OPINI — Pada sebuah acara wisuda Universitas Nahdlatul Ulama (UNA) di Parung, Bogor, Jawa Barat, KH Said Aqil Siradj mengeluarkan sebuah pernyataan dalam pidatonya yang cukup mengagetkan bagi warga NU khususnya.
Beliau pada kesempatan itu, menagih janji Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang akan memberikan kredit murah senilai Rp1,5 triliun bagi ormas NU. Kredit itu adalah Memorandum of Understanding antara keduanya, Menkeu dan NU, pada 2017 lalu. Bagi publik, jelas ini diduga kuat ada aroma deal politik, melihat betapa nyaringnya sang kiai bersuara dalam forum wisuda tersebut.
“Ketika pilpres suara kita dimanfaatkan. Tapi ketika selesai, kita ditinggal,” ucap sang Kiai, masih pada acara wisuda tersebut.
Terhadap pernyataan ketua PBNU tersebut, Said Didu (Mantan Sekretaris BUMN) ikut mengomentari lewat akun twitternya. Beliau mempertanyakan kewenangan Menteri Keuangan bagi-bagi uang kepada ormas.
Jika dana tersebut dari APBN, apa dasar hukumnya? Jika dari perbankan, berarti Menkeu mengintervensi bank. Jika demi suara, berarti Menkeu sudah berpolitik.
Mendengar pernyataan KH. Said Aqil tersebut, terkuak lagi satu fakta politik transaksional pada sistem demokrasi sekuler ini. Sebuah fakta yang telah menjadi rahasia umum di tengah masyarakat bahwa suara ormas adalah suatu hal yang bisa diperjualbelikan untuk meraup suara memenangkan sang kontestan pemilu. Sang kontestan memberi sejumlah janji dan menawarakan “imbalan” atas dukungan pemenangan pemilu.
Pengakuan ketua ormas ini, makin menegaskan bahwa karakter politik sistem demokrasi sekuler ini, adalah senang ingkar janji dan hanya memanfaatkan rakyat dan ormas sebagai mesin suara. Karena semua kemenangan didasarkan pada suara terbanyak, bukan kebenaran.
Peran ormas mengalami degradasi dalam sistem sekuler hari ini yang dicukupkan pada peran-peran elektoral semata. Hanya dijadikan alat untuk mengonsolidasikan kekuatan suara. Mereka terhimpit antara kepentingan penguasa dan korporasi.
Sedihnya lagi, suara ormas begitu sangat diincar saat pemilu, tapi di sisi lain begitu sangat represif ketika sebuah ormas dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Ormas Islam harus teguh dengan misi keberadaannya di tengah umat, yakni dakwah pada yang ma’ruf (kebaikan) dan mencegah yang munkar (QS. Ali Imran : 104), dan melakukan koreksi pada penguasa (muhasabah lil hukkam).
Tentu dakwah yang dilakukan tidak dengan mengharap imbalan apapun dari penguasa, termasuk dana atau suntikan modal, atau melakukan kompromi dengan penguasa atas kezaliman yang dibuatnya. Karena yang demikian, hanya akan membuat umat tidak menyadari pertentangan rezim dengan sistem pemerintahan Islam.
Sebuah ormas Islam sesungguhnya memiliki posisi strategis dan posisi tawar yang kuat dalam politik nasional, lebih dari sekedar peran elektoral. Dengan jaringan yang luas dan menembus massa akar rumput, ormas Islam sepatutnya mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat atas pendidikan politik yang berasaskan Islam.
Ormas Islam tidak boleh menjadi stempel kekuasaan yang buruk dan bertentangan dengan Islam. Tidak menggadaikan agamanya untuk kepentingan kelompoknya sendiri dan penguasa jahat.
Sebagaimana firman Allah Swt.,
“Janganlah kalian cenderung kepada orang yang zalim, yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, sedangkan kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kalian tidak akan diberi pertolongan.” (TQ.S Hud :112).
Apalagi ormas Islam yang tentu dipimpin oleh para ulama, tak sepatutnya dekat dengan rezim yang terbukti zalim. Ketika penguasa itu tidak mengurusi rakyatnya, tidak memenuhi hak-haknya seperti sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan, keamanan, termasuk keyakinan agamanya.
Apalagi ketika penguasa mengkriminalisasi ajaran Islam, ulama, dan membubarkan organisasi dakwah. Semua ini bukti kezaliman penguasa yang kasat mata.
Seharusnya ormas Islam yang dipimpin para ulama tidak menjilat pada penguasa yang jahat. Rasulullah Saw. bersabda,
“Janganlah kalian mendekati pintu penguasa karena ia benar-benar menjadi berat dan menghinakan.” (HR ath-Thabarani dan ad-Dailami).
Ormas Islam haruslah menjadi garda terdepan dalam menyampaikan kebenaran Islam. Karena mereka ialah orang yang paling tahu tentang kewajiban menerapkan syariat Islam, mengetahui urgensi pengurusan umat dengan Islam. Wallahu ‘alam. (*)
Penulis : Hefrida Ruslan, S.Pd
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.