OPINI — Perizinan pada dasarnya berasal dari sesuatu yang dilarang atau dihalang-halangi, lalu kemudian dibolehkan oleh hukum (als opheffing van een algemen verbodsregel in het concrete geval). Utrecht dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia menyatakan bahwa bila pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, keputusan administrasi Negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).
Secara teoritik, perizinan memiliki berbagai sifat diantaranya bebas, terikat, menguntungkan, memberatkan, segera berakhir, berlangsung lama, bersifat pribadi, dan bersifat kebendaan. Adapun Izin yang terkait dengan pendirian bangunan yakni izin yang bersifat terikat. Izin yang sifatnya terikat adalah izin yang penerbitannya terikat pada aturan hukum tertulis dan tidak tertulis serta organ yang berwenang dalam izin kadar kebebasannya dan wewenangnya tergantung sejauhmana peraturan perundang-undangan mengaturnya. Pada Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung disebutkan bahwa Izin Mendirikan Bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.
Berdasarkan regulasi tersebut, maka pemerintah kabupaten/kota memiliki wewenang untuk memberikan izin mendirikan bangunan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RDTRKP), dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Seperti kita ketahui, hulu dari regulasi pemberian izin mendirikan bangunan tersebut berasal dari Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagai bagian dari tujuan pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila.
Konkritisasinya adalah, pembangunan gedung/rumah/tempat tinggal merupakan wujud kemakmuran masyarakat karena mampu meningkatkan kualitas kehidupannya melalui pembangunan gedung. Sehingga, sangatlah urgen untuk menyelenggarakan perizinan ini dengan catatan harus memenuhi dua persyaratan yakni persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
Kesejahteraan Masyarakat & Ketaatan Hukum
Dari sisi normatifnya, terdapat dua tujuan perizinan dalam aspek pengaturannya yakni kesesuaian bentuk bangunan dengan lingkungannya dan adanya kepastian hukum. Kesesuaian bentuk bangunan dengan lingkungannya merupakan wujud dari adaptasi masyarakat terhadap lingkungan guna menjaga ekosistem lingkungan. Adanya kepastian hukum menjadi sebuah keniscayaan bahwasanya Indonesia adalah negara hukum.
Selanjutnya, dari sisi sosiologis, perizinan ditinjau dari jaminan kualitas gedung dari berbagai aspek. Adanya jaminan kualitas gedung dari berbagai aspek seperti aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan menjadi penerang bahwa mengatur bangunan gedung tidak lain adalah untuk memberikan kenyamanan dan ketentraman kepada masyarakat. Maka, harmonisasi antara sisi normatif dan sosiologis dari tujuan perizinan tersebut adalah untuk kesejahteraan masyarakat dan ketaatan hukum itu sendiri.
Penulis berpendapat bahwa hukum itu tidak selamanya undang-undang. Tetapi undang-undang adalah hukum. Maknanya adalah untuk menjalankan hukum tidak harus dengan undang-undang saja (law in books), tetapi juga harus melihat kondisi yang ada di masyarakat (law in action). Inilah kemudian yang menjadi tatanan dalam menemukan hakikat hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yakni memberikan jaminan kesejahteraan kepada masyarakat, termasuk pemberian izin mendirikan bangunan. Oleh sebabnya, dalam memberikan izin khususnya izin mendirikan bangunan tidak hanya melihat dari aspek normatifnya saja, namun juga harus dilihat dari aspek sosiologis. Hanya, pemerintah daerah kadang membelokkan kacamata sosiologis ini ke dalam kacamata politis.
Kesimpulannya adalah dalam proses pemberian izin mendirikan bangunan, terdapat dua tujuan yang berbeda yaitu kesejahteraan masyarakat dan ketaatan hukum. Semakin banyak izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, maka masyarakat di daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang sejahtera. Namun, masyarakat juga harus mengikuti segala prosedur/persyaratan yang telah ditetapkan untuk penerbitan izinnya. Dengan kata lain, pemerintah daerah kabupaten/kota seyogyanya mampu memberikan jaminan pelayanan perizinan yang baik terhadap masyarakatnya dengan mempertimbangkan dua aspek yaitu aspek normatif dan aspek sosiologis. Satu dari empat kriteria daerah yang otonom adalah ketika pemerintah daerah hadir untuk memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat. Karena esensinya, hukum yang baik adalah hukum yang dilaksanakan oleh penegak hukum (pemerintah daerah) yang baik. (*)