Oleh : Reshi Umi Hani
(Aktivis Dakwah)
Miris! Kasus pencabulan anak kembali terjadi, kali ini kasus pencabulan siswi sekolah dasar (SD) berusia 13 tahun di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dilakukan 26 orang rata-rata anak di bawah umur alias masih berstatus pelajar. Kapolres Baubau, AKBP Bungin Masokan Misalayuk masih belum mau mengungkapkan identitas para tersangka karena mayoritas anak di bawah umur. Sejauh ini polisi sudah memeriksa 17 saksi terkait kasus pencabulan yang diduga dilakukan puluhan orang pada bulan April lalu (CNN Indonesia).
Maraknya kekerasan yang menyasar anak-anak “unyuk” menjadi korban kekerasan di lingkungan masyarakat, sekolah, bahkan keluarga. Pelakunya bisa orang dewasa termasuk orangtua dan guru, teman sebaya, bahkan aparat. Sistem pendidikan gagal melahirkan individu yang berakhlak mulia.
Pengamat Kebijakan Publik Endiyah Puji Tristanti memandang negara telah gagal melindungi generasi. “Sungguh negara benar-benar telah gagal atau kehilangan kemampuannya melindungi generasi. Sangat banyak kejahatan prostitusi anak dan perdagangan orang terjadi di dalam wilayah kekuasaan negara, tetapi negara tidak berdaya menghentikannya. Apalagi, kalau perdagangan anak untuk prostitusi terjadi lintas negara. Negara bisa apa? Lantas kepada siapa warga negara harus meminta perlindungan?” tegasnya seperti yang dituturkannya, Rabu (15-3-2023).
Negara sejatinya menjadi sumber kekerasan sebenarnya, karena menerapkan aturan yang memberi celah lebar bagi terjadinya kekerasan terhadap anak. Bahkan sistem sanksi pun tak mampu mencegahnya. Keberadaan Kementerian khusus pun dengan segala programnya, nyatanya belum mampu mewujudkan perlindungan anak. Semua karena dilandaskan pada paradigma sekuler kapitalisme, sehingga memandang anak pun dengan pandangan tersebut.
Apabila negara tidak pernah menyentuh akar persoalan perdagangan anak untuk prostitusi, tidak akan ada gunanya semua undang-undang yang ada. Fakta telah menjelaskan ketidakefektifan solusi undang-undang yang selama ini diberikan negara. Pemberlakuan sistem kapitalisme telah mengubah pandangan negara dalam menyelesaikan problematik rakyat. Negara tidak mendasarkan perbuatan pada halal dan haram. Negara mengadopsi kemanfaatan sebagai asas menilai segala sesuatu. Negara memilih cara pandang HAM yang pastinya sekularistik, bukan cara pandang akidah Islam. Dampaknya, kriminalitas perzinaan tidak dapat diberantas.
Semua realitas anak pada era sekuler kapitalisme saat ini jelas menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan iklim kehidupan yang kondusif untuk menjadi para calon generasi terbaik. Ini tentu saja menyelisihi fitrah penciptaan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dalam rangka mengisi peradaban terbaik pula, berikut seperangkat karakter mereka yang akan mengisi peradaban tersebut.
Hak beriman dan Islam, serta hidup di tengah pemikiran sahih, adalah hak dasar anak yang pemenuhannya hanya bisa terwujud melalui peran negara bersistem Islam kafah, yakni Khilafah. Atas dasar ini, Islam telah menyediakan seperangkat aturan untuk menjalankan visi misi pendidikan anak mulai di tengah keluarga, masyarakat, hingga negara agar anak-anak tidak terjerumus dalam kebinasaan, yang jelas-jelas akan menghancurkan mereka.
Khilafah punya sistem perlindungan anak dengan tegaknya 3 pilar, adanya keimanan dan ketakwaan individu, kontrol masyarakat dengan amar makruf nahi munkar dan penerapan aturan oleh negara.
Demikianlah semestinya wujud perlindungan hakiki bagi anak. Dengan penerapan semua aturan Islam dalam semua bidang kehidupan, perlindungan terhadap anak akan dapat diwujudkan.
Wallahualam bissawab