Jauhi prinsip gali lubang tutup lubang
Ungkapan ini begitu populer, terutama dalam dunia utang piutang. Oleh sebagian kalangan ungkapan ini benar-benar diterapkan dalam kehidupan mereka. Mengambil utang bukan untuk belanja konsumtif ataupun belanja produktif yang sebelumnya sudah disinggung. Ini adalah bentuk yang berbeda, mengambil utang baru dalam rangka menyelesaikan utang lama. Jika berdasarkan sebuah perhitungan, maka pola seperti ini bisa saja menemukan logika rasionalnya. Misalkan sebuah keluarga punya utang lama Rp. 10.000.000, maka dengan adanya suntikan utang baru sebesar Rp. 15.000.000, sebagian bisa digunakan untuk menyelesaikan utang lama. Selebihnya bagaimana? Ya…biasanya tanpa disadari digunakan habis untuk belanja konsumsi. Disinilah resikonya, terkesan bahwa langkah yang dilakukan menjadi solusi padahal sebenarnya sangat rapuh. Membayar utang dengan mengandalkan utang juga hakikatnya tidaklah menyelesaikan pinjaman, tetapi justru menambah beban keuangan. Apalagi pada kasus pinjaman jangka pendek dan berbunga, maka resiko dan dampaknya akan lebih besar lagi. Ibarat jika melakukan ini sama dengan menanam bom waktu, keliahatan aman tapi ada saatnya akan menghasilkan ledakan besar.
Bangun relasi, komunikasi, dan negosiasi
Baik untuk kasus yang terpaksa maupun sudah terlanjur berutang, maka perlu memiliki kemampuan ini. Membangun relasi dengan banyak kalangan bisa menghadirkan lebih banyak alternatif dan pilihan. Ditengah situasi kita butuh dana segar, maka sangat mungkin solusi hadir melalui hubungan relasi yang dibangun dengan banyak pihak. Sebenarnya yang paling aman adalah pinjaman dari keluarga dekat. Selain bisa mendapat pinjaman tanpa bunga, juga temponya bisa diatur lebih fleksibel.
Adapun dengan pihak luar, asal sudah terbangun kedekatan dan kepercayaan, maka teman, kerabat, atau kenalan baru pun bisa hadir memberi solusi. Bahkan opsi yang diambil tidak harus selalu dalam bentuk pinjaman dana. Misalkan untuk kasus kebutuhan dana untuk modal usaha. Sebagian besar porsi modal usaha mungkin akan dipakai untuk belanja aset peralatan, tanah, mesin, atau gedung. Sering kejadian, keperluan dana ternyata bisa ditekan atau bahkan bisa dihapus jika bertemu relasi yang baik. Diharapkan ada tawaran lain yang muncul, bukan dengan pemberian pinjaman tetapi dengan skema kerja sama. Dana diterima bukan lagi dengan aqad utang tapi dengan aqad investasi. Bisa juga keterlibatan relasi bukan dalam bentuk memberi suntikan dana, tetapi dalam bentuk modal aset untuk mendukung usaha yang ingin kita bangun. Dengan begini rencana kita untuk berutang bisa diredam atau minimal besaranya bisa dikurangi. Disinilah kemampuan untuk mengkomunikasikan masalah kita sangat diperlukan.
Selain relasi dan komunikasi, kemampuan atau keberanian untuk membuka negosiasi juga penting. Negosiasi bisa menjadi senjata ampuh untuk membantu masalah keuangan kita. Selama ini banyak orang yang ketika butuh utang tidak lagi peduli dengan perjanjian yang disodorkan oleh pihak pemberi utang. Ruang pembicaraan dan negosiasi tidak dibuka. Akhirnya pihak pengutang harus rela menerima beban yang sangat berat, misalkan dalam hal pembebanan bunga utang yang tinggi, kesempitan dalam termin/tempo pembayaran, dan resiko-resiko penyitaan jika terjadi gagal bayar (default). Maka jika punya konsep sendiri makanya jadikan sebagai bahan negosiasi. Harapan kita dengan negosiasi kita bisa mendapatkan pinjaman utang dengan segala kemudahan. Tentu menarik ketika dijodohkan bertemu dengan pihak peminjam yang sebatas mau menolong. Siap memberi pinjaman tanpa bunga, kelonggaran waktu pembayaran, dan tanpa embel-embel ancaman sita dan denda.
Bertekad untuk lepas dari jeratan utang
Bagaimanapun utang dianggap punya sisi positif dan manfaat tapi tetap tidak sebanding dengan mafsadat atau mudaratnya. Maka setiap keluarga harus tetap memegang prinsip, bahwa manajemen keuangan keluarga yang harus dijalankan adalah yang bebas dari utang. Utang bukan jalan yang tepat untuk ditempuh dan sebisa mungkin dihindari. Kalaupun terpaksa, maka itu harus disesali sehingga kedepannya tidak lagi diulangi. Jangan menjadikan berutang sebagai gaya hidup dan kebiasaan. Utang juga tidak bisa diandalkan sebagai pondasi pengokoh keuangan, karena hakikatnya utang sifatnya rapuh, melemahkan, bahkan bisa menghinakan. Sehingga semua keluarga harus punya tekad yang besar dan kuat untuk tidak berutang dan lepas dari jeritan utang. Terlebih lagi utang yang mengandung riba yang banyak ditawarkan diera sekarang. Selain bisa membuat hidup sempoyongan dan tidak tenang layaknya orang kemasukan syaitan, juga merupakan sebuah dosa besar yang selayaknya ditinggalkan.
Demikian pembahasan untuk topik kali ini. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi pertimbangan sebelum mengambil keputusan berutang. Itu bagi yang belum mengambil keputusan mengambil pinjaman (cicilan). Adapun bagi yang berada dalam situasi terpaksa dan terlanjur sudah berutang maka semoga bisa menjadi panduan atau bahan dalam mengelola utangnya dengan baik. Sehingga utang yang kita harapkan hadir menjadi solusi tidak sampai berubah menjadi malapetaka yang menghancurkan kita. Seyogyanya memang yang lebih tepat itu, utang itu bukan untuk dikelola tapi untuk dilunasi dan ditinggalkan.
(bersambung)