![Suratiyah](https://www.pijarnews.com/wp-content/uploads/2020/08/suratiyah-e1596553586343.jpg)
Ditambah lagi, sistem demokrasi melalui pemilihan umum di Indonesia memang menyediakan ruang bagi kerabat elit politik untuk ikut dalam kompetisi elektoral. Tidak ada aturan yang bisa membatasi keluarga para politikus dan pejabat publik untuk menggunakan hak konstitusionalnya. Mereka tetap bisa mencalonkan diri dalam pilkada. Bahkan berkembangnya dinasti politik di negeri ini juga didukung oleh keputusan MK yaitu pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dengan tumbuh suburnya dinasti politik, maka fungsi kontrol melemah. Sehingga besar kemungkinan akan terjadi penyimpangan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Sedangkan hukuman terhadap pelaku korupsi di negeri ini lemah. Dengan lemahnya hukum, maka kasus korupsi bukannya berkurang justru semakin tumbuh subur.
Seperti kasus korupsi akibat dinasti politik yang terjadi di Banten. Yaitu tertangkapnya Tubagus Chaeri Wardhana oleh KPK. Akhirnya kasus ini telah membukakan pintu publik tentang betapa bobroknya politik dinasti tersebut. Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah pun ikut terseret akibat merugikan uang negara sebanyak Rp79 miliar.
Memang, dinasti politik tidak masalah, dengan anggapan bahwa yang menjadikan mereka duduk di legislatif atau eksekutif adalah rakyat. Namun apakah mereka setelah mendapatkan kekuasaan melindungi rakyat? Justru tidak. Padahal ketika pemilu, rakyat telah berharap banyak tentang perubahan negeri ini. Namun adanya dinasti politik justru menumbuhkan oligarki politik atau kekuasaan politik yang dipegang oleh sekelompok elit di masyarakat baik dibedakan kekayaan, keluarga atau militer.