OPINI — Penerapan hukuman kebiri di Indonesia merupakan topik kontroversial yang menyentuh ranah moral, hukum, dan etika. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan kebiri kimia menjadi salah satu langkah pemerintah Indonesia untuk menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak. Namun, jika dilihat dari perspektif hukum pidana Islam, kebijakan ini menimbulkan perdebatan yang mendalam, baik dari sisi keadilan maupun efektivitasnya dalam mencegah kejahatan seksual.
Dalam Islam, hukuman harus berlandaskan pada prinsip keadilan, perlindungan, dan pembinaan.
Hukum pidana Islam mengedepankan konsep ta’zir, yaitu hukuman yang ditentukan oleh hakim berdasarkan kebijakan yang dianggap sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Dalam konteks kekerasan seksual, pelaku bisa dikenakan hukuman yang berat, tergantung pada dampak kejahatan tersebut terhadap korban.
Namun, apakah kebiri kimia sebagai hukuman masuk dalam ranah hukuman ta’zir yang diperbolehkan dalam hukum Islam adalah hal yang perlu dipertanyakan.
Hukum Islam juga mengedepankan prinsip pencegahan (sadd al-dhara’i), yaitu tindakan yang diambil untuk mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut. Jika kebiri kimia dianggap dapat mencegah pelaku untuk mengulangi perbuatannya, maka secara teori, hukuman ini bisa sesuai dengan prinsip tersebut.
Namun, dalam praktiknya, efektivitas kebiri kimia masih diperdebatkan. Banyak pakar medis yang meragukan bahwa kebiri kimia benar-benar mampu mencegah perilaku seksual menyimpang karena masih ada faktor psikologis dan sosial yang mempengaruhi perilaku pelaku.
Selain itu, dari sudut pandang etika Islam, hukuman kebiri mungkin bertentangan dengan prinsip martabat manusia. Islam sangat menghargai tubuh manusia sebagai ciptaan Allah yang harus dihormati. Tindakan yang merusak integritas fisik seseorang, seperti kebiri, bisa dianggap melanggar prinsip dasar ini. Hukuman dalam Islam seharusnya bertujuan untuk memberi efek jera dan pembinaan, bukan semata-mata merusak fisik pelaku.
Persoalan lain yang muncul adalah tentang konsep istihsan dalam hukum Islam, yaitu memberikan solusi yang lebih baik berdasarkan pertimbangan manfaat yang lebih besar. Dalam kasus kekerasan seksual, kebijakan kebiri bisa dianggap sebagai tindakan darurat untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang lebih besar.
Namun, solusi ini harus dibandingkan dengan alternatif hukuman lain yang mungkin lebih efektif dan manusiawi, seperti rehabilitasi psikologis atau pengawasan ketat terhadap pelaku setelah menjalani hukuman penjara. Ada juga pertanyaan tentang hak-hak pelaku dalam Islam.
Meskipun pelaku kejahatan seksual telah melakukan tindakan yang sangat tercela, hukum Islam tetap memberikan hak-hak dasar kepada mereka, termasuk hak untuk diperlakukan dengan adil dan manusiawi. Kebiri, sebagai bentuk hukuman yang permanen dan tidak bisa dipulihkan, menimbulkan pertanyaan apakah hukuman ini adil dan proporsional dengan kejahatan yang dilakukan, terutama jika pelaku sudah menjalani hukuman penjara atau hukuman fisik lainnya.
Dalam konteks syariah, hukuman untuk pelaku zina, pemerkosaan, atau pelecehan seksual sangat jelas. Namun, penerapan hukuman kebiri bukan bagian dari ketentuan yang secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadits. Ini membuat kebijakan ini berada dalam wilayah ijtihad, di mana ulama dan hakim harus menggunakan pertimbangan mereka untuk memutuskan hukuman yang tepat sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Selain itu, perdebatan mengenai kebiri juga mencerminkan adanya perbedaan pandangan antara penerapan hukum syariah dan hukum positif di Indonesia. Meskipun Indonesia bukan negara yang sepenuhnya menerapkan syariah, banyak nilai-nilai Islam yang diadopsi dalam sistem hukum nasional. Perlu adanya dialog yang lebih mendalam antara para ulama, pakar hukum, dan pemerintah untuk menemukan jalan tengah yang bisa memenuhi tuntutan keadilan, baik dalam pandangan Islam maupun hukum positif.
Secara keseluruhan, penerapan kebiri di Indonesia menimbulkan banyak pertanyaan dari perspektif hukum pidana Islam. Meskipun tujuannya adalah untuk melindungi korban dan mencegah kejahatan, hukuman ini harus dipertimbangkan lebih matang, baik dari segi keadilan, efektivitas, maupun etika.
Dengan melakukan kajian yang mendalam dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, diharapkan solusi yang diambil dapat lebih sejalan dengan nilai-nilai Islam dan hak asasi manusia.
Pada akhirnya, hukum dalam Islam menekankan pentingnya keadilan yang seimbang antara hak-hak korban dan pelaku. Hukuman kebiri, meskipun bertujuan untuk memberi efek jera, harus selalu dipertimbangkan dengan cermat agar tidak melanggar prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang mengutamakan kemanusiaan dan keadilan. (*)