OPINI — Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengekspresikan bagaimana umat muslim di berbagai belahan nusantara menjalankan ibadah. Salah satunya yaitu ketika tiba waktunya perayaan ibadah puasa dan perayaan idul fitri. Ini bukanlah peristiwa aneh melainkan hal ini sudah menjadi cultur yang kemudian kita amini secara kolektif di setiap tahunnya di dalam masyarakat muslim urban.
Muncul kemudian pertanyaan-pertanyaan bagaimana mungkin umat muslim di nusantara menjalankan ibadah puasa di wilayah dan rana ideologi pemikiran yang berbeda? Perbedaan-perbedaan ini tidak hanya terkait dengan penentuan 1 Syawal yang menandai kapan puasa berakhir, tetapi juga dengan sesuatu yang mungkin tidak bisa dibayangkan oleh kita dan kaum bapak-bapak: kapan yah kelapanya diparut untuk di masak kari ayam, dan kapan ketupat akan di rebus, artinya ini memang terkait dengan berbagai aspek sosial/antropologi dari sebuah perayaan ibadah.
Kita biasanya terlalu fokus pada satu sudut pandang seperti halnya perbedaan masyarakat dalam penentuan puasa dan Idul Fitri, di balik itu ternyata ada aspek-aspek espreksi cultural muslim urban yang mewarnai perjalanan ibadah ini, pada hari ini bertepatan dengan tanggal 7 ramadan kita ketahui bersama bahwa Corona Virus Desease 19 masih mengakar di nusantara kita, pun menjadi penjegal untuk mewarnai Ramadan ini seperti ramadan-ramadan sebelumnya yang di ramaikan tarawih setiap malam, arak-arakan di malam takbiran, massulo api di daerah bugis dan banyak tradisi lain-lainnya, tentunya berkurang nya warna di ramadan kali ini tetap tidak mengurangi semangat berpuasa masyarakat muslim di belahan nusantara yang dikenal dengan semangat juang nya, tentu banyak kreativitas-kreativitas dan akselerasi-akselerasi positif yang membangun. Salah satunya membaca dalam arti luas sama dengan wahyu pertama Al-Qur’an.
Mari kita bergeser ke aspek teologis ritual muslim, sekarang coba kita perhatikan kutipan ayat Al-Qur’an(QS Al-Baqarah [1]:183) “Yang diakhir ayat artinya sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”, mengisyaratkan kewajiban puasa telah diperintahkan kepada orang-orang sebelum kamu.
Dalam perspektif Al-Qur’an, yang dimaksud dengan”orang-orang sebelum kamu” tersebut adalah para pemeluk agama-agama samawi yang secara historis dan doktrinal memiliki keterkaitan langsung dengan Islam, yakni Yahudi dan Nasrani, narasi ini mempertegas perintah berpuasa merupakan perintah Allah yang berkesinambungan dari suatu umat ke umat.
Dibalik itu melalui tulisan ini tetap ada harapan yang disematkan kepada pemerintah untuk tetap memperhatikan kondisi masyarakat hingga konstalasi-konstalasi kebutuhan di setiap daerah hingga kepelosok-pelosok nya di tengah pandemi ini, serta harapan kepada masyarakat untuk terus berdoa dan berikhtiar. Semangat, salam taqwa intelektual profesional. (*)
*Penulis adalah Kordinator Departemen Pendidikan dan Penerbitan UKM RITMA UIN Alauddin Makassar