Berutang karena “terpaksa” ada produk menarik yang lagi diskon besar, itu bukan terpaksa namanya. Berutang karena “terlanjur” sudah mengantongi kartu kredit dan belum melewati limit, itu namanya terlanjur yang disengaja. Sama halnya jika mengatakan terpaksa berutang karena butuh dana segar, padahal punya banyak aset bernilai yang bisa dikonversi untuk menghasilkan besaran cashflow yang lebih memadai. Jadi situasi berutang yang perlu kita maklumi dan dibahas solusinya melalui topik ini adalah yang benar-benar berutangnya karena terpaksa dan terlanjur.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa keluarga memutuskan untuk mengambil utang itu karena terpaksa. Disatu sisi banyak kebutuhan yang mendesak untuk dipenuhi tetapi disisi lain penghasilan untuk memenuhi kebutuhan belum bisa menopang secara mandiri. Akhirnya pilihan berutang itu menjadi keputusan yang harus diambil. Bagi yang mendapatkan sumber utang dari pihak yang semata ingin membantu dan mendapat kebaikan (pahala) dari memberikan pinjaman, maka mungkin tidak menjadi masalah besar buat pengutang. Apalagi jika yang memberi utang adalah keluarga dan kerabat-kerabat dekatnya. Berbeda untuk kasus keluarga yang sumber utangnya berasal dari pihak peminjam (kreditur) yang memang tujuannya mencari keuntungan, seperti kalangan rentenir, lembaga perbankan atau pembiayaan, maka tentu resiko yang lebih besar akan dihadapi.
Setidaknya minimal ada 3 (Tiga) hal yang akan dihadapi, yakni pertama, resiko tekanan jatuh tempo yang membuat hidup terasa selalu dikejar-kejar bahaya, kedua, resiko bunga (interest) dan denda (penalty) yang membuat beban utang yang harus dibayarkan menjadi semakin besar, dan ketiga resiko lenyapnya jaminan (agunan) yang membuat seolah sudah terjatuh tertimpa tangga pula.