Oleh : Resi (Mahasiswa Prodi Hukum Pidana Islam IAIN Parepare)
MARAKNYA pengguna media sosial di lingkungan masyarakat tentunya bukan suatu hal yang baru lagi. Sebab hadirnya media sosial merupakan konsekuensi zaman sebagai keharusan universal terhadap segala sesuatu yang berbasis online. Salah satu keuntungan dengan hadirnya media sosial bagi masyarakat tentunya akan lebih mudah dan tidak perlu lagi mengeluarkan sejumlah dana lebih untuk bertemu. Beragam dan banyaknya pengguna media sosial tentu tidak dapat dipungkiri akan adanya hal yang tidak kita inginkan terjadi seiring berkembang pesatnya teknologi. Salah satunya yaitu penyebaran hoaks. Merujuk KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) hoaks merupakan berita bohong namun pemaknaan secara universal hoaks adalah hegemoni publik terkait informasi palsu.
Hadirnya kejahatan seperti ini tentu sangat meresahkan masyarakat dan membuat pemerintah untuk bekerja lebih ekstra dalam menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan. Eksistensi hukum dalam menyikapi hal ini tentu sangat dibutuhkan sebagai balance dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, orientasi hukum harusnya menjadi hak progretif tiap individu sehingga terhindar dari perlakuan kriminal dalam rana sosial atau pun menjadi pelindung keamanan. Pemerintah perlu membuat sebuah regulasi guna menanggulangi penggunaan media sosial masyarakat tetap aman dan dapat mengakses informasi lebih luas lagi.
Ketika kita merujuk pada Undang-Undang Pasal 1 ayat 3 Tahun 1945, maka negara Indonesia merupakan negara hukum di mana dalam konsep negara hukum diidealisasikan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Adapun salah satu ciri negara hukum itu yakni memberikan hak dan kewajibannya kepada warga negaranya di mana memberikan perlindungan dan supermasi hukum. Maka dari itu negara Indonesia tentunya memiliki peran penting dalam melindungi masyarakatnya dari kejahatan media sosial dan memberikan sanksi kepada si pelaku kejahatan tersebut.
Masih banyak regulasi yang mengatur tentang etika bermedia sosial. Islam pun menitipkan ajaran-ajaran dalam berinteraksi secara sosial dan ajaran itu dapat berdialektika dengan zaman. Sebagai ajaran yang rahmatan lil’alamin tentunya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan untuk menghindari keretakan epistemology dalam berinteraksi sosial. Adapun salah satu informasi yang diindikasikan sebagai hoaks yang marak dibicarakan di lingkungan masyarakat pada tahun 2021 kemarin, yakni hoaks terkait Covid-19 yang di mana beredar luas di sosial media yaitu mengenai pengobatan Covid menggunakan bawang putih. Bahkan bukan hanya itu, adapun berita yang dapat dikatakan tidak masuk akal yaitu pengobatan Covid -19 menggunakan kotoran sapi yang marak dibicarakan di India. Bahkan mereka menggunakan kotoran sapi tersebut untuk pengobatan Covid-19 itu sendiri. Terkait berita tersebut dibantah sendiri oleh pimpinan Pencegahan dan Pengendalian penyakit (P2P) bahwa berita tersebut tidaklah benar.
Dalam ketentuan Perundang-Undangan Tahun 1946 No.1 Terdapat pada Pasal 14 dan Pasal 15 hoaks atau penyebaran berita bohong ini diatur. Bahkan tidak hanya itu, hoaks atau penyebaran berita bohong juga ketentuan dan sanksinya di tetapkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur dalam Pasal 28 ayat. (1) Jo. Pasal 45A ayat 1. Dalam ketentuan Pasal 28 ayat 1 ini, yang di mana ketentuannya seorang pelaku penyebar berita bohong atau hoaks dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau dikenakan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam Islam terkait hoaks juga ada, hanya saja penamaannya yang berbeda, sebab dalam Islam hoaks biasa disebut dengan kebohongan sama halnya pengertian dalam KBBI Telaah dalam Islam, perilaku tersebut sangat dikecam apalagi perbuatan itu ada hubungannya tentang mendehuminasi sesama ciptaan Tuhan. Penyebaran hoaks juga diatur dalam Alquran Surah An-Nur: ayat 11. Jika ditelisik ayat tersebut maka dapat kita maknai bahwa ujaran kebencian dalam kehidupan sosial utamanya kalangan Islam sangatlah dikecam. Sehingga larangan akan ujaran kebencian dapat kita jumpai dalam nafs-nafs Tuhan.
Beragam jenis sanksi dalam Islam tergantung berat jenis pelanggaran yang dilanggar. Pertama yaitu jarimah Hudud yang dimana semua jenis tindak pidana dan ketentuannya sudah ditetapkan di dalam Alquran. Terkait penyebaran hoaks atau berita bohong diatur dengan ketentuan jarimah ta’zir. Menurut seorang ahli fiqih yakni Imam Abu Hasan al-Mawardi ta’zir sendiri yakni hukuman yang dimana ketentuannya tidak ada ditetapkan di dalam Alquran dan hukuman tersebut bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang telah dilakukan.
Ta’zir sendiri merupakan sanksi atau hukuman yang tidak ada ketentuannya diatur dalam Alquran maupun Al-Hadist sehingga semua ketentuannya diserahkan kepada pihak yang berwenang yakni pemerintah, seperti lembaga legislatif atau hakim. Semua ketentuannya tersebut diserahkan kepada mereka dalam menindaklanjuti dan memberikan sanksi kepada pelaku penyebaran hoaks atau berita bohong yang dikenakan hukuman ta’zir. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.