Oleh: Faridatus Sae (Alumni Vokasi Universitas Airlangga Surabaya)
Sebelumnya, kita disuguhi banyak berita tetang ratusan mahasiswa dari PTN maupun PTS yang menjadi korban jeratan utang pinjol ratusan juta .
Lucunya saat ini, pihak kampus ITB secara resmi bekerja sama dengan pinjol dalam menyelesaikan persoalan mahasiswa yang kesulitan membayar UKT (bbc.com, 27/1/2024).
Ternyata tidak hanya di kampus ITB saja, kampus UGM, UNNES, UNHAS, UNS, UNESA, dan kampus lainnya baik PTN maupun PTS yang ditotal ada 43 kampus bekerja sama dengan salah satu platform pinjol, yaitu Danacita (bisnis.tempo.co, 28/1/2024).
Kerja sama yang dilakukan kampus dengan Danacita bertujuan untuk membantu memberikan fasillitas pendanaan atau jalan keluar solusi bagi mahasiswa ataupun orang tua mahasiswa yang kesulitan membayar UKT.
Faktanya, UKT memang semakin mahal. Bahkan di ITB sendiri, ada 182 mahasiswa yang tidak bisa membayar UKT dengan berbagai cara dan usaha yang telah mereka lakukan namun pada akhirnya _mentok_ tidak bisa membayar UKT (news.republika.co.id, 31/01/2024).
Sehingga, solusi yang diberikan oleh kampus adalah pinjol dengan sistematika cicilan dan bunga.
Platform pinjol Danacita sendiri menarik bunga sebesar 1-1,75% perbulan dengan biaya persetujuan 3% (danacita.co.id). Platform ini menyediakan berbagai mekanisme pembayaran, berupa cicilan perbulan, per-enam bulan, dan per-12 bulan.
Secara sekilas, solusi pendanaan dari pinjol ini menguntungkan bagi berbagai pihak. Orang tua mahasiswa terbantu dalam melunasi UKT. Mahasiswa dapat melanjutkan pendidikan tanpa adanya masalah UKT. Di sisi lain, kampus juga turut senang karena kampus dapat beroperasi dengan lancar ketika biaya operasional kampus yang sebagian besar berasal dari UKT mahasiswa aman.
Tawaran solusi pinjaman kepada mahasiswa atau dalam istilah lain disebut sebagai ‘_Student Loan_’ merupakan sebuah konsekuensi ketika negeri-negeri di dunia ini menyepakati perjanjian WTO ’95 yang di dalamnya terdapat 12 sektor jasa yang dapat diperdagangkan, termasuk pendidikan. Kesepakatan yang dilakukan dalam sektor pendidikan ini menimbulkan dampak yang luar biasa di berbagai negara.
Dengan menggunakan istilah ‘perdagangan’, pendidikan akan diberikan kepada dunia pasar sehingga biaya pendidikan dillimpahkan kepada kemandirian institusi pendidikan, dalam hal ini adalah pihak kampus.
Sedangkan, pemerintahan di negara-negara tersebut minim memberikan subsidi biaya pendidikan. Bahkan di beberapa negara, ada yang sama sekali tidak memberikan biaya pendidikan melalui skema yang telah dibentuk. Kesepakatan yang menjadikan pendidikan termasuk dalam sektor yang diperdagangkan ini meniscayakan peran negara dalam pendidikan menjadi minim.
Di Indonesia, regulasi yang merealisasikan ratifikasi perjanjian dalam sektor pendidikan di atas yaitu tertera pada PP No 26 tahun 2015 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum pasal 9 (jdih.kemenkeu.go.id).
Pasal tersebut menyatakan bahwa pendanaan biaya pendidikan tinggi itu diampu oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa itu sendiri, orang tua, atau pihak lain yang mau membiayai.
Kata “pihak lain yang mau membiayai” memiliki arti terbuka kepada pihak siapapun, seperti Danacita, platform pinjol lain, program dari bank-bank, dsb., yang akan memberikan ‘_loan_’ atau pinjaman yang tentu saja disertai dengan bunga. Sehingga, apa yang dilakukan ITB atau kampus lain yang bekerja sama dengan Danacita atau platform pinjol lainnya, bahkan mungkin bank, itu semua merupakan sebuah konsekuensi logis yang pada waktunya pasti akan terjadi.
Sehingga, faktanya saat ini, di satu sisi, kita mengkhawatirkan tentang sejumlah mahasiswa yang terjerat pinjol. Di sisi lain, negara men-sah-kan regulasi tentang kerja sama kampus dengan pinjol dalam mengatasi masalah mahasiswa yang kesulitan membayar UKT. Sehingga, ketika kita mengkritisi kebijakan kampus-kampus yang bekerja sama dengan pinjol ini, kita seharusnya kembali menelaah tentang sistem pendidikan yang dianut oleh negeri ini.
Dalam sistem saat ini, sistem Sekuler-Kapitalis, negara menyerahkan kemandirian dan berlepas tangan terhadap semua hal kepada masyarakat.
Sehingga, seluruh kebutuhan masyarakat harus keluar dari kantongnya sendiri, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, maupun pendidikan, dll.
Alhasil, sistem pendidikan yang dianut negeri ini menyerahkan kemandirian kepada institusi pendidikan tinggi (khususnya) dengan labelisasi “Perguruan Tinggi Berbadan Hukum”. Dengan labelisasi ini, kampus ‘dilepas’ secara perlahan oleh pemerintah dalam hal pengelolaan pendidikan termasuk sumber pembiayaannya.
Pada tahun 2023, Wakil Rektor Bidang Keuangan, Perencanaan, dan Pengembangan ITB, Ir. Muhamad Abduh, M.T., Ph.D., menyatakan bahwa ITB memiliki anggaran sebesar Rp2 triliun per tahun dengan jumlah dana subsidi dari pemerintah yaitu 24-25% (itb.ac.id, 13/03/2023). Sehingga, sekitar Rp1,5 triliun sisanya harus dicari mandiri oleh sebuah institusi pendidikan. Sedangkan, sebuah institusi pendidikan minimal butuh biaya operasional untuk membayar listrik, mengadakan fasilitas laboratorium, menggaji staff, karyawan, dan dosen, serta kebutuhan lainnya.
Padahal, institusi pendidikan tertinggi yaitu kampus seharusnya mencetak intelektual yang bertanggung jawab terhadap seluruh persoalan masyarakat demi kemashlahatan bangsa dengan pengetahuan dan penguasaan iptek yang luar biasa. Untuk menjadikan para intelektual mahir menguasai iptek, kampus membutuhkan fasilitas yang mumpuni dengan biaya tidak kecil tentunya. Kampus sendiri tidak akan mampu menutup semua biaya yang dibutuhkan di atas.
Sedangkan, regulasi hukum mengatakan bahwa biaya yang dibutuhkan kampus bisa dicari secara mandiri oleh kampus salah satunya yang termudah bisa didapatkan dari mahasiswa. Mahasiswa diminta membayar UKT untuk membiayai fasilitas apapun yang digunakan dan didapatkan selama proses pembelajaran di kampus. Dengan konsep ‘kemandirian’, alhasil, biaya untuk kampus ini sebagian besar ditanggung oleh mahasiswa atau siapapun pihak yang mau membiayai sesuai pasal di atas.
