OPINI-Kemajuan teknologi, disadari atau tidak, telah memengaruhi semua lini kehidupan. Keperkasaan teknologi membawa manusia dari kehidupan yang serba terbatas kepada kehidupan yang makin nyaris tak terbatas. Teknologi telah menjadi lifeblood, darah atau nyawa kehidupan manusia saat ini. Seumpama darah dalam tubuh manusia, teknologi menyebar ke seluruh dimensi kehidupan manusia, tidak hanya di perkotaan, tetapi merambah ke pedesaan. Fenomena inilah yang diistilahkan sebagai determinisme teknologi oleh McLuhan (1962).
Manusia sebagai Homo Digitalis
Pada masa lalu, manusia lebih dikenal sebagai zoon logon echon, makhluk rasional yang pandai berpikir dan bertutur kata. Julukan lain yang semakna dengan itu yakni homo sapiens, makhluk hidup yang berakal. Pada saat ini, eksistensi manusia tidak sebatas ditentukan oleh pemikirannya, tetapi kekuatan lain bernama teknologi digital yang kemudian memunculkan predikat baru bagi manusia, yakni sebagai homo digitalis, makhluk hidup yang memiliki kedekatan intim dengan dunia digital.
Predikat homo digitalis menggambarkan evolusi peran dan interaksi manusia dengan teknologi digital. Seiring kemajuan teknologi yang amat cepat, perangkat digital menjadi entitas tak terpisahkan dalam kehidupan manusia, bahkan cenderung menjadi bagian dari kebutuhan pokok, bukan lagi kebutuhan penunjang.
Manusia digitalis hidup dalam dua dunia, dunia nyata dan dunia maya. Bersamaan dengan itu, realitas pun bergeser ke dalam dua makna, realitas nyata/objektif dan realitas maya/virtual. Realitas virtual dapat merepresentasikan wujud dari realitas nyata, dapat pula merepresentasikan realitas baru yang secara intensional diciptakan. Inilah yang membuat dunia maya disebut “dunia dalam dunia”. Sebagai amsal, transaksi melalui aplikasi bank (mobile banking) yang dilakukan secara maya/virtual, akan berujung atau menghasilkan realitas nyata/objektif. Demikian halnya pada aktivitas transaksi melalui aplikasi belanja secara daring, jasa transportasi daring, dan sejenisnya.
Penghuni dunia maya (manusia digitalis) memiliki kebebasan yang hampir tidak terkendali. Mulai dari proses produksi konten, mengolah, hingga menyebarkannya ke seluruh jagat melalui berbagai alternatif platform digital. Bersamaan dengan itu, persoalan muncul dengan beragam bentuk yang kompleks. Sebut saja di antaranya: hoaks, penipuan, ujaran kebencian, fitnah, dan segala macam bentuk praktik provokasi yang berpotensi semakin memecah belah masyarakat. Pada konteks inilah, tampak urgensi dakwah sebagai kontrol sosial pada masyarakat digital.
Digitalisasi Dakwah
Pada bulan September 2022, seorang pemuda asal Sidoarjo bernama David Iwanto menuturkan perjalanan spiritualnya sejak berstatus nonmuslim hingga akhirnya memantapkan hati menjadi muslim setelah menemukan hidayah melalui tayangan dakwah Zakir Naik di berbagai platform digital. Pada awal tahun 2023, masyarakat dikejutkan atas kasus penculikan dan pembunuhan yang dilakukan dua orang remaja di Makassar terhadap bocah usia 11 tahun. Motifnya karena terobsesi konten jual beli organ manusia di media sosial.
Kedua info peristiwa yang dapat diakses oleh publik tersebut merupakan sekelumit penanda akan kekuatan konten pada media digital. Efeknya bisa baik atau buruk, berorientasi kepada dakwah atau kontra dakwah, sangat tergantung oleh stimulus dan bagaimana stimulus itu disampaikan.
Digitalisasi dakwah membawa perubahan besar dalam cara menyebarkan dan mengakses pesan-pesan agama. Pendakwah (dai) diberi ruang kreasi dan inovasi untuk menyampaikan pesan dakwah yang dapat menjangkau khalayak seluas-luasnya melebihi jangkauan dakwah secara konvensional, sementara penerima dakwah (mad’u) dapat mengakses konten dakwah melalui platform digital kesukaannya sesuai jenis konten yang disenanginya (audio, visual, atau audiovisual). Ruang dialog antara dai dan mad’u pun disediakan melalui fitur interaktif, seperti kolom komentar, pesan langsung, atau forum diskusi.
Sebagaimana model dakwah konvensional, di samping memiliki keunggulan, juga melekat sisi lemahnya. Demikian halnya dakwah digital yang rentan terjadi polemik. Konten-konten dakwah dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga justru mengganggu stabilitas sosial. Contoh kasus yang sering terjadi, video ceramah agama yang dipotong dan diedit sedemikian rupa, lalu diunggah kembali ke media sosial dengan narasi yang provokatif sehingga menimbulkan mispersepsi dan kontroversi.
Harus disadari pula bahwa dakwah melalui media digital bersaing dengan berbagai jenis konten lain yang dapat mengalihkan perhatian khalayak. Konten-konten lain itu sangat mungkin lebih menarik dan menghibur sehingga dapat menurunkan daya tarik dan efektivitas konten dakwah.
Prospek dan tantangan digitalisasi dakwah tersebut seyogianya menjadi motivasi kepada para aktivis dakwah untuk terus mendesain konten atau program dakwah digital yang kreatif, inovatif, dan variatif secara kolaboratif, bahkan bisa dengan melibatkan influencer yang berintegritas.
Aspek fundamental yang juga mesti diperhatikan adalah niat. Seperti halnya dakwah di dunia nyata, di dunia maya pun terdapat godaan popularitas, sensasional, dan materialisme. Sebagai pendakwah, menjaga integritas dan fokus pada esensi dakwah menjadi hal yang harus dikedepankan karena keberhasilan dakwah tidak diukur dengan ramainya netizen yang follow, subscribe, like, comment, dan share. Bukan pula dilihat dari banyaknya endorsement. Keberhasilan digitalisasi dakwah sejatinya diukur dengan meningkatnya pengetahuan dan/atau terhindarnya netizen dari salah paham, salah sikap, salah tutur, serta bertambah sadar berbuat baik.(*)
Informasi: Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.