Penulis: Nur Khaliq (Mahasiswa Pascasarjana Keperawatan Saint Paul University Filipina)
PIJAR OPINI — Dalam sepekan terakhir, public terutama pengguna media social (medsos) disuguhkan dengan beberapa kasus seksualitas secara beruntun. Mulai dari yang bertemakan politik seksual, bisnis lendir, wisata seksual, hingga yang menyangkut kasus pribadi.
Tersebutlah misalnya nama Hanna Anisa yang menggegerkan publik setelah video panas diduga dirinya dengan seorang pria beredar luas di jagat media sosial (medsos) sejak Rabu (25/10). Tercatat dalam beberapa hari belakangan nama ini di cari lebih dari 100 ribu kali di penelusuran Google. Bahkan beberapa hari yang lalu, tren pencarian nama Hanna Anisa mengalahkan popularitas Presiden Jokowi dan Gubernur DKI Anies Baswedan dengan perbandingan yang lumayan jauh.
Hanna Anisa, selain dicari sebagai sosok wanita seksi dan cantik, juga seringkali karna di kaitkan dengan status intlektual yang disandangnya sebagai mahasiswa, atau lebih tepatnya sebagai alumni Universitas Indonesia. Selain itu, embel-embel sensasional dan erotis lain seperti “produk local,” dst, juga menjadi pemicu rasa penasaran pengguna internet untuk mencari tahu.
Membincangkan seksualitas, reproduksi, pornografi dan pornoaksi atau ‘diskursus tubuh’ di dalam masyarakat saat ini masih dianggap hal tabu dan tidak layak. Masyarakat pada umumnya masih “malu-malu” Bahkan terkesan “munafik” dalam merespon problem “ke-porno-an”.
Akibatnya, dalam realitas perkembangan masyarakat yang perlahan berevolusi dari masyarakat pra-modernis menuju masyarakat teknologi seperti saat ini, diskusi semacam ini kadangkala membawa dampak yang ambigu dan dilematis. Disatu sisi, teknologi informasi yang menembus celah-celah papan bilik kamara dan membanjiri pengakses internet dengan Tsunami informasi, menyuguhkan kemudahan mengakses berjuta konten porn. Disisi lain, evolusi masyarakat diruang public yang lambat, menjadikan diskusi ke-porno-an terbelenggu dalam kerangkeng stigma, “amoral”, “cabul”, “jorok”, bahkan “tuna susila” yang ketat.
Namun demikian, bagi beberapa kalangan, terutama mereka yang berkecimpung di dunia medic, dikusi “ke-porno-an” adalah hal yang biasa bahkan wajib. Seksualitas, alat-alat reproduksi serta fungsi-fungsinya bagi pelaku medic dipandang sama saja dengan bidang kajian lainnya dan tidak memiliki keistimewaan -meski tidak membuang sensasi hasrat-birahi sebagai naluri manusia normal-; bahkan kadang menjadi bahan candaan.
Bagi mahasiswa perawat dan kebidanan misalnya, studi tentang kajian ini diajarkan bahkan hingga beberapa-jumlah SKS dan di beberarapa tingkatan semester. Hal ini disebabkan karna pemahaman yang baik tentang pasal ini, akan berdampak langsung pada pelayanan prima yang akan diberikan nantinya. Perawat misalnya, bukan lagi tiap hari memasang catheter dan harus bersentuhan langsung dengan “penis” atau “vagina”. Demikian pula bidan yang setiap harinya bergelut dengan pemasangan alat kontrasepsi, pemeriksaan kehamilan, kelamin, dan partus. Selain itu, wacana ekslusif “muhrim” dan “bukan muhrim” dapat diminimalisir dengan pemahaman yang baik tentang pasal ini.
Namun demikian, bagaimanakh sesungguhnya memaknai seksualitas dalam dunia yang semakin terbuka seperti saat ini?.
Bagi orang kebanyakan, “ke-porno-an” seringkali dikaitkan dengan kejorokan yang menyulut syahwat dan mengangkat birahi, namun bagi beberapa intelektual, “ke-porno-an”, justru mengandung unsur spiritualiatas yang mampu mengantarkan hidup manusia pada energy kehidupan yang mulia dan tinggi.
Dalam kajian postmodernisme misalnya, Istilah spiritualitas (spirituality) dimaknai dengan dua bentuk. Pertama, sebagai sesuatu yang berkait erat dengan religiusitas. Ini adalah pemaknaan spiritualitas secara sempit. Kedua, Pemaknaan luas tentang spiritualitas. Yaitu sesuatu yang tidak terkait dengan religiusitas.
