Oleh:
Oleh: Aditya Putra (Dosen Universitas Syekh Yusuf Al-Makassary dan Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin)
Tanggal 17 Agustus 2024 lalu, 2 pasangan bacalon wali kota Parepare mengumumkan secara resmi calon wakilnya, yaitu Tasming Hamid yang menggandeng Hermanto, dan M. Zaini yang meminang Prof. Bakhtiar Tijjang. Kedua bacalon ini menyusul pasangan Erna Rasyid Taufan dan Rahmat Sjamsu Alam yang sudah lebih dulu mendeklarasikan diri. Dengan demikian, berdasarkan komposisi partai pengusung dan pendukung, hampir dapat dipastikan tidak ada lagi bacalon lain yang akan menyusul.
Tasming Hamid sendiri sebenarnya adalah calon wali kota yang paling pertama mendeklarasikan diri. Diusung oleh Partai Nasdem yang mengantongi 3 kursi dan PKS yang memiliki 2 kursi, mencukupi syarat minimal 5 kursi untuk dapat mendaftarkan diri sebagai calon wali kota di KPU.
Sejak awal deklarasi, sudah banyak figur yang diberitakan potensial menjadi pendampingnya. Mulai dari tokoh masyarakat seperti pengusaha H. Syamsul Latanro, Reski Anugrah, hingga tokoh partai, baik internal seperti alm. Faisal Andi Sapada, Yasser Latief, maupun partai lain seperti Hermanto.
Yang terakhir justru mencuat kabar bahwa yang terpilih adalah anak dari politisi Golkar asal Bone, Nurdin Halid, yaitu Andi Nurhaldin Halid, pasca pertemuan antara Nurdin Halid dan ketua DPW Nasdem Rusdi Masse di Makassar tempo hari.
Oleh karena itu, ketika terdengar berita bahwa sebelum deklarasi tersebut ternyata DPW Nasdem Sulsel menggelar rapat yang memutuskan untuk mengevaluasi ulang rekomendasi partai untuk pilkada Parepare, maka timbul pertanyaan, ada apa sebenarnya di lingkup internal partai tersebut? Apakah ada deal-deal politik yang terancam gagal akibat penentuan wakil Tasming Hamid tersebut? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu tidak bisa terjawab secara terang. ”What stays inside, stays inside”, alias semua pembicaraan politik di belakang layar, tidak akan bisa terungkap sepenuhnya.
Adapun langkah untuk mengevaluasi rekomendasi menjelang tenggat pendaftaran di KPU adalah sebuah tindakan yang riskan. Sebab semua sosialisasi, kampanye, maupun publikasi partai telah membentuk opini publik mengenai bacalon yang direkomendasikan. Mengubah rekomendasi dan mengajukan calon lain akan menimbulkan kebingungan, bukan hanya di masyarakat, namun juga di internal partai itu sendiri. Belum lagi potensi perpecahan internal akibat perubahan rekomendasi tersebut.
Untuk masyarakat yang memegang teguh budaya siri’ atau harga diri, persoalan politik seperti perkara pencabutan rekomendasi sangat gampang masuk dalam ranah pribadi, walaupun mungkin tidak terlihat secara terang-terangan. Di sisi lain, yang perlu dipertimbangkan juga adalah dukungan dari partai koalisi, karena perubahan rekomendasi dapat dipastikan akan mempengaruhi dukungan dari partai pendukung.
Apakah PKS dan partai lainnya masih mau memberikan dukungan apabila rekomendasi bukan diberikan kepada Tasming Hamid? Itu semua adalah faktor yag perlu dipertimbangkan dengan sangat matang oleh partai Nasdem Sulawesi Selatan.
Evaluasi rekomendasi sangat jarang dilakukan oleh partai politik, apalagi menjelang terbukanya pendaftaran di KPU. Kalaupun terjadi, itu biasanya akibat permintaan bacalon itu sendiri ataukah terjadi kondisi luar biasa, seperti yang mungkin akan dialami oleh partai Golkar pasca mundurnya ketua umum Airlangga Hartarto kemarin dulu. Dan itu juga perkara siapa yang menandatangani surat rekomendasi partai, dengan kata lain surat rekomendasi itu perlu ditanda-tangani ulang, dan biasanya tidak ada perubahan berarti didalamnya.
Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa evaluasi rekomendasi itu hanya sebuah dramaturgi; sebuah lips service untuk menyenangkan pihak-pihak yang mungkin berseberangan, dan mengharapkan keputusan yang berbeda daripada yang diambil oleh Tasming Hamid.
Tasming Hamid kini berada dipersimpangan karier politik. Dari ketiga pasang calon wali kota Parepare 2024, ia mungkin menjalani pertaruhan yang paling besar. Setelah terpilih untuk pertama kalinya sebagai anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, maka ia justru harus melepas posisi tersebut apabila ingin mendaftar calon wali kota. Dengan adanya kemungkinan penarikan rekomendasi, ia harus kembali melakukan negosiasi politik, ataukah mengambil langkah aman dengan mundur dari pencalonan dan fokus menjadi anggota DPR Provinsi.
Tentunya dalam dunia politik praktis, negosiasi-negosiasi politik ini adalah sebuah hal yang lazim. Disitulah kemampuan bargaining dan positioning seorang tokoh terlihat. Bagaimana ia mampu meyakinkan bukan hanya masyarakat, namun juga tokoh-tokoh politik lainnya, baik dari partai kawan maupun calon kawan.
Seorang calon yang mumpuni mampu menunjukkan kapabilitas dan kemampuan strategis yang ia miliki sebagai seorang tokoh yang paling sesuai untuk diusung. Jika ia tidak memiliki hal-hal tersebut, jika ia tidak bisa menjadi pemimpin yang mampu mengambil pilihan yang sulit, maka besar kemungkinan ia akan tersingkir, atau yang lebih buruk lagi, menjadi sekadar boneka ataukah tersandera oleh kepentingan-kepentingan lain. Yang lebih menakutkan lagi apabila ia terpilih, maka jalannya pemerintahan dan pembangunan praktis akan didikte oleh pihak-pihak lain, dan ini sebuah harga yang terlalu besar untuk dibayar oleh masyarakat Parepare. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan