Mursyid Syaikh Muhammad Ibrahim bin Syamsuddin bin Muhammad Al Makky Al Syadzily ketika itu meminta para pelajar untuk kembali beristirahat, sambil berkata “semoga dalam tidur kalian diberi hidayah”. Keesokan harinya, sang Mursyid bertanya adakah diantara kalian yang di beri isyarah? Salah seorang pelajar menuturkan mimpinya, kalau dia melihat ada orang meninggal di Mesjid Haram dan jasadnya dibawa keluar jauh dari tanah haram. Sebaliknya ada orang meninggal di luar tanah haram namun jasadnya dibawa masuk ke Mekah.
Sang mursyid berkata sambil memberi penjelasan ta’wil mimpi pelajar tersebut, bahwa itu gambaran tentang orang meninggal di Mekah namun jasadnya dikeluarkan dari Mekah, sebaliknya ada orang meninggal di tempat yang jauh namun jasadnya digiring oleh malaikat ke Mekah.
Lanjut Mursyid menyampaikan sarannya agar para pelajar kembali ke tanah air masing-masing, sambil membesarkan jiwa para pelajar. Jika Allah swt menghendaki maka jasad kalian akan digiring malaikat masuk di tanah haram ini, demikian penjelasan Mursyid.
Para pelajar pun memahami penjelasan mursyidnya, dan bersedia untuk dikembalikan. Bagi kakek KH Muhammad Yusuf, pemulangan itu cukup bersejarah karena sang mursyid memberikan selembar ijazah thariqah Al Syadzili yang memuat silsilah keilmuan (sanad) hingga Rasulullah saw, rahasia bai’at dzikir, wirid, hizib dan shalat takhassus.
Pesan nilai dari ijazah oleh kakek KH Muhammad Yusuf tentang “berulang kali ber haji” ternyata bukan hanya secara teks, namun secara konteks bisa dimaknai bahwa kemuliaan amalan dari para wali Qutub ini sebanding menunaikan ibadah haji.
Ijazah thariqah Al Syadziliyah dari kakek KH Muhammad Yusuf, sekarang ini di tangan ahli waris. Materialnya terdiri dari kertas tebal dengan ukuran kertas lebih lebar dari ukuran kertas pada umumnya. Tulisannya menggunakan tinta emas yang ber-stempel Syadziliyah tinta basah berwarna merah, tertanda Syaikh Muhammad Ibrahim bin Syamsuddin Al Makki sebagai khadim Al Syadzili di Masjid Haram.
Ijazah ini digandakan dalam bentuk cofy-an yang disederhanakan ukurannya, dan didistribusi hanya kepada ahli waris terutama backgraund pendidikan pesantren. Ijazah tidak boleh digandakan terkecuali bagi Mursyid yang berkompeten untuk melakukan spiritual bai’at amalan takhassus Rasulullah Sayyidina wa Habibina wa Maulana Muhammad saw. (*)
*Penulis adalah Wakil Dekan II Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam IAIN Parepare.