Spiritualitas dalam pemaknaan yang sempit mempunyai konotasi pada bentuk disiplin keagamaan atau keberagamaan yang mendalam (deep religiousity). Sedang Dalam pemaknaan yang lebih luas, spiritualitas adalah nilai-nilai dan makna mutlak dalam kehidupan, baik itu yang bersifat spiritual atau yang bersifat keduniawian. Baik itu yang disadari membawa kepada peningkatan komitmen kapada nilai-nilai dan makna tersebut atau tidak.
Arti luas spiritualitas ini juga menerima konotasi agama yakni nilai-nilai dan makna yang final (ultimate) sebagai yang kudus (holy). Dalam pemaknaan luas tersebut juga, kekudusan sering dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat duniawi seperti; kekuatan (power), energi seksual, atau kesuksesan, dll.
Contoh sederhana yang dapat di utarakan misalnya pemaknaan Kata erotik (yang seringk kali berkonotasi porno) sesungguhnya berasal dari kata Yunani yaitu eros yang berarti cinta. Kata Cinta/erotik dalam (pemaknaan spiritualitasnya) adalah kata yang sama yang mendasari semua ajaran agama. Makna sepiritualitas semacam ini juga sesungnguhnya yang mendasari segala bentuk aktifitas keduniaan manusia, dan segala bentuk pranata social manusia seperti ekonomi, social, pendidikan, budaya, dll.
Lebih jauh, dalam diskusi sastra postmodernisme nama Susuan Sontag juga tidak bias ditinggalkan. Ia berpendapat bahwa “obsesi seksual sebagai subyek sastra kerap berperilaku seperti obsesi dalam agama. Kerja-kerja sensual ke-porno-an mencoba “merangsang” sebagaimana bentuk ekstrim pengalaman relijius berusaha meyakinkan orang untuk pindah agama.
Menurut Sontag, dalam karya sastra, semesta total pornografi dan segala bahan kehidupan yang ada didalamnya dapat dibuat seakan logis untuk mendukung kesahihan cara pandang. Dakwah agama dan segala bentuk propaganda juga bekerja berdasarkan prinsip yang sama.
Selain itu, industry pornografi dalam dunia kapitalisme, dengan hegemoni kuasa media membangun strotipe yang sering kali mengikat pemakna kita pada simbolitas-simbolitas. Sebuah adegan persetubuhan antara seorang laki-laki hitam dan seorang perempuan kulit putih, misalnya, tetap mengikatkan narasi nalar kita mengenai simbolisme lingga si laki-laki hitam sebagai “binatang”—sebuah ide kuno dalam hubungan antara ras. Sama halnya dengan adegan sanggama antara laki-laki kulit putih dan perempuan Asia, akan mengangkat stereotip perempuan “Oriental” sebagai penggoda laki-laki sekaligus ide kolonialisme Barat sebagai maskulin dan Timur sebagai feminin.
Mengapa kita memilih video A dan buka video B, seringkali di picu oleh konotasi-konotasi dari strotipe yang seolah natural diatas; namun sesungguhnya merupakan buah dari kuasa media. Sebab ini juga yang menjawab pertanyaan, mengapa video Hanna Anisa begitu populer, itu karna kuasa media pada pencantuman embel-embel yang disematkan padanya, seperrti; “mahasiswa UI”, “produk local”, dst.
Jadi, apakah seksualitas dan ke-porno-an masih merupakan hal yang “menjijikan” dan tidak pantas didiskusikan dan harus tetap ditutupi?. Menurut hemat penulis, menutupi dan membelenggu wacana seksualitas dalam tabu dan stigma yang ketat adalah hal yang contradictive dengan zaman yang semakin terbuka. Ketertutupan wacana seksualitas justru akan menggiring kita membangun masyarakat semu dan hipokratik atau masyarakat munafik. -suci dalam wajah, namun “bejat” dalam naluri dan tingkah-.
Selain itu, diskusi “tubuh” yang disalahpahami sebagai dosa atau “menjijikan” sesungguhnya telah menyalahpahamkan sebuah hasil kereasi tebaik Tuhan. Bukankah tubuh manusia dalam kepercayaan semua agama di yakini sebagai ciptaan terbaik dan di bentuk oleh tuhan dengan tangannya sendiri.
Oleh karna itu, penting kiranya memahami secara konferhensif diskusi pornografi, seksualitas dan tubuh. Dan tidak lagi melihatnya sebagai sekedar hal erotis, sensual, yang hanya membangkitkan gairah nafsu yang menjerumuskan kepada dosa belaka.
Dan merupakan tanggung jawab kita bersama memberi ruang adaptasi bagi wacana keterbukaan yang bertanggungjawab, guna menyiapkan pondasi kokoh bagi lahirnya peradaban bangsa yang humanis dan spiritualis.
Minallahil mustaan wa ilayhi tiqlan.