OPINI–Berdasarkan kalender pendidikan, Juli 2020 adalah tahun ajaran baru. Tahunnya anak-anak usia sekolah mendapatkan pendidikan, sekolah baru, teman baru sampai perlengkapan sekolah baru.
Kesibukan para orangtua biasanya bahkan terjadi 6 bulan sebelum PSB (Penerimaan Siswa Baru). Melist sekolah, menelaah penawaran kurikulum tiap sekolah, hingga menghitung budget yang diperlukan.
Namun, sejak akhir tahun 2019, kesibukan ini tersita Corona yang terjadi di Wuhan. Apalagi dengan adanya pasien Covid-19 yang dirawat pada Februari 2020 di Indonesia. Sontak semua warga negara +62 riuh pendapat dan aksi. Mulai dari berita yang butuh klarifikasi tersebar di medsos. Panic buyying kebutuhan pokok dan alat kesehatan. Disusul kemudian dengan PSBB.
Beberapa bulan menjalani PSBB, makin membuat kegiatan pendidikan tak bergerak dinamis. Makin landai dan stagnan dengan diberlakukannya program pemerintah Belajar di Rumah. Kebijakan baru selama berjalannya kalender pendidikan ini, kontan membuat penyesuaian yang butuh usaha besar untuk bisa menghasilkan aksi optimal. Dari perubahan penyampaian target bahan ajar, waktu belajar, metode belajar. Begitu pula dengan minimnya sarana dan prasarana belajar.
Beberapa poin merah dari berbagai kekurangan bahkan kesulitan Belajar di Rumah adalah isu sinyal dan kuota. Bahkan dari kebijakan ini, memakan banyak korban dana bahkan nyawa. Surat terbuka seorang anak sekolah yang sedih dengan keadaan orangtuanya berhutang pulsa untuk sekolahnya. Bahkan hilangnya nyawa seorang mahasiswa demi mendapatkan sinyal saat belajar online adalah fakta buram kurang siapnya negeri ini menghadapi Covid-19.
Belum lagi para guru yang tak semuanya mampu melengkapi perangkat online, hingga tak segan mendatangi rumah siswa-siswinya satu persatu.
Berlangsungnya Belajar di Rumah hingga hari ini, membuahkan beragamnya keadaan pada murid, orangtua, guru dan sekolah adalah evaluasi yang tak boleh diabaikan institusi pendidikan negeri ini. Makin banyaknya kritik di berbagai media, menampilkan wajah asli Kementerian Pendidikan Nasional kita tak sigap menghadapi keadaan pandemi. Berlangsungnya proses pengajaran dan pendidikan banyak mengalami kendala. Terutama saat isu sekolah akan mulai dibuka tahun ajaran baru.
Namun, membiarkan anak-anak masuk sekolah kembali pada masa new normal juga bukan pilihan bijak. Apalagi saat ini, kasus positif Covid-19 banyak menimpa anak-anak. Dari mulai usia bayi, balita dan usia sekolah. Tercatat, 127 anak di Surabaya positif Covid-19 dengan rentang usia 0-4 tahun ada 36 kasus, 5-14 tahun ada 91 kasus. (KumparanBASRA, 1/6/20).
Di wilayah dengan kasus Corona tinggi, Jakarta, tercatat 91 balita (0-5 tahun) sebanyak 42 orang balita perempuan dan 49 orang balita laki-laki tercatat positif COVID. Sementara itu, kasus positif Corona anak 6-19 tahun yaitu 195 perempuan dan 195 laki-laki belum tuntas diatasi. (Hai bunda.com, 31/5/20).
Dari data di atas, wajar saja kebijakan ini tak ayal menggerakkan orangtua, para dokter, praktisi kesehatan dan juga para pakar untuk menyuarakan keberatan mereka melalui berbagai media.
Petisi Tunda Masuk Sekolah Selama Pandemi di laman Change.org telah ditandatangani oleh 95.720 orang. Petisi ini digagas seorang penulis buku anak yang juga ibu dari seorang pelajar SD, Watiek Ideo.
Ada juga surat terbuka dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tertanggal 22 Mei 2020 yang melampirkan data hingga 18 Mei 2020, melaporkan sebanyak 3.324 anak terkonfirmasi positif Covid-19.
Hal ini juga sejalan dengan pernyataan seorang Professor Harvard University, Ahmad Rusdan H.U, PhD dalam sebuah webinar bertajuk new normal. Sedikit mengutip pernyataannya bahwa sebenarnya anak-anak memang tak terlalu rentan terhadap Covid-19. Namun, fakta unik ditemukan bahwa di Amerika dan beberapa negara Eropa, ada kematian anak akibat Covid-19 sekitar 0,1-0,2 persen. Sedangkan di Indonesia, bahkan hampir 10 kali lipat dibandingkan negara awal terdampak. Pendapat ini tentu saja benar adanya. Karakter unik virus pembuat pandemi dunia ini selalu jadi misteri yang perlu dipecahkan. Tentu saja harus menjadi pertimbangan besar jika sekolah akan mulai dibuka.
