OPINI–Manusia diciptakan dengan anugerah dorongan seksual. Dorongan seksual ini mulai muncul pada masa pubertas ketika organ reproduksi mulai aktif dan berkembang. Lumrahnya, dorongan seksual disalurkan kepada lawan jenis melalui proses pernikahan untuk mempertahankan keturunan.
Namun, seiring berkembangnya zaman dan teknologi mulai muncul berbagai penyimpangan dalam melampiaskan dorongan seksual. Dalam dunia medis hal ini dikenal sebagai Paraphilia.
Paraphilia diklasifikasikan sebagai penyakit mental oleh APA (American Psychiatric Association). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Paraphilia merupakan perilaku seksual yang menyalahi aturan yang sudah ditetapkan (hukum, agama, dan kebiasaan), termasuk fitrah dan akal sehat.
Penyimpangan yang termasuk dalam Paraphilia, dilansir dari IDN times (20/04/2020) di antaranya Voyeuristic (gairah ketika mengamati orang tanpa busana), Exhibition (gairah ketika memperlihatkan kemaluan), Frotteuristic (menggesekan kemaluan pada orang lain di tempat umum), Masochism (kepuasan seksual ketika disiksa), Sadism (kepuasan seksual ketika menyiksa), Pedophilic (menjadikan anak-anak sebagai hasrat seksual), Transvestic (pria yang menyukai berpakaian seperti wanita untuk memunculkan gairah seksual), dan Fetishistic (munculnya gairah seksual karena benda mati).
Belakangan ini jagat maya dihebohkan dengan adanya kasus pelecehan seksual berkedok bungkus-membungkus. Korban dipaksa untuk membungkus dirinya dengan kain jarik, kemudian mengirimkan foto dirinya yang telah terbungkus kepada pelaku. Sang pelaku menggunakan dalih sedang melakukan penelitian skripsi agar korban mau memenuhi permintaannya. Padahal, semua itu tidak lain karena pelaku memiliki Fetishistic yaitu kepuasan seksual ketika melihat lelaki dibungkus menggunakan kain jarik.
Penyimpangan seksual pelaku tidak berhenti pada fetish kain jarik saja, melalui sosial media pribadinya, pelaku juga mengaku bisexual alias memiliki ketertarikan pada laki-laki dan perempuan dengan perbandingan ketertarikan pada laki-laki sebesar 70% dan pada perempuan sebesar 30%. Itulah yang menyebabkan kebanyakan korban fetish sang pelaku adalah laki-laki.
Kondisi ini sangat memprihatinkan, mengingat pelaku merupakan mahasiswa dari sebuah universitas negeri ternama. Kasus ini seolah memanggil memori kelam pemerkosa terbesar di Inggris—Reynhard Sinaga—yang juga merupakan seorang mahasiswa jenjang doktoral (S3).
Dalam sistem pendidikan sekuler-kapitalis, tingginya jenjang pendidikan tidak menjamin orang tersebut akan memiliki kondisi psikologis yang baik. Sistem pendidikan sekuler-kapitalis hanya berfokus pada asas materi. Peserta didik dibentuk untuk menguasai keilmuan, sains ataupun teknologi, namun dipisahkan dari pendidikan agama. Hal ini yang menyebabkan lulusan pendidikan sekuler-kapitalis menganut asas kebebasan, bangga pada prestasi dan titel, namun buta agama dan rapuh kepribadiannya.
Rapuhnya kepribadian menyebabkan meningkatnya jumlah pengidap gangguan kejiwaan seperti kecemasan dan depresi.
Bukan hanya itu, kebebasan yang dianut oleh paham sekuler menyebabkan manusia tidak memiliki koridor dalam menjalankan kehidupan. Contohnya pada fetish kain jarik atau pemerkosaan lawan jenis, pelaku hanya berfokus pada penyaluran gairah seksual tanpa berpikir bahwa hal tersebut menyimpang dari fitrah. Pendidikan yang dienyam pun hanya berdiri sebagai gelar semata, berpisah dengan moral dan tingkah laku yang jauh dari kata terpuji.
Tanpa ditopang dengan pembinaan ilmu agama, pendidikan sekuler-kapitalis tidak akan menciptakan generasi cemerlang. Ini sangat berbahaya bagi anak-anak kita sebagai penerus generasi. Sejak kecil mereka terbiasa hidup dalam kondisi bebas sehingga mereka dengan cepat menerima informasi asing tanpa memiliki informasi awal yang benar. Video porno dan perilaku amoral lainnya menjadi santapan sehari-hari remaja sehingga mereka baligh lebih cepat namun belum akil (dewasa, matang secara pikiran). Hal ini dapat mendorong perbuatan asusila karena hanya didorong oleh nafsu.
Selain dari sisi sekuler (memisahkan agama dengan kehidupan), pendidkan ala kapitalis juga menjadikan guru hanya sebagai pengajar yang berorientasi pada kecukupan nafkah, bukan sebagai pendidik. Tentu tidak semua guru bersifat demikian, hanya saja di masa sekarang yang serba mahal dan memerlukan uang, setiap guru tidak akan bisa mendidik dengan tenang bila dapurnya tidak ngebul. Sistem kapitalislah yang menjadikan pekerjaan mulia ini menjadi serba kekurangan. Dilansir dari Detik Finance (09/06/2020) guru honorer di salah satu daerah memiliki gaji yang lebih rendah dari asisten rumah tangga, yaitu Rp. 200.000 per bulan.
