OPINI — Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) lazimnya digelar dengan khidmat di setiap tanggal 2 Mei. Selain upacara bendera, ada sejumlah perlombaan yang digelar di sekolah, instansi pemerintah, maupun organisasi kemasyarakatan. Namun, di masa ketika banyak orang di dunia bersembunyi dari Corona, kegiatan-kegiatan tersebut akan absen.
Adalah Presiden Soekarno melalui Keppres No.316/1959 yang menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Ki Hadjar Dewantara. Berdasarkan Keppres itu juga, hari kelahiran pelopor pendidikan pribumi ini ditetapkan untuk diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Tahun ini, peringatan Hardiknas dilaksanakan di tengah protokol Covid-19. Ini tidaklah mengurangi makna dari spirit yang hendak disemai. Bahkan, di tengah kesunyian peringatan, boleh jadi memberikan “dividen” sebagai investasi pertumbuhan anak-anak Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah peserta didik pada Tahun Ajaran 2017/2018 mencapai 45,3 juta jiwa. Lebih dari separuh jumlah tersebut adalah peserta didik tingkat SD (56,26%). Sementara SMP berjumlah 10,13 juta jiwa (22,35%) dan SMA/SMK sebesar 9,68 juta jiwa (21,39%). Angka tersebut diperkirakan tak jauh berbeda dengan kondisi tahun 2020.
Lebih jauh, BPS memproyeksikan jumlah anak-anak Indonesia usia 0-17 tahun pada tahun 2020 sebesar 79,373 juta jiwa. Ini berarti sekitar 30% dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata lain, satu di antara tiga penduduk Indonesia adalah anak-anak.
Selama musim pandemi Covid-19, anak-anak itu berada “di-rumah-saja”. Pembelajaran sekolah mereka ikuti dari rumah secara daring. Kenyataan tersebut hendaknya tidak hanya menjadi respon terhadap Covid-19. Melainkan juga memberi makna terhadap Hardiknas dengan jalan mengambil manfaat dari situasi tersebut.
Hal ini senafas dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional (Pasal 13 UU No.20/2003) yakni, “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kerjasama dari semua pemangku kepentingan. Masyarakat (dan tentu saja keluarga) memiliki saham yang tidak kecil dalam upaya pengembangan potensi peserta didik, sebagaimana dimaksud dalam tujuan pendidikan nasional.
Dalam kaitan ini, konsep Merdeka Belajar, sebagai bagian dari cetak biru pendidikan nasional yang digagas Mendikbud Nadiem Makarim, diharapkan dapat menjawab permasalahan yang ada. Antara lain –dalam hemat kita– adalah dengan menempatkan pendidikan sebagai bagian dari proses pembudayaan, dan bukan sekedar “persekolahan”.
Para pendiri bangsa (founding fathers) dengan sangat baik telah merumuskan tujuan kehidupan bernegara kita yakni, salah satunya, adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini tersurat dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, dan menjadi roh regulasi pendidikan nasional.
Apakah kita sudah sampai pada tujuan itu? Lantas, bagaimana seharusnya memaknai tujuan tersebut? Manfaat apa yang dapat dipetik dari Hardiknas di tengah pandemi COVID-19 saat ini?
Pendidikan Keluarga
Menurut hemat kita, tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 bukanlah sebuah “terminal akhir”. Melainkan sebuah “proses” yang harus berlangsung terus menerus dan secara berkesinambungan. Sebuah proses pembudayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita berpendapat, bahwa pendidikan di sekolah saja tidaklah mencukupi. Setiap anak dan peserta didik memiliki keunikan dan bakat masing-masing. Apalagi ilmu dan pengetahuan masa kini berkembang sedemikian cepat. Tak jarang, apa yang dipelajari hari ini bisa menjadi “basi” dalam waktu yang tidak lama.
Demikian juga dengan pencapaian mengagumkan di bangku sekolah. Tidak otomatis menjadi dasar penilaian kemampuan seseorang. Banyak contoh menjelaskan tidak semua murid cemerlang di bangku sekolah menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Sebaliknya, banyak murid tidak menonjol di sekolah namun kemudian berhasil menjadi tokoh berpengaruh.
Anda tentu bisa menyebut Thomas Alfa Edison, penemu lampu pijar (dan pemilik lebih 3.000 hak paten), yang sejak usia sebelas tahun diberhentikan oleh sekolah karena dianggap tak mampu mengikuti pelajaran. Sebut pula Mark Zuckerberg (bos Facebook), Bill Gates dan Jack Ma (keduanya orang terkaya dunia), George Washington dan Abraham Lincoln (keduanya mantan Presiden Amerika dan tidak pernah sekolah tinggi).
Di Indonesia, Anda bisa menyebut Adam Malik (mantan Wakil Presiden RI yang cuma lulusan SD), Susi Pudjiastuti (mantan Menteri Kelautan yang hanya lulusan SMP), atau Dahlan Iskan (mantan Menteri BUMN yang berhenti atau DO di Semester IV). Daftar ini tentu masih dapat diperpanjang. Termasuk yang berlatar belakang pengusaha, politisi, seniman, artis, dan sebagainya.
Tentu saja hal itu tidak berarti bahwa pendidikan sekolah tidak dibutuhkan. Melainkan mesti diperkaya dengan cita rasa pengalaman rohaniah dan pertumbuhan kecerdasan emosi untuk mengelola hubungan personal dan relasi sosial.
Kenyataan ini dipotret dengan baik oleh Charles Darwin dalam otobiografinya, sebagaimana dikutip EF Schumacher (1973): “Hilangnya cita rasa itu berarti lenyapnya kebahagiaan, barangkali merusak kecerdasan dan lebih-lebih lagi mungkin berbahaya bagi moral, karena hal itu melemahkan kehidupan emosi kita.”
Kelemahan tersebut dapat diatasi oleh pendidikan keluarga. Aspek emosi ditumbuhkan menjadi sebuah kecerdasan yang menuntun anak menjalani cara hidup yang benar. Menggunakan kecerdasan emosi sebagai dasar penalaran dan pemecahan masalah dan meningkatkan aktivitas kognitifnya.
Kebersamaan anak-anak bersama keluarga selama protokol COVID-19 akan sangat berpengaruh dalam pertumbuhan kecerdasan emosi mereka. Orang tua dan keluarga inti sangat berperan. Jika ini dimaksimalkan, maka dalam satu generasi ke depan, Indonesia berpeluang menjadi negara hebat.
Bayangkan saja, ada 79,373 juta jiwa anak Indonesia yang melewati masa pandemi COVID-19 bersama keluarga inti. Di antara itu, terdapat sekitar 44 juta anak yang berusia 0-9 tahun. Pengalaman “dilockdown” di-rumah-saja bersama keluarga akan mencerahkan dan meningkatkan kecerdasan emosi anak. Barangkali itu!
Penulis adalah Penggiat Literasi dan mantan Ketua KPID Kaltim