Penulis: Usman Lonta
PIJAR OPINI — Beberapa hari yang lalu saya dikejutkan oleh sebuah berita on line bahwa ada kandidat yang senang membegal parpol pengusung pada pilkada serentak tahun 2018. Jika berita ini benar, tentu sangat mencengangkan sekaligus menyedihkan, karena sejatinya dunia politik harus tumbuh subur diatas landasan akhlakul karimah, atau sebutan lain tumbuh subur diatas landasan etika.
Betapa tidak, peristiwa pilkada tahun 2018, akan menjadi memori yang tersimpan secara turun temurun, dari generasi ke generasi terhadap seluruh rangkaian atau proses pilkada tersebut. Proses pendaftaran kandidat pada parpol, sampai pelaksanaan pilkada akan terekam dalam dokumen sejarah di daerah ini.
Mewariskan tauladan yang tidak terpuji kepada generasi berikut dengan mempertontonkan pembegalan parpol – jika berita online tsb benar – pada tahapan awal pilkada akan merusak mental generasi yang akan datang.
Image begal sudah menjadi image yang sangat menakutkan dan meresahkan warga masyarakat di daerah ini. Perilaku begal menjadi musuh masyarakat bahkan menjadi musuh negara yang setiap saat akan ditindak oleh pihak kepolisian sebagai alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Hampir satu dekade ini para politisi dilanda penyakit koruptif, jika penyakit begal ini juga dibenarkan, dan menjadi penyakit kronis maka parpol, politisi akan mengalami turbulensi yang sangat serius, kepercayaan publik akan sampai pada titik nadir, sehingga lembaga lembaga negara yang dihuni oleh para politisi akan kehilangan marwah. Pada titik inilah cikal bakal hilangnya trust dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari rangkaian peristiwa yang melanda dunia politik dewasa ini (penyakit koruptif dan begal parpol, jika berita on line ini benar), maka sebaiknya para politisi menjauhkan diri dari kedua penyakit tersebut di atas. Prinsip yang seharusnya dibangun oleh para petarung sejati pada pilkada 2018 adalah “penting para kandidat lolos untuk bertarung pada pilkada, akan tetapi yang jauh lebih penting adalah saling menghargai, sipakatau, sipakalabbiri. Lolos kandidat pilkada tidak akan lama dikenang oleh masyarakat, akan tetapi saling menghargai akan dikenang oleh masyarakat sepanjang masa, bahkan akan dikenang oleh generasi berikutnya.
Sebaliknya jika dalam proses pilkada ini terciderai, maka bukan saja kandidat yang merasa dibegal akan memberikan hukuman awal sebagai citra negatif seorang pemimpin akan tetapi lambat laun akan merambah sampai masyarakat luas.
Wallahu ‘a’lam bishshawab. (*)