap usaha manusia untuk mencapai tingkatan kehidupan yang lebih baik. Cropley (1999) mengatakan bahwa menjadi kreatif pada dasarnya adalah bagaimana melakukan sesuatu dengan cara yang baru (novel), dan efektif, untuk mencapai hal yang diinginkan.
Menjadi kreatif kemudian merujuk kepada 4 aspek, yaitu proses seperti misalnya proses berpikir kreatif, kemudian karakteristik seperti misalnya kepribadian, hasil atau produk kreativitas, dan lingkungan yang mendukung ataupun menghambat kreativitas tersebut.
Lingkungan sebagai aspek kreativitas ini yang kemudian dieksplorasi lebih lanjut dalam bentuk Kota Kreatif atau ”creative city”, sebuah konsep yang pertama kali dikeluarkan oleh David Yencken, mantan Sekretaris Perencanaan dan Lingkungan Provinsi Victoria di Australia pada tahun 1988, ketika ia menyebut bahwa sebagai sebuah lingkungan yang mewadahi sekelompok besar orang-orang, sebuah kota, selain harus efisien dan adil, namun juga harus berkomitmen untuk ”mendorong kreativitas di antara warganya, dan menyediakan lingkungan serta pengalaman yang memuaskan untuk mereka”.
Konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh Charles Landry (2000), dengan melibatkan berbagai aspek seperti keterbukaan pikiran, motivasi untuk mengambil risiko, memiliki tujuan jangka panjang dengan strategi yang matang, kemampuan untuk bekerja dengan keunikan lokal, dan kemauan untuk mendengarkan dan belajar, sebagai karakteristik sebuah kota kreatif. Hingga kini, konsep ini sudah mengalami perkembangan, dengan melibatkan ”soft factors’ seperti keunikan dan identitas lokal, pertukaran ide dan pengetahuan, hingga kedekatan sosial dan keragaman, untuk melengkapi ”hard factors” seperti infrastruktur dan kebijakan pembangunan.
Kota Kreatif menjadi konsep pembangunan kota yang tidak hanya menitik-beratkan pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik, namun mutlak mensyaratkan karakteristik serta interaksi masyarakat sebagai sumber daya yang sifatnya intangible.
Dalam sejarahnya, creative cities ini sudah terbukti memiliki daya tarik yang kuat. Mulai dari Paris dengan berbagai istana dan tamannya, Venesia dengan daya tarik akuatik dan tuan rumah berbagai festival film maupun musik, hingga Tokyo yang bagaikan kanvas seniman yang menjadi hidup, dengan kegiatan budaya, jalanan yang dipenuhi seni mural, dan lalu-lalang orang-orang berkostum karakter-karakter terkenal.
Banyak kota-kota seperti ini yang memiliki kualitas serupa yang membuat mereka memikat dan menakjubkan bagi orang-orang yang pernah mendatanginya, hingga UNESCO sendiri sampai merasa bahwa jenis kota seperti ini adalah bentuk alternatif pembangunan kota yang mendukung agenda ”2030 Untuk Pembangunan Yang Berkelanjutan”, dan membentuk UNESCO Creative Cities Network (UCCN) atau Jaringan Kota Kreatif UNESCO untuk mempromosikan kerjasama antara kota-kota yang menempatkan kreativitas sebagai faktor strategis dalam pembangunan ini.
Seleksi untuk dapat masuk ke dalam jejaring UCCN sendiri tergolong sulit. Setiap tahunnya, negara yang ingin memasukkan kotanya hanya bisa mendaftarkan maksimal 2 kota. Itupun masih perlu melewati tahapan evaluasi dari dewan khusus yang telah ditetapkan oleh UCCN. Apabila kota tersebut memenuhi kriteria pada salah satu dari 7 kategori kota kreatif, entah pada bidang kerajinan dan seni rakyat, seni media, film, desain, gastronomi, sastra, ataukah musik, maka barulah kota tersebut bisa menjadi anggota UCCN.
Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh apabila sebuah kota mampu menjadi anggota UCCN. Dengan jumlah kota anggota yang kini mencapai lebih dari 350 kota, jejaring UCCN menawarkan berbagai manfaat. Mulai dari praktik-praktik berbagi pengalaman dan pengetahuan, proyek percontohan serta kemitraan dengan beragam stakeholder, program pertukaran pelaku profesional maupun artistik, hingga pada tataran pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih efektif dan efisien.
Hingga kini sudah ada 5 kota di Indonesia yang berhasil masuk menjadi anggota UCCN. Kota pertama yang menjadi anggota UCCN pada tahun 2014, yaitu Pekalongan, terkenal dengan industri kreatif batik. Kerajinan tangan, baik batik tulis maupun batik cap tangan, adalah sumber utama perekonomian kota ini. Berikutnya yaitu kota Bandung, kota yang menjadi anggota UCCN pada tahun 2015, adalah pusat kreativitas dan inovasi di provinsi Jawa Barat. 56 persen dari kegiatan ekonomi kota ini bersumber dari fashion, desain grafis, dan media digital. Bahkan sudah ada 8 kelurahan di kota tersebut yang ditetapkan sebagai desa kreatif.
