Ket: (ilustrasi penjual jalangkote. foto: Aman Ali Surachman/gwpc.garuda-indonesia.com)
Sore menjelang malam sekelompok mahasiswa yang menamakan diri “Taman baca kita”, salah satu mereka adalah saya, seorang mahasiswa sok sibuk asik dengan dunia sendiri. Sore ini kami mencoba buka lapak baca di salah satu lapangan kota yang katanya wilayah publik, meski orang-orang yang ada disini jauh dari kata bersosial . tempat ini lebih mirip hutan yang penghuninya asik dengan dunia masing-masing.
Tapi itu bukan plot penting dalam tulisan ini, disela diskusi panjang di lapak baca sore ini, saya melihat para individu yang tersekat-sekat dalam dunia masing-masing, pelari yang hanya memikirkan tubuh atletisnya, sang pecinta hewan yang jauh lebih peduli pada anjingnya tapi lupa pada manusia yang ada sekitarnya, dan bahkan kami yang mengaku peka terhadap sosial juga sibuk dengan dunia kami.
Beginikah realitas sosial yang terjadi di negara yang katanya negara murah senyum, negara peramah tapi semua hidup di dalam kotak-kotak dunianya tampa mau lagi memperdulikan yang lain. Diskusi kami sore ini terpecah karena hadirnya sekelompok anak penjual jalangkote, makanan khas sulsel. Kelompok ini terdiri seorang anak prempuan dan tiga orang anak laki-laki.
Dari sela tawa lepas dalam canda mereka menuturkan bayak hal, mereka adalah keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah yang menjual jalangkote dari jam enam sore hingga jam satu malam hanya demi empat ribu rupiah.
Demi empat ribu rupiah anak-anak ini rela membuang kesempatannya untuk belajar padahal esok hari adalah hari sekolah. Bukankah sekolah adalah hal penting untuk mencapai cita-cita kita. Tapi satu jawaban miris begitu menghantui pikiran saya saat ini ketika anak anak polos ini coba menuturkan soal cita-cita mereka ,dan dengan polosnya mereka menjawab “tidak punya cita-cita”.
Sekejam apa bangsa ini hingga anak-anak bangsa tidak lagi ingin bercita-cita ?, sekejam itukah? . mungkin persoalan cita-cita bukan hal penting tapi kalau menyusun mimpi saja anak bangsa ini sudah tidak mau bangaimana anak ini akan menyusun peradaban bangsa kita kedepannya.
Founding Father bangsa kita saja, Soekarno berkata ”bermimpilah setinggi langit, Karena jika kau jatuh kau akan jatuh di antara bintang-bintang”. Kalau menyusun mimpi saja tidak bisa, bukan sampai langit, menghampiri bintang-bintang saja sesuatu yang agak mustahil.
Apakah ini indikasi gagalnya pola pendidikan yang ada, pendidikan formal yang di susun oleh para pakar dengan proses panjang untuk menciptakan proses pembelajaran yang paling tepat. Pola pendidikan yang disusun begitu canggih itu ternyata tidak bisa membuat anak-anak ini bisa menyusun cita-citanya. Pendidikan formal yang justru berusaha menyeragamkan semua anak dengan satu pola pemikiran saja dan berbeda adalah hal aneh. Tapi beginikah hasil penyeragaman ini, anak bangsa tanpa harapan ?.
Tapi persoalan anak-anak ini bukan cuma salah pihak pemerintah atau salah sistem pendidikan yang ada saja, kita sebagai bagian dalam satu realitas sosial yang adapun punya tanggung jawab atas fenomena yang terjadi ini. Sebagai tanggung jawab moral kita juga sebagai tanggung jawab kita sebagai manusia yang beragama dan percaya pada Tuhan, saya yakin setiap agama yang ada pasti menjunjung tinggi kemanusiaan dan saya juga yakin bagaimna mungkin kita bisa berhubungan baik dengan Tuhan yang jauh (bukan konteks fisik) kalau manusia yang ada di sekitar kita pun tidak kita perdulikan.
Menyoal soal anak-anak yang tanpa cita cita ini kita yang hidup dalam satu realitas sosial juga punya tangggung jawb untuk merangkul dan mendidiknya.
Masa depan bangsa ini ada di tangan generasi muda, generasi muda itu adalah anak-anak ini. Anak-anak generasi bangsa kita ini tak punya cita-cita, lantas mereka akan berbuat apa nantinya di masa depan. Mereka yang di harapkan akan membangun bangsa ini hanya akan diarahkan menjadi pekerja dari tamu yang datang dari luar sana, jika tidak mulai membangun mimpi kita maka orang lain yang akan mempekerjakan kita untuk menyusun mimpinya tapi anak-anak ini punya mimpi saja tidak lantas apa yang mau ia susun?.
Mungkin ini cuma generalisasi berlebihan yang begitu subjektif dari saya, mungkin hanya empat anak ini yang tidak bercita-cita ,mungkin di luar sana tidak ada anak seperti ini,”semoga”.semoga ini hanya kebetulan walaupun saya adalah orang yang tidak percaya pada kata kebetulan atau mungkin ini hanya sekedar candaan Tuhan untuk kita mulai tertawakan bersama sembari memikirkan sosulusi yang mungkin bisa lebih lucu untuk kita tertawakan.
Berjuang melingkar!
Demi pena dan apa yang di tuliskannya
Canrasusilo
(Mahasiswa Fapetrik Umpar, Pengurus LPM Pena Umpar)