Bukan hanya guru yang tidak sejahtera, banyak orang tua mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan. Setiap tahun ajaran baru orang tua harus mengeluarkan jutaan rupiah untuk sekolah anak-anaknya. Tidak heran banyak masyarakat putus sekolah karena tidak sanggup membayar biaya sekolah. Jangankan untuk sekolah, untuk hidup sehari-hari saja serba kekurangan. Inilah potret sistem kapitalis yang menciptakan kesenjangan di tengah-tengah masyarakat dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin nelangsa.
Hal ini sungguh berbeda dengan peradaban Islam. Kita mengenal Shalahuddin Al Ayyubi sebagai salah satu contoh pemuda cemerlang cetakan pendidikan Islam.
Sejak kecil Shalahuddin telah dipersiapkan oleh orang tua dan pamannya sebagai penuntut ilmu. Ia selalu mendatangi tempat-tempat belajar untuk belajar menulis, membaca, menghafal Al-Qur’an, memahami fiqh dan sastra, dan juga mempelajari kaidah bahasa, baik itu Bahasa Arab maupun bahasa lainnya. Ia belajar dari banyak guru, menghabiskan masa mudanya dengan Islam. Tidak ada keinginan untuk bersenang-senang dalam kebebasan. Bukan karena tidak ada kesempatan, melainkan karena ia lebih mencintai menuntut ilmu daripada urusan dunia.
Pendidikan di masa Islam tidak menjadikan seorang peserta didik rusak kejiwaannya. Justru dengan Islam, peserta didik dibina menjadi pemuda yang kuat secara akal dan juga psikologis. Pemuda hasil binaan pendidikan Islam tidak akan terjerumus pada penyimpangan seksual karena dalam Islam telah diajarkan aturan beirnterkasi yang shahih. Jangankan perbuatan seperti fetish kain jarik, homoseksual, atau pemerkosaan, untuk mendekati zina pun mereka dapat membentengi diri. Selain itu, negara dan para pendidik berperan melidungi para pelajar dari hal-hal haram.
Manfaat pendidikan Islam tidak hanya untuk diri mereka sendiri.
Setelah dididik, para pemuda memiliki loyalitas pada agamanya. Mereka menjadikan ilmunya sebagai jalan untuk membesarkan Islam.
Mari kita bernostalgia tentang manisnya kemenangan Islam ketika berhasil menaklukkan Konstantinopel. Pada saat itu, di bawah kepemimpinan Muhammad Al Fatih para prajurit terbaik Janissary menjadi prajurit paling kuat dan ditakuti. Semua itu terjadi bukan karena kehebatan militer semata. Jannisary merupakan pasukan terbaik, yaitu kumpulan orang-orang terpilih yang paling dekat dengan Rabbnya, istiqomah dalam tahajudnya, dan kuat ilmu perang serta agamanya. Semua itu tidak lain lahir dari sistem pendidikan Islam di bawah naungan negara Islam.
Negara Islam akan menjamin bahwa seluruh masyarakat mendapatkan pendidikan yang layak, karena hakikatnya, pendidikan adalah tanggung jawab negara. Sangat berbeda dengan kondisi saat ini, dimana pendidikan dibebankan kepada masyarakat. Selain itu, para guru tidak akan risau dengan kondisi ekonomi karena negara Islam akan memenuhi kebutuhan guru secara layak. Sebagai contoh, di masa pemerintahan Umar bin Khattab RA, guru diupah sebesar 15 dinar atau setara dengan 4,25 gram emas. Jika dikalkulasikan dalam rupiah, maka guru akan menerima Rp. 30.000.000 setiap bulannya.
Kondisi di atas menunjukan betapa negara sangat memuliakan seorang guru, karena guru adalah pendidik yang akan mencetak generasi cemerlang pembela Islam. Negara Islam akan mencukupi kebutuhan pendidikan masyarakat, memfasilitasi pembangunan perpustakaan dan sekolah, serta membayar para pendidik melalui pengelolaan keuangan terbaik yaitu Baitu Mal.
Baitul Mal memiliki pos pendidikan, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi maka negara tidak akan menarik pungutan apapun dari rakyat (Mediaummat.com, 15/10/2019)
Hal ini terdengar utopis karena kita hidup di era kapitalis yang menjadikan pemegang modal sebagai pemegang kekuasaan. Sektor-sektor yang seharusnya dipegang negara seperti tambang, batu bara, minyak bumi, dan sebagainya saat ini justru dikelola swasta. Padahal dalam sistem pemerintahan Islam, sumber daya alam tersebut tidak boleh dikelola pribadi, melainkan harus dikelola oleh negara untuk kebermanfaatan umat. Dari pengelolaan itulah negara mencukupi Baitul Mal.
Selain itu, Baitul Mal juga memiliki pos sodaqah dan infaq. Sangat berbeda dengan sistem kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber pengahasilan utama negara. Wajar saja, negara kewalahan dalam memfasilitasi hak masyarakat di antaranya pendidikan, sehingga terciptalah wujud pendidikan seperti sekuler-kapitalis.
Kesimpulannya, generasi cemerlang tidak bisa dilahirkan dari sistem pendidikan sekuler-kapitalis, melainkan harus dari sistem pendidikan Islam. Dan sistem pendidikan Islam tidak akan bisa dijalankan tanpa adanya institusi yang menaungi, yaitu negara Islam.
Allahu a’lam bisshawab.