Belum lagi, ketika kita berbicara tentang ‘_loan_’ atau pinjaman dengan sistem cicilan dan bunga, ada unsur ribawi di dalamnya yang tentu merupakan sebuah keharaman. Sehingga, dalam sistem Sekuler-Kapitalis ini, sudahlah biaya pendidikan tidak ditanggung oleh negara sehingga harus dibebankan kepada masing-masing individu masyarakat, _malah_ ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi pendidikan ini dijerumuskan kepada keharaman. Allah berfirman,
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
Semakin terlihat, sistem Sekuler-Kapitalisme ini merupakan sistem kufur yang meng-‘halal’-kan keharaman sebagai solusi. Sehingga, ketika kita tetap berdiam dalam kemungkaran ini, bisa jadi kedepannya, tidak hanya kampus saja, tetapi hampir diberbagai jenjang pendidikan akan muncul sistem pinjaman ini
Dalam pandangan Islam, institusi pendidikan memiliki tugas dan tanggung jawab besar dalam membentuk generasi unggul berkepribadian Islam.
Generasi unggul yang akan mengisi peradaban dengan intelektualitas dan penguasaan ipteknya hingga menjadi intelektual yang luar biasa. Generasi unggul dengan predikat intelektual yang memiliki tanggung jawab besar terhadap kemashlahatan umat dan bangsa. Sehingga, negara tidak akan membiarkan pengelolaan pendidikan ditanggung sendiri oleh institusi. Hal ini dikarenakan pendidikan tidak akan pernah mampu ditanggung oleh institusi ataupun individu.
Pandangan terhadap urgensitas pendidikan dalam membentuk generasi unggul pengisi peradaban ini menjadikan negara tidak akan berlepas tangan tentang pengelolaan pendidikan. Belum lagi, adanya dalil mengenai kewajiban bagi setiap muslim dalam menuntut ilmu akan menjadikan negara berusaha keras untuk menegakkan pendidikan gratis agar seluruh umat dapat melaksanakan kewajiban ini.
Rasulullah bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913).
Dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh untuk membayai pendidikan, termasuk di dalamnya membiayai seluruh fasilitas, menggaji staff dan pengajar, serta kebutuhan lain. Bahkan, pada masa Khalifah Al-Mustansir, setiap siswa menerima beasiswa berupa satu dinar (4,25 gr emas setara dengan Rp4,25 juta jika 1 gr emas senilai Rp1 juta).
Tak cukup hanya itu, negara memiliki fasilitas laboratorium yang mumpuni dan perpustakan besar dengan banyak buku yang semua ini dapat diakses secara gratis oleh semua kalangan.
Negara juga mengadakan asrama pelajar sehingga para pelajar tidak akan merasa berat memikirkan hidup ketika harus merantau untuk menuntut ilmu. Sehingga, potret mahasiswa yang dihasilkan adalah intelektual yang fokus menuntut ilmu demi kemashlahatan umat dan bangsa yang tidak terbebani oleh UKT serta biaya hidup selama kuliah.
Suasana pendidikan seperti ini dapat terwujud ketika sebuah negeri menerapkan sistem politik-ekonomi Islam. Sistem politik Islam akan mengharamkan eksploitasi SDA oleh swasta dan asing.
Sistem ekonomi Islam akan mengatur kepemilikan sehingga tidak sembarang orang dengan mudah meng-kavling pulau. Dengan sistem Islam ini, kas negara akan cukup memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan, negara akan mampu menggratiskan pendidikan.
Sudah seharusnya sebagai muslim, kita mulai mengkaji dan mendalami Islam agar paham bagaimana sistem Islam menurunkan sistem pendidikan yang luar biasa mencetak generasi unggul pengisi peradaban yang tentunya 1800 sangat berbeda dengan sistem saat ini yang menyesakkan dada. Sudah waktunya, kita kembali kepada sistem Islam yang akan menjaga kita dalam melaksanakan kewajiban, yaitu menuntut ilmu.
Hal ini dikarenakan dalam pandangan Islam sebuah kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak rakyatnya. Bukan malah, berdiam diri dan bertahan di sistem yang menjerumuskan kepada kedzaliman dan kemungkaran.
Ketika kita berdiam dan membiarkan kedzaliman ini. Kita mengganggap hal ini suatu hal yang wajar. Naudzubillah min dzalik, para pelajar akan tetap terjebak dalam kemungkaran-kumungkaran tersebut yang tersistematis.
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 85). (*)