OPINI–Pada Maret 2020 lalu, terjadi lonjakan tajam Covid-19 di Indonesia yang membuat pemerintah bertindak cepat membatasi pergerakan masyarakat ditempat umum. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan agar penyebaran COVID 19 tidak semakin tinggi.
Di samping pembatasan-pembatasan yang dilakukan pemerintah Indonesia, masyarakat juga sudah terlanjur takut dengan virus Covid-19 yang digadang-gadang sebagai virus mematikan. Akibatnya, banyak tempat umum yang menjadi sepi, seperti pertokoan, perkantoran, tempat ibadah, sekolah, dan tempat hiburan. Hal ini memengaruhi sektor ekonomi, sosial, budaya dan terutama pariwisata.
Kemunculan Covid-19 sangat memengaruhi sektor ekonomi dan pariwisata. Kedua sektor ini saling berkaitan tidak lain karena pendapatan utama ada pada sektor pariwisata. Sejak Covid-19 merebak di Indonesia, jumlah wisatawan kian menurun baik wisatawan internasional maupun domestik. Pada Mei 2020, terjadi penurunan drastis wisatawan Indonesia hingga 88,99 persen month to month (mtm), penurunan terdalam tercatat pada wisatawan Indonesia yakni
92,45 persen.
Kondisi ini tidak dapat dibiarkan karena tidak hanya akan merugikan pemerintah, namun masyarakat Indonesia secara umum juga akan terpengaruh oleh sepinya wisatawan. Banyak dari masyarakat Indonesia akan kehilangan sumber pendapatannya, dan akan mengakibatkan angka kemiskinan yang semakin tinggi. Hal ini akan menimbulkan efek berantai yang akan merugikan daerah, bahkan negara.
Untuk mempromosikan tempat wisata kepada masyarakat, virtual reality dapat digunakan untuk memperkenalkan, mengingatkan, dan juga menarik calon-calon wisatawan baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara baik yang sudah, maupun calon wisatawan baru.
Virtual reality menawarkan sensasi nyata bagi penggunanya sehingga akan membuat calon wisatawan merasakan dan menilai sendiri bagaimana dan apa yang di tawarkan oleh suatu objek
wisata di Indonesia terutama wisata super prioritas tanpa perlu mengandalkan pihak lain untuk mengulas tempat wisata tersebut.
Masyarakat lokal ataupun mancanegara pada masa pandemi ini lebih banyak berkegiatan di rumah, tentunya banyak juga berinteraksi dan bergantung pada
teknologi digital. Melihat fenomena ini pada masyarakat global, disertai dengan masyarakat secara umum yang sudah bergerak menuju era society 5.0, di mana tidak hanya pada bidang industri saja yang bertaut pada teknologi digital, namun pada bidang sosial masyarakat pun sudah memaksimalkan penggunaan teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya fenomena tersebut di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan dalam tulisan ini, yaitu apakah berwisata digital ini dapat menarik masyarakat global untuk berwisata di Indonesia dan wisata apa yang tepat menggunakan wisata digital ini. Tulisan ini penulis kaji dengan teori virtual reality sebagai landasan dan akan menggunakan pendekatan deskriptif. Penggunaan teori tersebut akan memudahkan penulis dalam menjawab
permasalahan yang ada pada tulisan ini, dan akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan.
Tujuan tulisan ini adalah untuk menelaah tingkat minat masyarakat global dalam menggunakan teknologi virtual reality untuk mengunjungi objek wisata yang ada di Indonesia. Harapan penulis ketika pandemi mulai menurun dan kondisi kembali seperti sedia kala, mengingat vaksin dari Covid-19 juga sudah mulai dipasarkan hingga vaksin booster, banyak wisatawan yang akan mengunjungi objek wisata berkat promosi yang sudah digencarkan dikala pandemi.
*1. Society 5.0*
Era revolusi industri 4.0 (the industrial revolution 4.0.) yang menawarkan literasi baru yakni data, _technology, and human literation,_ sebagai sebuah tesis baru era teknologi digital, sejak tahun 2018 muncul “anti tesis” dari Jepang yang lebih menjunjung “manusia” di samping terjadinya revolusi data dan teknologi yakni society 5.0. Menurut Kantor Kabinet Jepang, Society 5.0 didefinisikan sebagai sebuah masyarakat yang berpusat pada manusia yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang sangat mengintegrasikan ruang maya dan ruang
fisik.
