OPINI–Keberadaan bangunan atau benda bersejarah yang ada di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Dalam Pasal 1 pada undang-undang tersebut dijelaskan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan, berupa cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan melalui proses penetapan.
Hal ini menandakan bahwa seluruh benda arkeologi peninggalan sejarah baik berupa artefak, ekofak, fitur, dan situs-situs perlu dijaga kelestariannya demi mendapatkan gambaran informasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau melalui sisa-sisa yang ditinggalkan.
Kota Makassar merupakan kota yang menyimpan peninggalan artefak berupa bangunan benteng yang menjadi cagar budaya dan sejarah peradaban kejayaan Kerajaan Gowa pada abad ke 16 atau sekitar tahun 1500-an. Benteng merupakan simbol kejayaan, kekuasaan dan pertahanan.
Jika dikaitkan dengan fungsinya benteng merupakan bangunan yang dibuat untuk bertahan atau melakukan penyerangan terhadap pihak lawan terutama bila dihubungkan dengan masa penjajahan
Kerajaan Gowa memiliki 14 benteng pertahanan, dibangun oleh Raja Gowa ke-IX, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa ’risi’ Kallonna.
Ke 14 benteng tersebut termasuk benteng Ujung Pandang didirikan mengelilingi benteng utama yaitu Benteng Somba Opu sebagai benteng terbesar dan menjadi kompleks kediaman raja Gowa pada masa itu.
Dalam catatan sejarah, Benteng Somba opu hancur saat perang Makassar, antara tahun 1655-1669. Belanda menyerang Kesultanan Gowa yang pada waktu itu dipimpin Sultan Hasanuddin. Akibat serangan tersebut sebagian besar benteng hancur dan Kesultanan Gowa mengalami kekalahan. Hanya tersisa satu benteng pertahanan yang masih berdiri kokoh yaitu Benteng Ujung Pandang.
Benteng kemudian jatuh ke tangan Belanda sesuai pasal 11 dalam perjanjian Bungaya yang berbunyi, “Makassar harus menyerahkan Benteng Ujung pandang berikut perkampungan dan lingkungannya pada VOC”. Selanjutnya, Gubernur Jendral Cornelis Janzoon Speelman membangun kembali benteng yang sebagian hancur dengan gaya arsitektur Belanda.
Benteng Ujung Pandang kemudian dinamakan Fort Rotterdam, diambil dari nama kota tempat kelahiran Speelman di Belanda. Sedangkan Benteng Somba Opu yang hancur saat penyerangan Belanda ke kerajaan Gowa, kembali direkonstruksi pada tahun 1989 dan telah direvitalisasi menjadi taman budaya yang sebahagian besar berisi anjungan beberapa rumah adat Sulawesi Selatan
Pada masa kolonial Belanda (1667-1942) benteng Fort Rotterdam berfungsi sebagai pusat pemerintahan (markas komando pertahanan, kantor pusat perdagangan, dan pemukiman bagi para pejabat tinggi Belanda).
Benteng ini sengaja tidak dihancurkan oleh Belanda seperti benteng-benteng yang lain dengan tujuan untuk mengawasi kegiatan masyarakat kerajaan Gowa. Disamping itu benteng juga dijadikan sebagai tahanan Pangeran Diponegoro karena dianggap membangkang pada Belanda sejak tahun 1833 sampai dengan wafatnya pada 8 Januari 1855.
Pada tahun 1937, Benteng Rotterdam diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada yayasan Fort Rotterdam.
Dari perjalanan sejarah yang panjang Benteng Fort Rotterdam menjadi salah satu artefak perkotaan yang memiliki kekayaan nilai budaya dan sekaligus merupakan bukti nyata kisah panjang masa kolonialisme di Kota Makassar.
Keberadaan Benteng ini menjadi satu-satunya benda peninggalan sejarah dan saksi bisu kejayaan, kebesaran serta keruntuhan Kerajaan Gowa oleh Belanda. Disamping itu, Benteng Fort Rotterdam yang berfungsi sebagai sumber daya budaya, tidak hanya memiliki potensi arkeologis tetapi juga potensi untuk kegiatan pengembangan dan pemanfaatan tujuan pelestarian cagar budaya.
Menindaklanjuti penjelasan UU No.11. tahun 2010, benteng Fort Rotterdam ditetapkan menjadi benda cagar budaya, berimplikasi bahwa pemerintah daerah melalui BPCB Kota Makassar harus lebih mengurus dan menjaga keaslian benda-benda cagar budaya yang terdapat pada Benteng Fort Rotterdam.
Meskipun ada banyak benda cagar budaya di kota Makassar, Benteng Fort Rotterdam layak dijadikan ikon Kota Makassar, sekaligus mampu menarik perhatian wisatawan lokal maupun internasional. Identitas tersebut menjadi ikon baru kota Makassar sebagai destinasi tujuan wisata di Indonesia. Destinasi wisata ini, potensial membawa nilai ekonomis bagi penduduk sekitar khususnya dan masyarakat kota Makassar pada umumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya persentase kunjungan, tidak hanya dikunjungi oleh wisatawan, akan tetapi menjadi tempat berkumpul bagi organisasi masyarakat lokal dan himpunan pramuwisata Sulawesi Selatan.
