Oleh: Aditya Putra
(Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin)
Memasuki tahun politik 2024 di Indonesia, iklim politik kembali menghangat. Sebuah cuplikan video yang berisi imbauan golongan agama tertentu untuk tidak memilih salah satu bakal calon presiden yang diusung sebuah partai memunculkan pro kontra dan membuat ruang publik kembali memperbincangkan sebuah istilah yang pernah marak mengisi diskursus publik di Indonesia, yaitu politik identitas. Status Ade Armando yang sering melekatkan istilah politik identitas pada bakal calon presiden tersebut membuat kubu lawan sontak menuding bahwa Ade Armando sendirilah yang justru menggunakan politik identitas. Sayang, kedua belah pihak tampaknya mengalami salah kaprah terkait politik identitas itu sendiri.
Apabila kita melihat pada sejarah politik identitas itu sendiri, sebenarnya telah terjadi tumpang tindih yang menyebabkan konsep ini mengalami kerancuan dalam penggunaannya. Sebelum politik identitas sebagai sebuah narasi “sempit” kemudian mendunia sebagai hasil dari gaya kampanye calon presiden AS Donald Trump pada tahun 2016, istilah ini sudah digunakan pada bidang ilmu sosial dan humaniora untuk menggambarkan fenomena yang beragam, mulai dari gerakan perempuan dan hak-hak sipil, hingga pada gerakan separatisme dan nasionalisme ekstrem. Bahkan isitilah ini sendiri digunakan secara formal pada dunia ilmiah pertama kalinya pada tahun 1979, ketika Anspach merujuk pada aktivisme penyandang disabilitas untuk mengubah konsep diri dan masyarakat tentang penyandang disabilitas. Di sini politik identitas dianggap lebih kepada upaya yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk mengubah persepsi mereka di masyarakat, sehingga mereka memperoleh pengakuan dan kedudukan yang setara dengan kelompok lain di masyarakat. Dengan demikian, perjuangan buruh menuntut upah yang layak, advokasi hak-hak sipil, hingga perjuangan masyarakat adat dalam menjaga tanah adat, sejatinya keseluruhannya merupakan bentuk politik identitas.
Oleh karena itu, beberapa ilmuwan sosial seperti Kauffman (1990) kemudian lebih condong memandang politik identitas dalam isitilah budaya, sebagai “keyakinan bahwa identitas itu sendiri— penjabarannya, ekspresinya, atau penegasannya—adalah, dan harus menjadi fokus fundamental pekerjaan politik;” dimana politik identitas mempolitisasi bidang kehidupan yang sebelumnya tidak didefinisikan sebagai wilayah politik, termasuk “seksualitas, hubungan interpersonal, gaya hidup dan budaya.”, alih-alih hanya sebagai konsep yang menggambarkan model komunikasi dan kampanye politik tertentu.
Penyempitan penggunaan konsep identitas politik ini dimulai pada tahun 1990-an, ketika politik identitas semakin marak dikaitkan dengan konflik kekerasan etnis dan nasionalisme. Politik identitas kemudian semakin sering digunakan untuk menggambarkan setiap usaha mobilisasi massa menggunakan politik, budaya, dan identitas. Apa yang bermula sebagai upaya untuk memperoleh kebebasan, kedaulatan, dan pengakuan kesetaraan, kemudian direduksi menjadi sekedar upaya untuk memperoleh dan menggerakkan massa dengan menggunakan identitas tertentu. Tidak mengherankan apabila beberapa ilmuwan politik kontemporer seperti Agnes Haller (1995) kemudian mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama. Setelah kegagalan narasi besar (grand narative), ide perbedaan ini telah menjanjikan suatu kebebasan (freedom), toleransi dan kebebasaan bermain (free play). Disini terjadi pergeseran tujuan, dari semula politik identitas merupakan upaya untuk memperoleh kesetaraan dengan kelompok identitas lain di masyarakat, menjadi upaya untuk memisahkan diri berdasarkan perbedaan dengan kelompok identitas lainnya.
Identitas sendiri pada dasarnya digunakan untuk menjawab pertanyaan, ‘Siapa saya?’ serta ‘Bagaimana saya ingin dilihat oleh orang lain? dan ‘Bagaimana saya ingin untuk dilihat di masa depan?’ Identitas seseorang adalah gabungan dari berbagai macam hal, termasuk pengalaman diri, hubungan, persepsi terhadap dunia, perhitungan risiko dan ancaman di dunia, serta pengamatan dan pengalaman mereka terhadap adat istiadat, moral dan nilai-nilai di masyarakat. Sering kali, identitas juga memasukkan karakteristik yang sebenarnya tidak berada dalam kendali seseorang, seperti misalnya berdasarkan ras, tinggi badan, warna mata, kelas sosial ekonomi, dan lain sebagainya. Dalam semua kasus, identitas terbentuk melalui proses sosialisasi, dimana individu menemukan diri mereka sendiri dan dimana mereka pikir mereka sesuai dengan tatanan sosial. Identitas dan perhitungan identitas seseorang dapat memiliki implikasi luas di masyarakat, karena setelah terbentuk atau diidentifikasi, identitas ini menjadi parameter dalam mengelompokkan orang ke dalam kelompok berdasarkan ‘kesamaan’ dan ‘perbedaan’.