Menyusul kota Ambon pada tahun 2019 sebagai kota ketiga. Musik adalah passion bagi penduduk kota ini, bukan hanya sebagai gaya hidup, namun juga sebagai sumber penghasilan. Bersandingan dengan pariwisata, musik mampu menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi, berkontribusi lebih dari 10 M IDR setiap tahunnya bagi kota ini. Dengan melimpahnya talenta seniman, kota Ambon dapat mempromosikan musiknya, baik pada skala nasional hingga internasional melalui berbagai acara seperti Konferensi Musik Indonesia, Simposium Musik Nasional, hingga pada Konvensi Musik Internasional Amboina.
Kota Jakarta, yang diterima menjadi anggota UCCN pada tahun 2021, adalah rumah bagi industri kreatif Indonesia, terkhusus industri penerbitan. Pada tahun 2020, Jakarta menjadi basis dari 60 persen penerbit di Indonesia. Selain menjadi tempat dari berbagai situs seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Perpustakaan Nasional, banyak dari penulis terkenal Indonesia yang juga bermukim di kota ini. Sedangkan yang terbaru menjadi anggota UCCN pada tahun 2023, yaitu Solo, terkenal dengan berbagai seni pertunjukan dan budaya.
Beragam event seperti Solo Menari, Solo Keroncong Festival, hingga Solo International Performing Arts (SIPA), berhasil meraih perhatian bukan hanya wisatawan lokal, namun juga wisatawan internasional. Tidak hanya itu, kota ini juga berhasil melestarikan berbagai kebudayaan lokal seperti pagelaran wayang orang, kethoprak, dan wayang kulit, dengan menyediakan ekosistem seperti tempat menonton seni pertunjukan yang sangat mencerminkan budaya Solo, mulai dari Taman Budaya Jawa Tengah, Pura Mangkunegaran, hingga Lokananta.
Ekonomi kreatif yang menjadi karakteristik kota kreatif juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Data dari Kemenparekraf memperlihatkan bahwa sektor ini adalah sektor dengan pertumbuhan tercepat di dunia, menyumbang sekitar 3 persen dari GDP (Gross Domestic Product) global dan menyerap sekitar 30 juta pekerja. Di Indonesia sendiri, sektor ekonomi kreatif berkontribusi sebesar 82 M USD (atau sekitar 1.3 T IDR) pada GDP nasional.
Menjadi kota kreatif tampak seperti sebuah solusi konsep pembangunan yang ideal bagi kota-kota yang tidak memiliki sumber daya alam yang memadai seperti halnya kota Parepare. Apalagi konsep pembangunan seperti ini, selain bersifat sustainable atau berkelanjutan, juga menawarkan kebebasan untuk memilih dari beragam alternatif model kota kreatif.
Diluar konsep pariwisata konvensional, ada model-model ekonomi kreatif di berbagai kota yang dapat dijadikan acuan. Sebagai contohnya, ada distrik 798 Art Zone di kota Beijing yang awalnya adalah lahan bekas pabrik militer. Ada juga The Westergasfabriek di kota Amsterdam, sebuah etalase budaya yang dulunya adalah kompleks pabrik ekstraksi gas, dan kini menawarkan wisata kultural serta budaya.
Ekonomi kreatif juga tidak melulu dalam bentuk pameran seni. Kreuzberg and Prenzlauer di kota Berlin menjadi terkenal, bukan hanya karena berbagai kafe dan restoran, namun juga karena distrik ini merupakan lingkungan kerja untuk beragam professional seperti artis, desainer, arsitek, hingga pengacara, jurnalis, dan blogger.
Gaya hidup dan atmosfer yang dinamis menjadi daya tarik mengapa distrik ini menjadi salah satu destinasi yang sering dikunjungi. Dan jangan lupakan Lembah Silikon (Sillicon Valley) di California, yang menjadi rumah bagi beragam perusahaan elektronik dan komputer.
Parepare punya banyak potensi untuk menjadi kota kreatif. Mulai dari potensi yang sifatnya tangible, seperti letak geografis, kontur, hingga ragam obyek wisata, maupun potensi intangible seperti karakteristik masyarakatnya yang inklusif dan ramah.
Yang diperlukan saat ini adalah keinginan kuat dari semua pemangku kepentingan untuk mewujudkannya. Karakteristik kota kreatif tercermin bukan hanya pada fisik kota, namun pada semua aspek kehidupan yang berjalan di kota tersebut. Ini adalah sebuah kesatuan yang saling mewujudkan; masyarakat yang kreatif akan menghasilkan kota yang kreatif, yang pada kelanjutannya akan mendukung lahir dan berkembangnya generasi kreatif, dan seterusnya.
Oleh karena itu, kita tidak bisa memandang kreativitas sebagai sesuatu yang sifatnya parsial atau terpisah-pisah. Baik sebagai sebuah karakteristik, sifat, maupun produk dan lingkungannya, mutlak berada pada sebuah ekosistem yang mendukung.
