OPINI— Dana desa kembali menjadi bahan diskusi hangat di tengah kondisi penanganan pandemi global Covid-19. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah pusat untuk menggunakan dana desa untuk pencegahan dan penanganan Covid-19. Ada yang pro dan ada yang kontra. Masing-masing memiliki argumen, tentunya dengan sudut pandang masing-masing. Efek Covid-19 yang luar biasa terhadap kehidupan masyarakat bawah, terutama kehidupan ekonomi dan sosial, mengharuskan adanya kebijakan yang bersifat “luar biasa”. Kondisi darurat yang terjadi membuat pemerintah menggali berbagai strategi untuk meringankan beban masyarakat, termasuk dengan memanfaatkan dana desa yang bersumber dari APBN.
Di saat musibah pandemi Covid-19 kini dana desa bukan hanya soal belanja dan bangun proyek infrastuktur. Pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait wabah Covid-19 dan dampaknya pada masyarakat. Baik itu secara sosial maupun ekonomi. Pandemi Covid-19 kemudian mengubah prioritas dana desa untuk kegiatan yang lebih “terasa manfaatnya” kepada masyarakat desa. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan keuangan negara yang menyeluruh melalui penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Perppu 1/2020 ini memiliki implikasi pada kemungkinan terjadinya penurunan penerimaan desa yang bersumber dari dana desa (APBN) dan alokasi dana desa (APBD). Pada Pasal 2 Ayat (1) huruf i dinyatakan bahwa “Pemerintah berwenang… melakukan pemotongan/penundaan penyaluran anggaran transfer ke daerah dan dana desa dengan kriteria tertentu.” Kemudian pada Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) huruf b disebutkan bahwa “besaran belanja wajib (mandatory) dapat disesuaikan oleh pemerintah, antara lain: anggaran untuk desa dari APBN sebesar 10% dan di luar transfer daerah.”
Pada tanggal 24 Maret 2020, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menandatangani Surat Edaran (SE) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Desa Tanggap Covid-19 dan Penegasan Padat Karya Tunai Desa (SE Mendes No.8/2020). Ada empat hal pokok yang menjadi substansi SE ini, yang harus mendapat perhatian. Pertama, SE ini menjadi acuan dalam pelaksanaan penanggulangan Wabah Covid-19 melalui pelibatan Desa dan semua sumberdaya yang dimilikinya yang dapat digunakan untuk pelaksanaan kegiatan Padat Karya Tunai Desa (PKTD) dalam rangka meminimalisir dampak Covid-19 terhadap ekonomi masyarakat. Kegiatan dengan PKTD dilaksanakan secara swakelola, menggunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di desa, teknologi tepat guna, dan inovasi desa.
Hal ini bermakna bahwa pekerja yang digunakan diprioritaskan dari anggota keluarga miskin, pengangguran atau setengah penganggur, serta anggota masyarakat marjinal lainnya yang kehilangan mata pencaharian akibat Covid-19, dengan pembayaran upah dilakukan secara harian. Secara teknis, protokol Covid-19 harus tetap diikuti, yakni: jaga jarak aman di antara pekerja minimal dua meter dan bagi pekerja yang sedang batuk atau pilek wajib mengenakan masker.
Kedua, perubahan APBDes. Oleh karena sebagian besar kegiatan pencegahan dan penanganan covid-19 belum di anggarkan atau sudah di anggarkan namun belum cukup maka Pemerintah Desa dapat melakukan perubahan APBDes , begitupun dengan PKTD yang belum dianggarkan dalam APBDes, yang disusun di akhir tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19 menyebar, maka mau tidak mau harus dilakukan perubahan atau revisi APBDes. SE tersebut menyatakan bahwa “Surat Edaran ini menjadi dasar bagi perubahan APBDes untuk menggeser pembelanjaan bidang dan sub bidang lain menjadi bidang penanggulangan bencana, keadaan darurat dan mendesak desa, dan bidang pelaksanaan pembangunan desa untuk kegiatan Padat Karya Tunai Desa (PKTD).