OPINI — Wacana tentang social distancing masih membanjiri ruang-ruang publik. Sampai hari ini, ia masih ramai diperbincangkan di mana-mana, tidak mengenal ruang dan waktu. Di lini masa dan koran-koran, berita itu masih berkutat pada perbincangan pentingnya menjalin relasi berjarak tatkala berhubungan dengan orang lain.
Sebagaimana anjuran-anjuran yang ada, setiap individu dalam kehidupan masyarakat dipandang perlu untuk menghindari keramaian, tidak menjalin interaksi sosial yang intim, tidak mengadakan perkumpulan dan sejenisnya serta dianjurkan berdiam diri di rumah demi memutus mata rantai penyebaran virus Corona (Covid-19).
Pada awalnya, social distancing adalah pilihan yang dianggap paling tepat dalam menghadapi sengkarut Corona. Oleh para ahli kesehatan, menganjurkan menjaga jarak fisik dengan orang lain agar tidak terjadi penularan pandemi ini dalam skala yang lebih besar. Namun, ada pro dan kontra yang menyeruak di permukaan. Selain sebagian masyarakat yang tak kunjung bisa mematuhi anjuran itu dengan baik, juga di dalam relasi ini menciptakan pola hubungan sosial yang tidak seimbang.
Hal itu yang menuai banyak kritik. Social distancing oleh para pengamat sosial, dianggapnya justru membawa masalah sosial baru dalam tataran hubungan sosial masyarakat. Betapa tidak, jarak sosial yang tidak dibarengi dengan rasa kepedulian sosial, akan membuat individu terperosok dalam individualisasi. Suatu proses sosial di mana orang-orang justru membangun sekat-sekat sosial di dalam kondisi krisis.
Bersebab kritikan inilah, Badan Kesehatan Dunia (WHO) kemudian mengubah diksi (phrase) social distancing. WHO dalam website resminya, mempopulerkan istilah baru yang dikenal dengan “Physical Dystancing” lantaran social distancing dianggap kurang tepat.
Bahaya Sikap Anti Sosial
Di kalangan masyarakat umum, social distancing banyak dipahami sebagai benteng pemisah menjalin relasi sosial terhadap orang lain. Yang dibayangkan adalah seseorang tidak boleh berinteraksi dengan siapa pun. Orang-orang kemudian menutup diri dari kehidupan luar dan sering kali tidak peduli terhadap yang lain.
Hal yang dikhawatirkan dari keadaan ini adalah tindakan tersebut justru sangat rentan membawa seseorang pada sikap individualisme bahkan anti sosial. Yaitu, individu atau kelompok mulai menarik diri dari kehidupan sosialnya. Nicholas Abercrombie menyebutnya memisahkan diri dari ikatan tradisional keluarga atau lokalitas, individu atau kelompok memilih pilihan hidup sendiri dan menciptakan identitasnya sendiri.
Dengan dalih menghindari virus, orang-orang mulai menutup diri. Mereka tidak mau berhubungan dengan siapa pun. Jika demikian yang terjadi, maka hubungan sosial kita dengan orang lain tentu akan semakin merenggang. Pada taraf tertentu, kita mungkin sudah mulai melupakan yang lain dan tidak menaruh respek sama sekali dengan kehidupan sekitar.
Secara sosiologis, tatkala individu atau kelompok bersikap demikian maka hal ini berarti bahwa orang-orang menjadi terpisah. Oleh Bryan Turner disebut kehidupan masyarakat terfragmentasi (terpecah belah), sehingga hubungan sosial orang-orang mulai dipertanyakan. Salah satu hasilnya yang paling nyata menurut Turner adalah jalan kehidupan masyarakat menjadi lebih individualis.
Betul cara ini memang paling efektif menghindari virus, namun tidak berarti kita hanya mementingkan kelompok sendiri, tidak berarti memborong habis makanan, apalagi sampai menimbun masker untuk meraup keuntungan. Hal itu tentu saja berbahaya dalam situasi krisis semacam ini.
Di sinilah Psycal Distancing itu dibutuhkan. Dalam menghadapi situasi yang tidak menentu ini, kita juga harus memahami kesedihan dan kerisauan orang lain. Ada banyak orang di luar sana yang membutuhkan uluran tangan, membutuhkan sokongan. Kita boleh saja berdiam di rumah (stay at home) tetapi di situasi genting ini kita juga perlu saling menguatkan, menghibur, membangun solidaritas tanpa memandang status sosial, warna kulit, agama dan lain sebagainya.
Di Bawah Bayang-bayang Stigma Sosial
Di era yang serba terbuka ini, hampir semua media memberitakan penyebaran pendemi itu. Benar kata Gaye Tuchman “berita adalah jendela dunia”. Melalui berita ini, orang-orang mengetahui malapetaka Corona yang terjadi Amerika, Cina, Iran, Italia, dan berbagai dunia lainnya. Pun melalui berita, kita mengetahui peristiwa-peristiwa memilukan akibat wabah yang mematikan itu di negeri ini.
Namun di balik peristiwa itu, betapa sering kita dapati prasangka-prasangka sosial terhadap orang yang dibangun di atas stigma sosial yang negatif, meminjam konsep Erfin Goffman. Yaitu, ada reproduksi sosial citra buruk terhadap sekelompok orang, atau dalam istilah Goffman bentukan kategori-kategori sosial sebagai harapan untuk mendiskreditkan penilaian kita terhadap orang lain.
