Oleh: Sirajuddin
(Pustakawan IAIN Parepare)
Ibu adalah wanita yang dari dan dalam rahimnya (alam yang penuh dengan kasih sayang Alllahurabbi). Kita bertumbuh dengan sempurna. Sampai suatu waktu kita lahir ke dunia tidak dengan mudah tapi dengan mempertaruhkan jiwa. Dalam benak dan tirakat seorang ibu, bagaimana kita bisa hidup dan terlahir dengan selamat.
“Hari Ibu Nasional” yang sering dirayakan setiap 22 Desember memiliki latar belakang sejarah panjang dan penuh perjuangan yang diprakarsai oleh para pejuang perempuan waktu itu. Latar belakang sejarahnya yang mengacu pada Kongres I Perempuan Indonesia di Jogja pada 22 Desember 1928.
Kongres bertujuan menyatukan organisasi perempuan untuk memajukan nasib perempuan dengan agenda utama; peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan; peranan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa. Juga agenda perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, serta agenda lainnya.
Ada beberapa fakta yang tergambar di Hari Ibu. Zaman yang dilakoni oleh generasi milenial saat ini merespons dengan euforia yang direalisasikan dengan beraneka bingkisan untuk ibu yang dijadikan ajang eksistensi di dunia maya dengan narasi puitis tentang Ibu. Ada juga yang antusias mengemas meramaikannya dengan perayaan dan perlombaan yang bernuansa “ibu”.
Namun yang lebih penting bagaimana merelisasikan bakti itu di kondisi nyata.
Harapan para pejuang seharusnya direfleksikan dan dijadikan pembelajaran dalam menata kehidupan kita. Menginstal habituasi dengan mengambil makna pengorbanan dan kasih sayang Allah yang tervisual melalui kasih sayang ibu.
Di era ini kita dihadapkan dan distimulus oleh berbagai tantangan dan masalah yang harus kita hadapi dengan kematangan berpikir sebagai realisasi dari belajar, era disrupsi yang dikenal dengan era industri 4, 0 berorientasi pada penggunaan Artificial Intelegency atau kecerdasan buatan dan menepis pola pikir lama, pola kerja linear dan tidak ada lagi kerja rutinitas khusunya dalam dunia birokrasi. Pada waktu yang bersamaan kitalah sebagai pemegang kendali atau manager.
Memaknai hari ibu di zaman manapun kita berada seharusnya ada spirit kasih sayang (rahim) dengan orientasi melakoni zaman saat ini. Konsekuensiya dengan mudahnya akses teknologi setiap orang dengan mudah beraktivitas dengan efisien yang termobilisasi melalui jaringan internet.
Ini adalah era terbaik bagi generasi republik ini karena Indonesia saat ini tengah memperoleh jendela kesempatan demografi (demographic window of opportunity). Penduduk Indonesia saat ini tergolong muda.
Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 2015 jumlah penduduk Indonesia pada 2019 diproyeksikan mencapai 266,91 juta jiwa. Menurut jenis kelamin, jumlah tersebut terdiri atas 134 juta jiwa laki-laki dan 132,89 juta jiwa perempuan.
Indonesia saat ini sedang menikmati masa bonus demografi dengan kondisi dimana setiap dua orang penduduk hanya menanggung beban satu orang penduduk tidak produktif yang berarti jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dari usia tidak produktif, yakni lebih dari 68 persen dari total populasi, sejumlah pihak sering menyebutnya sebagai bonus demografi.
Menurut Evi Nurvidya Arifin, peneliti Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Bonus ini bisa kita peroleh jika ada upaya masyarakat dan pemerintah sehingga bonus ini bisa menguntungkan perekonomian bangsa ini, namun bisa menjadi sia-sia atau menjadi demographic disaster jika kita tidak melakukan apa-apa.
Sebagai pustakawan dan penggerak literasi, ada sejumput harapan makna dari hari ibu yang telah kita laksanakan dalam berbagai segmen dan euporia mothers’ day. Mari kita meealisasikannya dengan menumbuhkan semangat belajar learning spirit, pengembangn keterampilan atau skills improving dan merawat passion menuju masyarakat yang berbudaya dan berkarakter pembelajar yang nasionalisme yang mampu menyeka air mata ibu pertiwi. (*)