*2. Virtual reality*
Virtual reality (VR) adalah sebuah teknologi yang membuat pengguna dapat berinteraksi dengan lingkungan yang ada dalam dunia maya yang disimulasikan oleh komputer, sehingga
pengguna merasa berada di dalam lingkungan tersebut. VR bekerja dengan memanipulasi otak manusia sehingga seolah-olah merasakan berbagai hal yang virtual terasa seperti hal yang nyata.
Bisa dibilang, VR merupakan proses penghapusan dunia nyata di sekeliling manusia, kemudian
membuat pengguna merasa tergiring masuk ke dunia virtual yang sama sekali tak bersentuhan dengan dunia nyata. Untuk dapat memaksimalkan sensasi nyata dari dunia realitas virtual, dibutuhkan perangkat tambahan yang menstimulasi indra lainnya selain penglihatan. Hal paling
minimal dapat dengan menstimulasi indra pendengaran pengguna menggunakan speaker maupun headphone.
*3. Audio visual*
Konten adalah informasi yang tersedia melalui media atau produk elektronik di mana penyampaiannya dapat dilakukan melalui berbagai medium, baik secara tidak langsung seperti internet dan televisi, maupun langsung seperti presentasi. Secara umum audio visual merupakan suatu medium penyampaian pesan/informasi melalui bunyi/suara dan pencitraan gambar secara
stimultan.
*4. Virtual tour*
Sebuah tur virtual adalah simulasi dari lokasi yang ada, biasanya terdiri dari urutan video atau gambar diam. Hal ini juga dapat menggunakan unsur-unsur multimedia lainnya seperti efek suara, musik, narasi, dan teks. Hal ini dibedakan dari penggunaan siaran langsung atau tele-pariwisata.
*5. Stereoskopi*
Stereoskopi (juga disebut stereoskopik) adalah sebuah teknik untuk membuat atau menampilkan ilusi mendalam pada sebuah gambar dalam arti stereopsis untuk penglihatan binokular. Kata _stereoskopi_ berasal dari kata dari bahasa gre στερεός (stereos), berarti “padat”, dan σκοπέω (skopeō), berarti “terlihat”. Gambar stereoskopik apapun disebut sebagai stereogram.
Sebagian besar metode _stereoskopik_ menghadirkan dua gambar terpisah untuk mata kiri dan kanan
pengamatnya. Gambar dua dimensi tersebut kemudian dikombinasikan dalam otak untuk memberikan persepsi kedalaman 3D. Stereoskopi dapat kita temukan pada mainan anak-anak yang
berbentuk seperti teropong dua mata/binokular dengan sebuah lempengan berbentuk cakram yang berisi gambar pemandangan.
*Cara Berwisata Virtual*
_Tur virtual_ akan memanfaatkan audio visual berupa video 360o
yang memberikan akses
bagi pengguna untuk melihat ke segala arah agar pengguna tidak terkunci pada satu pandangan saat menjalani tur serta suara stereo untuk memberikan kesan nyata terhadap suara lingkungan dalam
tur virtual.
Sensor _gyroscope_ dari _smartphone_ memungkinkan pengguna dapat bergerak mengamati objek wisata dengan leluasa bagaikan di dunia nyata. Gerakan yang akan ditangkap oleh sensor adalah gerakan memutar, mendongak, dan menunduk yang kemudian akan diaplikasikan pada tur
wisata virtual ini.
Setelah memilih tombol “mulai”, pengguna akan diantarkan langsung pada laman pemutar
tur wisata virtual. Pada laman ini, pengguna cukup menekan tombol ikon _play_ untuk memulai tur.
Secara _default_, pada perangkat _smartphone_ tampilan video 360o
akan langsung menggunakan _mode stereoskopik_ layar penuh sebagaimana tampak pada gambar 4, namun bisa juga diatur agar tampak seperti tampilan video biasa.
Sebaliknya pada perangkat komputer, secara _default_ akan menggunakan pengaturan tampilan video biasa dan dapat diatur untuk menggunakan _mode stereskopik_.
Video tur tidak akan menampilkan durasi dari video agar pengguna dapat menjalani tur tanpa mempercepat atau melompati bagian-bagian tertentu dalam tur.