Stigma itu tidak lain adalah antipati yang menggeneralisir seseorang guna menghindari Covid-19. Ada penjara makna oleh individu atau kelompok untuk mengkategorikan secara negatif pada mereka yang kebetulan berinteraksi dengan penderita virus ini atau yang terinfeksi pandemi ini. Teranyar, ramai diperbincangkan di ruang media sosial, salah seorang perawat yang menangani pasien Corona di salah satu rumah sakit daerah, sampai diusir oleh warga dari tempat tinggalnya lantaran takut terinfeksi Corona.
Belum lagi dengan pengalaman-pengalaman yang dialami oleh keluarga pasien yang masih dalam proses pemantauan dan pengawasan (PDP dan ODP). Terlebih yang memang sudah positif terjangkit Corona. Betapa berat ujian orang-orang ini. Mereka tidak hanya histeris dengan takdir-takdir hidupnya yang tidak dapat ia tolak, tetapi ia harus berjibaku dengan penolakan warga setempat bahkan masyarakat umum. Bukankah itu karena social distancing?
Di situasi ini, mereka yang menjadi korban stigma itu, secara perlahan akan terpinggirkan di kehidupan masyarakat. Bahkan mungkin dimarjinalkan. Rintangan mereka adalah menghadapi stigma sosial sehingga tidak lagi di terima di lingkungan sosialnya. Prasangka itu tidak lain karena anggapan pentingnya social distancing. Ketakutan penularan pendemi Corona memaksa mereka untuk membentuk jarak sosial. Sialnya, orang-orang menakar hubungannya dengan orang lain dengan tidak ingin menerimanya.
Menuju Physical Distancing
Bila kita mengkaji secara sosiologis diksi social distancing, hal ini sesungguhnya memang menjadi problematik sejak dalam defenisi. Adalah Prof Alo Liliweri dalam bukunya Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur yang mendekonstruksi istilah itu. Ia menyibak asumsi yang tersembunyi dan tersirat dalam kata itu dengan memetakan konsep “jarak sosial” sebagai bagian dari prasangka sosial. Ya. Dia mensejajarkan “jarak sosial” dengan stereotip dan diskriminasi sebagai problem sosial yang sering menimbulkan konflik.
Dengan mengutip pandangan Deaux (1984), Liliweri mengemukakan bahwa jarak sosial merupakan aspek lain dari prasangka sosial yang menunjukkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain dalam hubungan yang terjadi di antara mereka. Di sini, adakalanya individu ataupun kelompok memisahkan diri dengan yang lain berdasarkan tingkat penerimaannya.
Itu saya kira yang terjadi akhir-akhir ini. Saat ini, fenomena lain yang menyeruak di masyarakat adalah orang-orang menganggap bahwa virus tersebut adalah aib sosial. Sehingga wabah ini harus dihindari. Buntutnya, orang-orang mengeksekusi secara paksa para penderitanya. Berkaitan dengan itu, tatkala social distancing yang lebih dikedepankan, maka hal ini akan menjadi masalah sosial baru.
Hakimul Ikhwan, salah satu Sosiolog UGM membenarkan itu. Bagi Ikhwan, social distancing (jarak sosial) justru berbahaya dalam situasi krisis pandemi Corona. Sebab, dalam keadaan darurat semacam ini, yang dibutuhkan adalah kepedulian sosial terhadap sesama dengan memperkuat social connection, solidarity, dan inclusiveness. Bukan social distancing; menjaga jarak sosial. Ia menyebut bahwa social distancing membuat individu kadang kala hanya mementingkan keamanan dan keselamatan diri dan kelompoknya. Sehingga, orang terperosok dalam sikap egois dan invidualis, yaitu tidak mau peduli dengan perasaan orang lain yang terpenting ia dan kelompoknya selamat.
Jika ini banyak terjadi. Maka ini benar-benar merangsang otak kita untuk berpikir ulang atas tindakan itu. Social distancing memang harus dialihkan menuju physical distancing. Seperti yang dianjurkan oleh WHO, bahwa hari ini kita sangat perlu mengkampanyekan “social distancing” tetapi menggantinya menjadi “phycal dsitancing”. Mengapa? Karena mencegah penyebaran virus ini bukan berarti memutus hubungan kontak dengan teman-teman sejawat, tetangga, keluarga, kaum miskin papa, tetapi menjaga sebuah phycal distancing untuk memastikan wabah ini tidak menyebar.
Pemerintah boleh saja menganjurkan kita untuk tidak mendekati keramaian, tetap tinggal di rumah dan senantiasa menjaga jarak namun kita juga harus melihat bahwa orang-orang yang sedang dalam karantina, keluarga-keluarga dekat yang terpapar Corona termasuk para perawat (tenaga medis) maupun dokter yang berdiri di garda terdepan menyelamatkan banyak jiwa, meskipun nyawanya terancam, juga butuh interaksi sosial, perlu dukungan moril, terlebih sokongan material.
Berkaitan dengan itulah Physical distancing demikian diperlukan. Ia yang mestinya yang harus kita kedepankan. Ya. Perlu memperlakukan orang lain di atas prinsip kemanusiaan. Dengan perkataan lain, kita tidak saja berbuat untuk keselamatan diri dan keluarga, tetapi juga untuk kehidupan orang lain.
Tentu harapan-harapan itu akan terlaksana jika kita memulai membangun dan memperkuat rasa solidaritas sosial dan senantiasa menumbuhkembangkan respek sosial terhadap sesama demi keselamatan jiwa orang banyak dan untuk kehidupan mendatang yang lebih baik.
Oleh karena itu, di masa perang melawan virus Corona ini, cepat atau lambat kita harus bersedia untuk memberikan bantuan daripada mengucilkan. Solidaritas menjadi tumpuan kita bersama untuk bertahan. Kita saling menguatkan sampai pada akhirnya kita menjadi pemenang. (*)