OPINI — Di saat euforia era revolusi industri 4.0 yang sedang berakselerasi pesat saat ini, diperhadapkan dengan tantangan yang sangat besar dengan kehadiran virus yang tak kasat mata. Siapa yang tidak mengenal virus corona atau nama ilmiahnya Orthocoronavirinae atau Coronavirinae yang awal kemunculannya hanya disebuah kota di Cina kini telah mewabah ke seluruh belahan dunia. Tak terbayangkan lebih dari 200 negara telah terepidemi, merenggut setiap yang bernyawa tanpa pandang bulu dan tanpa melihat status sosialnya.
Pemerintah kita saat ini telah berusaha mengambil kebijakan-kebijakan yang sangat krusial, meskipun diperhadapkan dengan pro kontra karena dampak yang akan ditimbulkan. Diawali dengan adanya pembatasan intraksi sosial (Social Distancing) hingga pada pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Tentunya kebijakan yang telah diambil pemerintah ini telah dikaji dengan sebaik-baik mungkin, dengan tetap memperhatikan konsekuensi yang terhadirkan.
Menyelisik sektor yang kini kena dampak kebijakan pemerintah, terdapat di sektor informal rumah tangga yang tentu saja terancam kehilangan pendapatan karena tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan primernya terutama bagi keluarga miskin dan rentan, di sektor UMKM juga terpukul karena adanya restriksi kegiatan ekonomi dan sosial, di sektor korporasi yang kendor seperti pelayanan jasa restoran, transportasi, perhotelan, dan akomodasi yang kini kurang perhatian, hingga pada sektor perbankan dan pembiayaan yang kini lesu.
Dampak tersebut memberikan kita gambaran, bahwa kebijakan tersebut tentunya berimbas keseluruh lapisan masyarakat. Tanpa terkecuali, sektor pendidikan juga merasakan dampak dari kebijakan tersebut. Pembelajaran yang pindahkan dari ruang kelas ke rumah masing-masing membuat kelimpungan banyak pihak, terutama dari pihak penyelenggara pendidikan itu sendiri, yang harus menyiapkan instrumen terbaiknya agar operasional pendidikan tetap berjalan dengan segala keterbatasannya.
Pihak penyelenggara pendidikan yang sangat merasakan dampaknya adalah penyelenggara sekolah swasta. Di luar dari kebingungan sistem pembelajaran daring yang sampai saat ini belum memiliki standar yang jelas dan baku. Hal yang sangat membuat sekolah berpikir keras adalah bagaimana cara membayar gaji gurunya.
Bagi sekolah swasta, hampir sebagian besar biaya operasional sekolah berasal dari Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), bahkan sumber utama pendapatan guru-gurunya berasal dari SPP itu sendiri yang besarannya hampir sama dengan besaran penerimaan SPP dibayarkan. Banyak media yang memberitakan sekolah-sekolah yang tak mampu lagi membayar gaji gurunya. Kita tidak bisa menutup mata bahwa bisa saja sekolah-sekolah swasta lainnya turut mengantre karena ketidakmampuannya menggaji guru jika wabah ini tak kunjung berakhir dan kebijakan tetap di rumah diperpanjang. Namun kondisi tersebut tentunya berbeda jauh dengan sekolah negeri yang guru-gurunya adalah ASN yang terakomodir langsung dari pemerintah.
Contoh paling nyata salah satu sekolah yang terkena pembatasan aktivitas di luar rumah adalah PAUD SPS Ciakong di Bandar Lampung (baca: CNN Indonesia), yang sejak dikeluarkannya instruksi pembatasan aktivitas di luar rumah telah meliburkan murid-muridnya. Bukannya memindahkan proses pembelajaran namun perlu digaris bawahi, “diliburkan”. Sangat ironi, namun hal ini terjadi karena ketidakmampuan sekolah untuk membayarkan gaji gurunya dan keadaan orangtua tidak mampu membayarkan iuran SPP anaknya dikarenakan rata-rata pendapatannya diperoleh dari pendapatan harian yang kini terbatasi. Tentu saja tidak ada pihak yang dapat dipersalahkan perihal ini karena kasus yang mewabah ini.
Mengantisipasi hal ini, pemerintah dalam hal ini Kemendikbud yang sebelumnya telah memprogramkan Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Pendidikan dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), selanjutnya telah mengeluarkan kebijakan untuk memaksimalkan penggunaan dana operasional tersebut.
Penggunaannya untuk membeli pulsa dan paket data untuk guru serta siswa, dilepasnya ketentuan memiliki NUPTK untuk pembayaran gaji guru dengan catatan tetap harus tercatat di dapodik per Desember 2019 namun ini tidak belaku bagi guru honorer, serta ketentuan pembayaran honor paling banyak 50 persen tidak berlaku selama masa penetapan status kedaruratan Kesehatan Masyarakat masih diberlakukan artinya penggunaannya dapat digunakan semaksimal mungkin. Disini kita dapat melihat keseriusan pemerintah dalam menghadapi carut marutnya wabah ini.
Sebenarnya kebijakan di atas merupakan angin segar bagi penyelenggara pendidikan, namun tetap saja hal tersebut belum mampu untuk menutupi kesanggupan dari sekolah-sekolah swasta itu sendiri dalam membiayai guru-gurunya bahkan jika dirinci bukan hanya ada guru, bujang sekolah, tenaga kebersihan, dan tenaga pendukung lainnya. Inilah yang kemudian membuat sekolah swasta harus memutar otak untuk menutupi kebutuhan operasionalnya.
Dalam kondisi seperti ini, setidaknya membuka mata untuk sekolah-sekolah swasta dalam berbenah. Yang setidaknya mulai saat ini berpikir untuk membuka sumber-sumber pendapatan lain yang dapat menghidupkan kehidupan sekolah tanpa harus memanjakan diri dengan pendapatan SPP dan juga bantuan dari pemerintah. Karena kondisi ini tak pandang waktu dan tempat serta memiliki efek yang sangat besar terhadap keberlangsungan hidup sekolah itu sendiri.
Kita bisa meniru apa yang dilakukan Pesantren Modern Gontor, pondok yang telah berdiri tahun 1926 ini memiliki unit usaha cukup beragam untuk memenuhi kebutuhan gurunya, hingga SPP sangat rendah bahkan SPP yang dibayarkan itu kembali diperuntukkan untuk keperluan siswanya. Lain lagi dengan pesantren milik KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) selaku pendiri dan pemimpin sentral di Pesantren Daarut Tauhiid yang memiliki lembaga wakaf pendidikan, sehingga dapat membantu operasional pendidikan tetap berjalan, bahkan dapat mensubsidi siswa-siswanya yang tidak mampu dan tentu saja hak-hak gurunya masih dapat dipenuhi sebagaimana semestinya.
Saatnya sekolah-sekolah swasta untuk mempersiapkan dan memproyeksikan kemana arah sekolahnya. Mandiri dalam hal finansial bukan berarti kita tidak membutuhkan SPP dan bantuan dari pemerintah. Namun di posisi ini kita telah siap dengan kondisi yang akan terjadi kedepannya. Karena sekali lagi, sumber dana merupakan penyokong utama dalam keberlangsungan sekolah itu sendiri. (*)