Keresahan ini wajar adanya, karena negara-negara terdampak awal Covid-19, mengevaluasi kembali kebijakannya setelah memulai new normal life dengan membuka sekolah. Perancis, yang menemukan 70 kasus COVID-19 setelah siswa kembali sekolah (Kompas, 20/5/20). Meski pembukaan sekolah dilakukan dengan memperhitungkan protokol kesehatan yang ketat.
Seharusnya, evaluasi dan pertimbangan matang dilakukan dengan seksama oleh negeri ini ketika mewacanakan pembukaan sekolah di tahun ajaran baru. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti
meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) terus mengkaji langkah pembukaan sekolah pada 13 Juli 2020. Retno juga menambahkan pemerintah juga perlu melibatkan IDAI dan ahli epidemiologi sebelum membuka sekolah pada tahun ajaran baru. Rencana ini perlu dipersiapkan dan dipikirkan secara matang karena menyangkut keselamatan guru, anak-anak, dan pegawai sekolah.
Evaluasi besar harusnya bisa dilakukan karena Indonesia termasuk negara yang cukup akhir terdampak Covid-19. Indonesia bisa memantau aktivitas dari berbagai negara terdampak sebagai acuan pertimbangan kebijakan penanganan pandemi.
Berkaca dengan mempelajari pola-pola pandemi yang terjadi di negara-negara terdampak Covid-19 dengan kasus kematian yang banyak adalah sangat rasional. Sehingga pembacaan kemampuan dan tantangan yang akan dihadapi menjadi jelas. Kebijakan tepat dan kecil kemungkinan berubah setiap saat. Ibarat peperangan maka kekuatan dan kelemahan diri harus dikenali.
Demikian juga dengan musuh harus sangat dikuasai terlebih dahulu. Sehingga memudahkan kita untuk mengatur strategi dan siasat jitu sekaligus melakukan manuver-manuver optimal menghalau bahkan memutus rantai penyebaran Covid-19 di negeri ini. Tentu dengan kemauan politik kuat dan dukungan rakyat berdasarkan kebijakan yang proposional.
Meski negara-negara awal terdampak Covid-19 berupaya menghadapi pandemi ganas ini dengan segenap kekuatan dan strategi. Nyatanya memang belum ada yang mampu benar-benar bebas dan aman dari pandemi. Dengan karakteristiknya yang unik, bahkan pada serangan kedua ini, mereka merasakan pukulan yang lebih besar lagi.
Tentu saja, kesungguhan yang prima harus dimunculkan penguasa. Jika negara-negara awal terdampak Covid-19 saat ini belum ada yang benar-benar berhasil lepas dari serangan virus Corona, bukan berarti penguasa tak bisa melakukan apa-apa bahkan berwacana berdamai dengan virus.
Sangat berbeda kondisi dengan penguasa Islam yang layak jadi rujukan dalam penanganan pandemi saat ini. Pada masanya, penguasa Islam saat itu tak belajar dari kondisi wabah yang dialami dari negara-negara lain. Namun, justru menjadi trendsetter solusi penangan wabah yang sangat baik. Mulai dari penerapan lockdown, penyediaan fasilitas kesehatan gratis dan berkualitas yang dimiliki, tenaga kesehatan yang mumpuni, para pakar yang mendukung penuh dengan memberikan saran dan pendapat positif terukur.
Sistem ekonomi yang selalu dijaga kekuatannya. Sehingga pengurusan rakyat terdampak wabah, tak menambah kepelikan pada kondisi. Pun tak mengurangi aktivitas-aktivitas lainnya yang vital dari sisi keamanan, perekonomian, kesehatan, sampai pendidikan.
Pola-pola yang membuktikan bahwa kondisi wabah mampu dilewati dengan sangat cemerlang. Bahkan korban nyawa mampu ditekan. Pasien terawat dengan baik. Orang-orang yang sehat tetap beraktivitas seperti biasa.
Kemiskinan struktural tak terjadi karena kekuatan ekonomi negara terus dijaga dengan sangat baik. Bahkan tak ada kesulitan mendapatkan akses pendidikan masa pandemi. Karena kurikulum, praktisi pendidikan, sarana dan prasarana sangat mampu berjalan pada masa pandemi sekalipun. Itulah mengapa gemerlap terang pendidikan Islam pada masanya menjadi mercusuar dunia.
Ditambah keamanan dan kebijakan negara Islam saat itu tak pernah menjadi kontroversi di dalam negeri, hingga terus menguatkan kewibawaannya di kancah hubungan internasional. Wallahu a’lam bishshawab.(*)