Akhir-akhir ini kita sering mendengar atau membanca slogan yang mengatakan bahwa untuk menjaga kemurnian ajaran Islam, maka seharusnya umat Islam hanya merujuk pada al-Qur’an dan Hadits Shahih saja. Dalam segmen siaran salah satu stasiun radio swasta di Makassar, yang menghadirkan tallkshaw tentang Islam, pemandunya berkali-kali menekankan bahwa pemahaman Islam yang dikembangkan adalah Islam murni, Islam yang hanya bersumber dari al-Qur’an dan Hadits shahih saja. Artinya, jika ada ajaran Islam yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan atau Hadits Shahih, maka itu pasti ditolak.
Sayangnya, jika kita ikuti diskusinya, maka yang dimaksud dengan Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits shahih tersebut hanya mangacu pada kitab terjemahan al-Qur’an, dan kitab-kitab terjemahan hadits Bukhari dan Muslim.
Kedengarannya slogan ini memang indah, baik dan benar…., bahkan membuat banyak orang yang tidak sadar menyatakan persetujuannya. Pada hal, saya ingin mengatakan bahwa slogan seperti ini mengadung kelemahan, bahkan dapat membuat bingung dan menyesatkan umat.
Baik, agar dapat difahami apa yang saya maksud, saya ingin menjelaskannya dengan beberapa contoh sederhana:
1. Dalam hal pelaksanaan wudhu. Bagaimana seorang bisa memahami potongan ayat terkait dengan mengusap kepala (وامسحوا برءوسكم) sebagai salah satu rukun wudhu. Apakah yang dimaksud adalah dengan membasuh semua kepala, atau minimal 2/3 kepala, atau cukup membasahi sedikit bagian dari kepala….?
“Wa amsahuu bi ruusikum”, mengathaf (mengikut) kemana…? Apakah ke “fa aghsilu wujuuhakum” atau ke “wa aiydyakum ila al-marafiq”. Untuk memahaminya, tentu tidak bisa hanya membaca terjemahan, tetapi membutuhkan tafsir dan penjelasan dari ulama. Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan ulama mujtahid lainnya yang menjelaskan maksud ayat tersebut dengan mengacu pada riwayat yang mereka anggap lebih kuat untuk menetapkan maksudnya. Nah, penetapan (pendapat) mereka ini jelas bukan ayat al-Qur’an, juga bukan hadits, tetapi hasil ijtihad mereka.
2. Demikian pula terkait dengan berbagai rangkaian pelaksanaan sholat. Para ulama sepakat, bahwa takbiratu al- ihram adalah rukun dari sholat, tetapi dimana posisi tangan saat mengangkat takbir al-ihram, apakah sejajar dadah, atau sejajar daun telinga, atau cukup isyarat gerak tangan, atau di atas kepala?
Para ulama mujtahidlah yang menjelaskan sesuai dengan pandangan yang dianggap lebih kuat. Pandangan mereka ini tentu bukan hadits.
3. Masih tetkait sholat…., setelah takbir, ada yang bersidekap di atas perut, ada di antara perut-dada, ada di atas dada, ada di atas perut bagian pinggang kiri, bahkan ada tidak bersidekap, nah sekali lagi pendapat yang kita anut dan amalkan itu, adalah pendapat dari imam mujtahid yang mencoba menjelaskan riwayat yang mereka anggap lebih kuat, dan sekali lagi pendapat mereka bukan hadits.
4. Contoh lain, terkait dengan kewajiban mengeluarkan zakat, dari mana kita hususnya di Indonesia mengekuarkan zakat fitrah dengan beras, atau uang yang senilai dengan beras 4 gantang (liter)…? Dalam al-Qur’an maupun hadits tidak menyebutkan beras, yang ada adalah gandum dan kurma. Para ulama yang melakukan istinbath al-hukm dengan menqiyaskan beras dengan gandum dan kurma sebagai makanan pokok. Hasil Qiyas ini, sudah barang tentu bukan hadits.
5. Demikian pula terkait dengan zakat profesi (pekerjaan) Dalam teks nash yang ada adalah profesi petani, peternak, pedagang dan penambang. Lalu bagaimana dengan profesi hakim, pengacara, dosen, dokter, dst. apakah tidak perlu mengeluarkan zakat? Kalau perlu (wajib) apa ukurannya, apakah 10%, 5%, atau 2,5%? Apakah mesti menggunakan haul (masa) atau setiap menerima pendapatan (hasil)..? Masalah ini jelas tidak ada haditsnya
Bahkan dapat dikatakan, amalan keberagamaan yang kita laksanakan merupakan hasil dari penjelasan atas makna teks nash yang dilakukan oleh para ulama mujtahid. Kita tidak bisa (karena keterbatasan pengetahuan kita) untuk langsung menjadikan terjemahan teks nash sebagai pedoman kita dalam beragama.
Jadi, dengan mengatakan hanya melaksanakan ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits Shahih saja, adalah pernyataan yang mengandung kelemahan konsep dan kerancuan yang bisa menyesatkan umat.
Benar ada teks Hadits yang menjelaskan bahwa:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله ، وسنة نبيه – صلى الله عليه وسلم.
tetapi untuk bisa memahami makna dan kandungan sebuah teks ayat dan hadits, maka kita membutuhkan penjelasan dari ulama yang memahi dan menguasai ilmu alat (bahasa Arab dengan segala ragamnya), mengusai ilmu ushul, mengusai tata cara istinbath, faham nushush syari’ah dan maqasid syari’ah, faham asbab al-nuzul dan asbab al-khuruj, serta ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan. Sudah barang tentu penjelasan para ulama mujtahid tersebut, bukan lagi al-Qur’an dan al-Hadits.
Jadi makna hadits dibatas, tidak bisa difahami dengan membaca terjemahannya saja, lalu mengatakan hanya cukup merujuk pada Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah nabiyuhu (al-Hadits), dan celakanya lagi jika yang dimaksud itu adalah makna teks yang diperoleh dari terjemahan al-Qur’an dan terjemahan kitab hadits.
Kalimat hanya mengambil ajaran dari al-Qur’an dan Hadits Shahih saja, adalah ungkapan yang menjelaskan ketidak fahaman mereka terhadap sejarah.
Mereka tidak mengerti kalau para Imam Madzhab, yang memberikan penjelasan terhadap makna teks dari nash-nash syari’at yang ada setelah melakukan ijtihad, melakukan istinbath al-hukm terhadap persoalan yang belum jelas ketentuan hukumnya dalan al-Qur’an dan al-hadits.
Dan mereka itu (para imam madzhab) telah ada jauh sebelum para perawi hadits lahir…, bahkan mereka justru belajar hadits dari para imam madzhab.
Imam Bukhari (lahir tahun 196 H) dan Imam Muslim (lahir tahun 202 H)-pun meski termasuk pakar hadits paling top, tetapi mereka tetap bermazhab. Mereka mengikuti mazhab Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i (lahir tahun 150 H), berguru pada Imam Malik (lahir tahun 93 H). Sedangkan Imam Abu Hanifah lahir tahun 80 H, dan Imam Hambal, lahir tahun 164 H.
=======
Penjelasan singkat dan tidak memadai ini, semoga bisa memberikan pemahaman kepada kita, bahwa pernyataan hanya menggunakan al-Qur’an dan Hadits Shahih saja, justru bisa membingungkan dan menyesatkan umat dalam memahami hakikat agama dan pesan-pesan keagamaan dalam teks-teks nash yang ada.
Wallahu a’lam
Penulis: Saiful Jihad