Benteng Fort Rotterdam disamping memberikan daya tarik wisata juga memiliki tantangan yang berat, karena selain membawa dampak ekonomi bagi masyarakat juga memerlukan langkah-langkah pelestarian dalam kontinuitas informasi bagi generasi penerus. Pemanfaatan bangunan bersejarah sebagai produk pariwisata merupakan salah satu jalan keluar supaya bangunan-bangunan tersebut dapat terus bertahan dengan menambahkan beberapa fasilitas bangunan di sekelilingnya. Penambahan beberapa bangunan baru tersebut dimaksudkan untuk menguatkan agar benteng tetap dapat berdiri kokoh.
Fasilitas- fasilitas yang dimaksud diantaranya, mushallah yang terletak di belakang sisi Benteng Rotterdam. Selain Mushallah terdapat pula Museum La Galigo. Museum ini memiliki koleksi sebanyak kurang lebih 4999 buah yang yang menyimpan berbagai macam peninggalan arkeologi tentang kehidupan masyarakat Bugis Makassar di masa lalu; terdiri atas koleksi prasejarah, numismatic, keramik asing, sejarah, naskah, dan etnografi. Bangunan Fort Rotterdam saat ini juga difungsikan sebagai Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Namun sejak kasus covid-19 merebak di Indonesia, berdasarkan perintah Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Benteng Fort Rotterdam dilakukan penutupan sementara untuk pengunjung guna mencegah penyebaran. Upaya tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut penerapan protokol kesehatan pada semua sektor, yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO), yaitu menerapkan strategi physical distancing (jaga jarak fisik), social distancing (jauhi kerumunan orang) stay at home (berdiam di rumah), anjuran cuci tangan, penggunaan masker dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
Imbasnya, sektor pariwisata yang menjadi salah satu andalan Sulawesi Selatan mengalami penurunan kunjungan baik turis lokal dan mancanegara. Padahal sektor pariwisata merupakan sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja.
Potensi kehilangan pemasukan (devisa) dari tahun sebelumnya akan terjadi (mungkin 50% dari tahun sebelumnya jika kondisi ini berkepanjangan). Disamping itu, kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya di lokasi atau di sekitar lokasi benteng juga terkena dampak penutupan cagar budaya.
Diantara dampak yang dirasakan; para tour guide yang biasa melayani turis baik yang ingin menambah wawasan pengetahuan ataupun hanya sekedar menyaksikan sisa-sisa peninggalan sejarah ketika berkunjung ke Kota Makassar, harus kehilangan pekerjaan dalam waktu yang tidak pasti karena adanya kebijakan penutupan akses keluar masuk bagi warga atau wisatawan asing di berbagai negara.
Kemudian hal tersebut juga merugikan pemasukan para pedagang kaki lima yang mulai berdagang dari pagi sampai malam di sekitar area tempat bangunan cagar budaya Fort Rotterdam. Bahkan event-event yang sering diadakan pada hari libur oleh beberapa organisasi lokal di bidang pendidikan dan sosial juga turut terhenti akibat dampak dari covid-19
Tahun 2020 merupakan tahun ujian bagi sektor pariwisata di Indonesia.
Penutupan sementara seluruh objek wisata, merupakan konsekuensi logis akibat unstable condition dan menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk menekan risiko penularan virus corona. Hal ini akan berlangsung dalam waktu yang tidak pasti. Pemerintah akan mengawasi kepatuhan pengelolaan objek wisata. Lebih bagus menyelamatkan manusianya daripada memikirkan hasilnya (pariwisata) dulu. Jika dapat hasil tetapi manusia tidak selamat, itu hanya sia-sia.
Semoga kondisi ini segera pulih ke keadaan normal agar sektor pariwisata kembali rebound dengan wajah baru melalui berbagai perubahan dan penyesuaian inovasi-inovasi dengan platform digital, yang tentunya juga akan berdampak pada meningkatnya kunjungan ke situs cagar budaya Fort Rotterdam.
“Tulisan ini dikembangkan dari mata kuliah Arkeologi 2020”
DAFTAR REFERENSI
Haryati. 2016. “ Pelestarian Kawasan Cagar Budaya Fort Rotterdam Kota Makassar Dengan Pendekatan Revitalisasi”. Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya
Hildayanti, Andi. 2017. Karakteristik Benteng Fort Rotterdam Sebagai Urban Artefact Kota Makassar.
Prosiding Seminar Heritage. Seminar Ikatan Penelliti Lingkungan Binaan Indonesia, UIN Alauddin Makassar.
Jumardi, Suswandari. 2018. Situs Benteng Fort Rotterdam Sebagai Sumber Belajar Dan Destinasi Pariwisata Kota Makassar : Tinjauan Fisik Arsitektur Dan Kesejarahan. Jurnal Candrasangkala Vol 4 No.2.