Tidak mengherankan apabila istilah identitas politik memiliki hampir semua ciri yang sama dengan istilah identitas itu sendiri. Identitas politik juga menjawab pertanyaan ‘Siapakah saya?’ dan ‘Bagaimana saya ingin dilihat oleh orang lain,’ hanya saja dari orientasi politik. Identitas politik mengacu pada bagaimana seseorang atau sekelompok orang berpikir tentang diri mereka sendiri dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan suatu negara. Hal ini merujuk pada label dan karakteristik yang dipilih oleh individu untuk diasosiasikan berdasarkan banyak faktor termasuk, tetapi tidak terbatas pada, persepsi mereka tentang ideologi, platform, dan partai politik, serta bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri dari sudut pandang kebangsaan, ras, etnis, bahasa, perspektif budaya dan gender. Ada banyak identitas politik yang telah dipertimbangkan oleh para ilmuwan politik selama dua dekade terakhir, dengan beberapa identitas berakar pada biologi dan genetika, dan sebagiannya lagi berakar pada asal-usul simbolis serta kepercayaan ataupun agama yang dianut.
Mengetahui konsep politik identitas secara epistemologis akan membantu kita, selain untuk menghindarkan terjadi salah kaprah, juga untuk menjauhkan kita dari “kemalasan berpikir” dalam menyematkan istilah politik identitas kepada bentuk aktivisme politik yang mengusung simbol-simbol tertentu. Jangan sampai kita terjebak, sementara yang terjadi sesungguhnya bukanlah sebuah bentuk politik identitas, melainkan politisasi identitas untuk kepentingan politik praktis. Mengapa disebut politisasi identitas? Sebab identitas tersebut bukan menjadi tujuan politik, melainkan sekedar sebagai alat legitimasi dari tujuan politik tertentu, yang seringkali bersifat praktis. Tujuan utama politisasi identitas adalah untuk memperoleh dukungan dari kelompok identitas tertentu, sebagai alat untuk menggerakkan massa dari kelompok tersebut dan juga sebagai alat legitimasi tujuan politik tersebut. Dengan demikian identitas yang digunakan tidak baku, melainkan sangat cair dan dapat berubah tergantung dengan konteks tujuan yang ingin dicapai serta target kelompok yang ingin digunakan.
Di sisi lain, faedah memahami politik identitas juga untuk menghindarkan kita dari ketakutan berlebih terhadap simbol-simbol tertentu, terutama yang terkait dengan identitas agama. Tidak dapat dipungkiri bahwa politisasi identitas pada kontestasi politik di Indonesia telah membawa implikasi buruk terhadap kohesi sosial di masyarakat. Atribut-atribut keagamaan tertentu kemudian dilekatkan dengan stigma-stigma negatif yang berimplikasi buruk, padahal bisa saja penggunanya mengenakan atribut tersebut semata-mata karena hal tersebut dipandang sebagai sebuah keharusan, bukan untuk menonjolkan perbedaan ataupun intoleransi. Hal tersebut menambah parah polarisasi yang terjadi di masyarakat, dan meningkatkan resistensi terhadap upaya-upaya untuk membaurkan kembali kelompok-kelompok yang tersekat-sekat akibat perbedaan pilihan politik.
Pemilu 2024 selayaknya menjadi tahun dimana aktor-aktor politik yang terlibat didalamnya untuk mencoba merekatkan kembali masyarakat sebagai sebuah kesatuan. Mereka perlu menjadi contoh bagi pendukungnya, bagaimana politik seharusnya dipandang, yaitu sebagai ajang kontestasi ide dalam meraih dan menjalankan kekuasaan, bukan sebagai pembenaran untuk menghalalkan segala cara. Politik bukan sebuah arena dimana yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu, namun sebuah melting pot dimana mereka yang terlibat di dalamnya saling menawarkan alternatif terbaik dalam memperoleh dan mengimplementasikan amanat kekuasaan dari rakyat. Dengan demikian setelah pemilu berakhir, tujuan politik pun berubah menjadi hanya satu, yaitu semata-mata untuk kemaslahatan bersama. Hanya dengan cara seperti itulah, kita bisa menaruh harapan akan terwujudnya masyarakat yang dewasa dalam berpolitik, agar Indonesia tidak semakin terkotak-kotak dalam perbedaan. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.