Oleh: Dr. Ardi Putra Prasetya, M.Krim (Kriminolog/ Pengamat Terorisme)
PERISTIWA ledakan bom bunuh diri (suicide bombing) marak digunakan oleh Kelompok teror. Stategi ini digunakan oleh kelompok Al Qaeda dan ISIS yang diaplikasikan oleh kelompok JI dan JAD di Indonesia. Bom Bunuh diri digunakan untuk menyerang obyek spesifik (targeted) yang memang menjadi tujuan teror dari kelompok tersebut. Peristiwa semacam ini makin marak terjadi pasca kemunculan ISIS secara Global dan lahirnya JAD di Indonesia.
Polisi memang menjadi target spesifik dari kelompok teror. Semula, teror ditujukan kepada musuh jauh (far enemy) yang diasosiasikan kepada Amerika dan sekutunya. Namun, hal tersebut dirasa susah karena banyak obstacle dan target hardening yang dihadapi oleh kelompok teror. Akhirnya, target berubah menjadi siapa saja yang menghalangi mereka melakukan aksi terror. Polisi adalah target utamanya. Sampai saat ini, sudah tidak terhitung lagi berapa jumlah personel Polri yang gugur menjadi korban dari aksi teror.
Kembali markas Kepolisian Sektor (Polsek) Astana Anyar, Bandung, menjadi sasaran kelompok teror. Satu orang Bhayangkara meninggal dunia, sementara empat orang lainnya mengalami luka-luka. Aksi yang dilancarkan pada pagi hari tersebut tampaknya sudah direncanakan dengan baik. Berdasarkan informasi, pelaku beraksi ketika apel pagi sedang dilaksanakan. Hal tersebut tentu sudah direncanakan matang dan melalui beberapa survei, tidak mungkin aksi dilakukan secara spontan.
Pelaku dan motifnya
Pelaku berjenis kelamin laki-laki, berusia sekitar 35 tahun, serta diketahui adalah residivis kasus terorisme. Dari barang bukti, salah satunya sepeda motor pelaku, terdapat tulisan –KUHP HUKUM SYIRIK/KAFIR PERANGI PARA PENEGAK HUKUM SETAN QS’ 9:29– dengan posisi tulisan tertempel di depan sepeda motor yang yang diduga dibawa oleh pelaku. Motif ideologis inilah menjadi katalisator utama pelaku menjalankan aksinya.
Tidak sedikit aksi teror yang sengaja menunjukan motif ideologis ketika menjalankan aksinya. Tahun ini, seorang perempuan—Zakiyah Aini juga menjadi pelaku penyerangan Mabes Polri dengan membawa serta surat wasiat yang berisi alasan ideologis mengapa harus melakukan penyerangan. Selain menunjukan eksitensi ideologis mereka, cara tidak lazim ini sebetulnya jaga menjadi alat propaganda para pelaku teror untuk melebarkan sayap organisasinya.
Mengapa mantan pelaku teroris kembali beraksi?
Mantan pelaku kejahatan idealnya sudah berubah dan mengalami efek jera ketika telah selesai menjalani masa pidananya. Namun tidak berlaku koheren dengan kejahatan ideologis bernama terorisme. Bahkan, banyak pelaku teror menganggap sistem peradilan pidana, termasuk penghukuman di lembaga pemasyarakatan adalah bagian dari perjuangan suci-nya. Di sisi lain regulasi yang mengatur pemidanaan pelaku teror, UU no 5/2018 hanya mengatur tindak pidana terorisme berdasarkan perbuatannya, bukan ideologi pro kekerasannya. Jadi, tidak heran ketika mantan narapidana terorisme kembali ke masayarakat, masih memiliki muatan ideologis ekstremisme berbasis kekerasan.
Di dunia, umumnya digunakan dua pendekatan untuk menghentikan seseorang dari aktivitas terorisme, yaitu deradikalisasi dan disengagement (pelepasan). Di mana, deradikalisasi fokus pada mengubah pemikirannya, sementera disengagement fokus pada social setting yang berimplikasi pada perubahan perilakunya. Saya sendiri menggunakan teori desistensi dari terorisme untuk mengkaji bagaimana seseorang bisa lepas dari jerat teror dan ismenya.
Desistensi melihat multi-faktor, tentang potensi seseorang untuk berhenti menjadi pelaku teror. Faktor tersebut terdiri atas tiga kanal, kanal pertama memuat parameter kebutuhan dasar (needs), narasi dan jaringannya (networks). Kanal kedua adalah kanal inti yang terdiri atas keluarga, introspeksi diri, kedewasaan, aktivitas ekonomi dan efek jera. Sementara kanal ketiga terdiri atas Kepercayaan terhadap hukum, integrasi, relasi sosial dan peluang-peluang situasional. Ketika faktor-faktor tersebut belum tersentuh dengan baik, maka besar kemungkinan pelaku terorisme akan melakukan kembali aksi teror. Cepat atau lambat, hanya persoalan waktu dan peristiwa-katalis yang membangkitkan semangat aksi menerornya.
Sekilas jika kita lihat, pelaku bom Polsek Astana Anyar hari ini, masih belum selesai dengan faktor-faktor tersebut. Secara kasat mata, faktor narasi ideologis masih dimiliki oleh pelaku. Jika kita kulik lebih jauh, faktor lain pasti berhubungan erat dengan eksistensi dia dalam jaringan, kebutuhan dasar yang belum terpenuhi bahkan kegagalan dalam berintegrasi kembali dengan masyarakat.
Rekomendasi untuk stakeholder terkait
Saya melihat peristiwa ini menjadi titik balik kita untuk lebih aware terhadap aksi terorisme. Rekomendasi pertama ditujukan untuk aparat penegak hukum supaya memperkuat keamanan wilayah/ kantor(target hardening), karena peristiwa semacam ini dapat menjadi detonasi terjadinya aksi serupa di wilayah-wilayah lain.
Rekomendasi kedua ditujukan oleh seluruh stakeholder yang membidangi intervensi pelaku teror, supaya lebih tajam dalam mengidentifikasi permasalahan ideologis, selain itu program intervensi yang diberikan harus tepat pada kebutuhan para sasaran program.
Terakhir, bagi masyarakat umum, peristiwa bom Astana Anyar menunjukan bahwa terorisme adalah fenomena nyata di negara kita. Terorisme bukanlah konspirasi dan buatan dari aparat, melainkan merupakan permasalahan sosial yang selalu ada dalam setiap era dan setiap masa. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.