OPINI — Masyarakat dunia kini sedang dilanda kepanikan, ketakutan yang berujung pada kebijakan physical distancing atau juga perintah stay at home. Masyarakat pun tak lepas diwarnai dengan polemik perihal asal-usul virus Covid 19. Ada asumsi Covid lahir dari binatang kelelawar tepatnya di Wuhan China, sebagaimana menurut Andrew Cunningham adalah seorang Professor Epidemiologi (20/3/2020). Pendapat yang lain bahwa Covid-19 adalah hasil rekayasa senjata biologi Amerika yang sudah lama bocor dan menjangkiti salah seorang personil tentara yang ikut dalam kompetisi kekuatan militer di China, menurut salah satu Jendral besar Iran yaitu Hossen Salami (6/3/ 2020).
Terlepas dari polemik di atas, hal yang nyata bahwa virus itu telah merebak ke beberapa negara tak terkecuali Indonesia pun kena imbasnya.
Melalui Covid-19 maka menjadi perhatian tersendiri mengenai percakapan kalam, khususnya konsep Jabariyah dan Qadariyah yang merupakan konsep kalam klasik, yakni persoalan kalam yang diperbincangkan di tengah masyarakat. Ada yang ngotot agar tetap melaksanakan ritual agama di mesjid misalnya sholat jama’ah atau jum’at meski mengancam nyawa dan berpotensi besar menjadi agen penyebar virus covid seperti yang terjadi pada sebagian masyarakat di Aceh
(Lihat Antvklik.com, 20/3/2020), bahkan sebagian di Sulawesi Selatan yang penulis saksikan secara langsung. Kenapa sikap sebagian muslim demikian, karena mereka berpegang pada pandangan (world view) segalanya terkait urusan manusia telah ditetapkan Tuhan tanpa ada ruang kebebasan bagi manusia. Apapun yang terjadi, maka hal tersebut merupakan ketetapan Tuhan.
Pandangan yang lain bahwa manusia memiliki iradah atau kekuatan dalam menentukan pilihan, menghindar dari keramaian (stay at home) adalah pilihan yang didorong oleh kesadaran dan besar potensi untuk terhindar dari virus dan berupaya untuk memutus atau tidak menjadi agen penyebar virus.
Manusia berusaha dan dibalik usaha itu ada hukum kausal Tuhan yang berlaku (sebab-akibat), segalanya tidak lepas dan berujung pada kausa prima dalam istilah Aristoteles, di dalam suatu kejadian ada mata rantai kausalitas yang mengikat. Lebih terangnya maka dipilah menjadi hukum taqwini dan tasyri’i, dimana manusia pada persoalan penciptaan tidak ada pilihan atau merupakan hak mutlak Tuhan, misalnya: Tuhan ciptakan api itu panas, perempuan itu memiliki rahim, bumi itu bulat. Lalu di mana manusia punya ruang pilihan, adalah pada persoalan hukum Tasyri’i atau syari’at, terkait manusia mau berbuat baik atau tidak, apakah yang menjadi pengendali terhadap laku manusia? Hawa nafsukah, amarah, atau natiqiyah (kekuatan akal) dengan kesadaran ilahi yang yang berselaras dengan bisikan intuitif atau fitrahnya.
Maka hal demikian itu adalah pilihan merdeka manusia yang dikenai hukum dalam bahasa Agamanya. Manusia tinggal memilih, misalnya: memilih untuk tinggal di rumah dan besar potensi untuk terhindar, atau memilih untuk keluar yang besar potensinya untuk terjangkit, apa pun pilihan yang kita pilih maka itu adalah ikhtiyar manusia yang memilki konsekuensi baik buruk atau dengan kata lain pahala dan dosa.
Penulis berupaya untuk lepas dalam perdebatan klasik konsep kalam, menuju pada konsep kalam jadid, yakni bagaimana konsep Tuhan yang cenderung teoritis itu kita bawa ke realitas sosial yang nyata. Adalah bagaimana sifat dermawan dan pengasih-Nya menjadi nyata dalam kehidupan sosial, di tengah butuhnya masyarakat terhadap uluran tangan dari mereka yang berkecukupan maupun tidak berkecukupan seperti yang termuat dalam berita Narasi tv si tukang ojek yang nyumbang Rp50 ribu padahal dia sedang dalam kondisi susah karena sumber penghasilannya tertutup.
Sebab dalam ajaran agama memberi tidak hanya dianjurkan bagi mereka yang berkecukupan, sebagaimana firman Allah SWT yang termuat dalam QS Ali Imran ayat 134, Terjemahnya: yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik dalam keadaan lapar maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan orang-orang yang memberi maaf atas kesalahan orang lain, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dalam kehidupan ini, tiada hal yang terbesar yang dikejar oleh para pecinta selain merengkuh kasih Ilahi, meraih cinta-Nya (wa Ridwanumminallahi akbar). Dari ayat tersebut di atas kita kuatkan ingatan kita pada salah satu sabda Nabi bahwa inginkah aku ceritakan kepada kalian seseorang telah mencapai derajat tinggi yang apabila diantara mereka meninggal maka Tuhan gantikan lagi dengan orang yang sama, orang ini ketika ia hadir di suatu tempat maka tempat itu akan terhindarkan dari 70 bala, melalui orang itu Allah tumbuhkan tanaman, menghidupkan dan mematikan, tahukah kalian bagaimana mereka mencapai derajat yang setinggi itu?
Mereka mencapainya dengan al-sakhawah (kedermawanan), dan kedua, al-nasihatu lil muslimin (hati yang tulus dan bersih terhadap sesama muslim).
Orang tersebut adalah mereka yang al-sakhawah wa annasihatu lilmuslimin, dua hal inilah yang mengantarkan orang kepada tingkat atau derajat (maqam spiritual) yang tinggi. (Lihat Jalaluddin Rakhmat, The Road To Allah : 259).
Kedermawanan dan kebersihan hati adalah dua hal yang saling terkait, kalau orang sudah dermawan maka niscaya hatinya pun sudah bersih, paling tidak hatinya telah bersih dari penyakit hati yang di sebut kikir.
Melalui kondisi saat seperti ini, dimana wabah covid-19 memaksa masyarakat agar stay at home, sehingga membuat beberapa saudara kita yang terdampak pada kegelisahan atas kondisi ekonomi yang tidak berhenti menekan, mereka butuh makan, minum, mereka punya istri anak, dan mereka punya cicilan.
Sementara keran untuk memenuhi kebutuhan tersebut tertutup, maka inilah saat ketika kesadaran teologis kita sebagai orang yang mengaku ber Tuhan diuji, apakah kesadaran teologis kita hanya terbatas pada aspek teoritis yang mengamini Maha Kasih dan dermawannya Tuhan, yang selalu hanya terjebak pada perdebatan kalam klasik terkait perbuatan Tuhan vs perbuatan manusia, ataukah benar bahwa kita pun terlibat dalam khidmat sosial melalui menyalurkan bantuan kepada mereka yang membutuhkan uluran.
Sehingga sebagai seorang yang beragama utuh menurunkan ritualitas agama yang selama ini kita lakoni menuju ke perilaku tauhid yakni mencintai sesama manusia (Tauhid Sosial).
Sehingga sampai pada akhirnya harapan kita adalah, bahwa hal yang bisa dipetik pada wabah Covid-19 ini adalah pelajaran untuk berkhidmat (Tauhid Sosial) melalui khidmat sosial kita, semoga kita semua dalam dekapan kecintaan Allah SWT bahwa Innalaha yuhibbul Muhsisnin. Wallahu A’lam. (*)