Ekosistem ini sebenarnya syarat paling penting dalam menyemai benih kreativitas. Saat ini kota Parepare dapat dikatakan memiliki berbagai hasil pembangunan yang menunjang sebagai sebuah ekosistem kota kreatif. Memilih arah pembangunan dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan, pariwisata, dan kesehatan adalah awal yang paling sesuai, karena selain minim pencemaran lingkungan, juga sesuai dengan potensi kota itu.
Berbagai kerja pembangunan, baik dalam bentuk sarana dan infrastruktur, maupun dalam bentuk regulasi, berada dalam sebagai sebuah kesatuan.
Sebagai contoh, pembangunan di sektor pariwisata, seperti Tonrangeng Riverside, Anjungan Cempae, Alun-Alun Kota, maupun renovasi stadion Gelora B.J Habibie, juga didukung dengan penyelenggaraan event tahunan seperti festival Salo Karajae, menjadi magnet bukan hanya untuk menarik pendatang yang memang ingin berwisata, namun juga penunjang sektor health tourism maupun sektor pendidikan.
Di sisi lain, pembangunan di sektor pendidikan kemudian berguna untuk menyediakan sumber daya manusia yang mampu menunjang sektor-sektor lainnya tersebut.
Konsep pembangunan ini mutlak mesnyaratkan kesatuan dari hulu hingga hilir. Berkaca dari kota Solo misalnya, dengan menyadari potensi mereka sebagai kota budaya dan seni, maka pembangunan di kota tersebut menitik-beratkan pada infrastruktur maupun sarana yang memang menunjang untuk budaya dan seni, seperti pembangunan taman budaya maupun sarana-sarana publik yang menjadi tempat pertunjukan seni tersebut.
Kota Pekalongan bahkan melangkah lebih jauh, dengan cara mengintegrasikan budaya yang menjadi ciri khas mereka, yaitu budaya batik, ke dalam bagian dari kurikulum pendidikan di sekolah. Sehingga penduduk di kota tersebut bukan hanya terbiasa dengan budaya batik, namun juga sudah mampu membatik sejak usia dini. Langkah seperti ini yang perlu ditiru oleh kota Parepare, bagaimana pembangunan bisa memaksimalkan karakteristik ciri khas masyarakat.
Ini sebenarnya adalah pekerjaan rumah bagi semua pemangku kepentingan di kota ini, bagaimana potensi maupun hasil-hasil pembangunan ini dimanfaatkan bukan hanya untuk mendapatkan pemasukan, namun yang terpenting adalah membentuk karakteristik masyarakat yang kreatif. Dan proses ini adalah proses yang berjalan terus-menerus tanpa henti.
Itulah pentingnya konsep pembangunan kota berjalan secara berkesinambungan, dan tidak berganti arah setiap kali terjadi pergantian kepala daerah. Fokus seharusnya ada pada proses inovasi untuk memaksimalkan hasil pembangunan yang telah ada, dengan menggunakan pendekatan bottom up, bagaimana ekosistem yang sudah terbentuk dimanfaatkan dengan efektif dan efisien, sehingga ketika sudah berjalan dengan baik, maka pemerintah kota tidak akan pusing lagi mencari investor, sebab mereka yang akan datang untuk berinvestasi dengan melihat berbagai pemanfaatan hasil pembangunan tersebut.
Sebaiknya yang menjadi perhatian adalah kepentingan masyarakat, seperti misalnya bagaimana mengakomodasi UMKM di kota ini agar terintegrasi ke dalam ekosistem pembangunan, dengan membuat distrik-distrik kreatif dengan UMKM ini sebagai penggeraknya. Kemudian berkaca dari pandemi COVID, industri kesehatan juga mampu berkontribusi bukan hanya pada aspek pengobatan, namun juga pada aspek preventif seperti merumuskan proses pencegahan dan mitigasi yang bisa diterapkan pada UMKM untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pandemi susulan.
Demikian pula sektor pendidikan, dimana perguruan tinggi yang ada di kota ini perlu berpatokan pada hasil, atau OBE (Outcome Base Education), sehingga lulusan yang dihasilkan mampu untuk menciptakan lapangan kerja, tidak lagi bergantung pada pekerjaan konvensional. Ada beragam program studi seperti desain komunikasi visual atau sistem informatika, yang bisa menjadi pilihan bagi universitas-universitas di kota Parepare sebagai program studi yang berorientasi hasil.
Tahun Ini adalah tahun politik, dimana masyarakat kota Parepare akan memilih calon kepala daerah yang akan memimpin kota ini selama 5 tahun ke depan.
Inilah jendela kesempatan atau window of opportunity untuk memilih pemimpin yang mampu meningkatkan potensi masyarakat yang ada, bukan yang sekedar ”gagah-gagahan” tanpa memahamai esensi dari pembangunan itu sendiri sebagai sebuah proses yang holistik, tidak hanya berfokus pada infrastruktur, namun yang terlebih adalah pada masyarakat itu sendiri. Jangan merombak apa yang sudah berjalan baik, hanya demi ambisi politik sesaat. (*)