OPINI–Pilu rasanya mendengar berita perkembangan kasus Covid-19 di negeri ini yang masih saja melonjak. Wilayah-wilayah yang semula aman, masuk kategori zona hijau kini tidak bisa lagi diprediksi stabil terlebih lagi pasca diberlakukan kehidupan normal baru oleh pemerintah. Interaksi tak terhindarkan, protokol kesehatan diabaikan, suspek dan OTG (orang tanpa gejala) bertambah, hingga kluster baru bermunculan mewarnai rawannya pandemi di tengah kehidupan publik.
Dilansir dari laman Visi.news, Minggu (13/9/2020), ada beberapa wilayah di Kabupaten Bandung, Jawa Barat dikabarkan menjadi penyumbang tertinggi kasus corona. Dari sini diketahui bahwa jumlah kasus konfirmasi atau kasus positif virus corona (Covid-19) di Indonesia kembali bertambah sebanyak 3.806 pada Sabtu 12 September 2020 pukul 12.00 WIB. Total kasus konfirmasi atau positif virus corona di Kabupaten Bandung mencapai 578 orang. Di antara wilayah dimaksud, Cileunyi menempati posisi teratas dengan 8 kasus positif aktif. Diikuti Cimenyan 7 positif aktif; Baleendah 6 positif, 5 suspek; Rancaekek 6 positif, 2 suspek; Sementara Rancabali 0 positif aktif, 0 suspek.
Pemerintah memang telah berupaya mengatasi mewabahnya Covid-19 dengan beragam kebijakan. Dari mulai pemberlakuan jaga jarak, jaga fisik, pemberlakuan berskala besar (PSBB), pelonggaran PSBB hingga new normal life serta herd immunity. Namun satu hal yang harusnya dilakukan sejak awal tak pernah dilakukan, yakni lockdown. Berbagai alasan dilontarkan pihak pemerintah mengapa kebijakan itu tidak dilakukan. Karena sebab investasi, wisata dan ketiadaan dana.
Di saat kehidupan normal mulai diberlakukan selain menggenjot ekonomi, pemerintah pun berupaya membentuk satuan tugas khusus mengatasi pandemi. Hanya saja dari kedua upaya ini yang lebih menonjol adalah memulihkan sektor-sektor ekonomi ketimbang meminimalisir kasus Covid-19. Terbukti dengan pembukaan sektor ekonomi tersebut interaksi sosial tak lagi terbendung. Satu persatu tenaga kesehatan gugur, baik dokter, perawat juga pasien Covid. Selanjutnya paparan virus menyasar siapapun tanpa kecuali. Anak-anak, dewasa dan orang tua. Maka muncul-lah kluster keluarga, pasar, kantor, sekolah, serta kluster milenial di Sekolah Calon Perwira (Secapa) AD, Bandung, konon memegang rekor tertinggi dengan jumlah tertular lebih dari 1.200 orang.
Kondisi tersebut dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pusat pada akhirnya tak mampu menutupi bahwa ada yang salah secara sistemik. Rasa aman, nyaman, perhatian serta perlindungan maksimal yang harusnya didapatkan masyarakat serasa sangat mahal. Dilema antara memperbaiki ekonomi dan ancaman virus terus dirasakan warga bersama dampak yang ditimbulkannya. Sebut saja kemiskinan, kelaparan, kematian, perceraian, KDRT serta kriminal. Sudahkah ini menjadi bahan renungan pemerintah dan akankah keamanan itu bisa dirasakan masyarakat?
Bagi umat Islam dengan Rasul saw. sebagai teladan tentu sudah mengenal bagaimana praktik beliau saat dihadapkan pada wabah. Di masa inilah dikenal istilah social and physical distancing yang sekarang booming bahkan kejadian serupa dialami juga masa kepemimpinan Umar bin Khattab ra. dengan wabah Tha’un Amwas. Kebijakan Umar ra. mengatasi pandemi tha’un dengan menyuruh penduduk sehat menyingkir ke bukit-bukit, perkebunan atau diam di rumah masing-masing dikenal sekarang dengan isolasi/lockdown.
Dalam buku The Great Leader of Umar bin Khaththab, Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, diceritakan bahwa ketika terjadi krisis, Umar ra. melakukan beberapa hal berikut: memberi contoh terbaik dengan cara berhemat dan bergaya hidup sederhana, bahkan lebih kekurangan dari masyarakatnya; membuat posko-posko bantuan; memberi makanan kepada orang-orang badui dari Dar ad-Daqiq (sebuah lembaga perekonomian yang berada pada masa pemerintahan Umar).
Lembaga ini bertugas membagi tepung, mentega, kurma, dan anggur yang berada di gudang kepada orang-orang yang datang ke Madinah sebelum bantuan dari Mesir, Syam dan Irak datang.
Musibah yang melanda, juga membuat sosoknya sebagai kepala negara semakin mendekatkan diri kepada Allah, meminta pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala Pemilik alam seisinya sekaligus langsung memimpin tawbat[an] nasûhâ. Bisa jadi bencana/krisis yang ada akibat kesalahan-kesalahan atau dosa yang telah dilakukan olehnya dan atau masyarakatnya. Ia lantas menyerukan taubat. Meminta ampun kepada Allah agar bencana segera berlalu.
Kepada rakyatnya yang datang karena membutuhkan makanan, segera dipenuhi. Yang tidak dapat mendatanginya bahan makanan diantar ke rumahnya, beberapa bulan sepanjang masa musibah.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Umar bin al-Khaththab ra. ketika terjadi bencana adalah menghentikan sementara hukuman bagi pencuri. Hal ini dilakukan bukan karena mengabaikan hukum yang sudah pasti dalam Islam, namun lebih disebabkan karena syarat-syarat pemberlakuan hukum untuk pencuri tidak terpenuhi.
Saat itu orang mencuri dan memakan barang milik orang lain karena sangat Iapar. Itu semata untuk menyambung nyawanya karena memang tidak bisa mendapatkan makanan. Mereka bukanlah orang yang bertindak sekehendaknya dan tidak bermaksud mencuri.
Selain tidak menghukum pencuri yang mencuri karena terpaksa demi sekadar menyambung hidup, Umar juga menunda pungutan zakat pada krisis/bencana, Saat kelaparan berakhir dan bumi mulai subur, Umar kembali mengumpulkan zakat.
Semua praktik ini membukakan mata hati dan pikiran umat bahwa penguasa negara di atas landasan akidah Islam akan berbeda dengan penguasa berbasis kapitalis. Sosok dengan akidah asing yang diembannya tidak akan pernah tulus menyayangi rakyatnya. Pun dengan aturan agar terwujudnya keamanan dan keamanan.
Jauh panggang dari api. Sosok penguasa yang benar-benar tulus menyayangi dan memenuhi kebutuhan rakyat sejatinya hanya lahir dalam peradaban Islam. Ketakwaanlah yang membentuk Umar bin Khattab menjadi sosok yang seperti itu.
Kesempurnaan aturan Islam yang bersumber dari Al-Quran dan As-sunah dalam mengatur politik dan ekonomi negara, membuat pemimpin pemersatu umat tidak gamang dalam mengambil keputusan. Keunggulan sistem keuangan negara dengan baitul malnya (pos harta) tidak diragukan lagi dalam menyediakan pembiayaan negara.
Begitu pula keunggulan sistem politiknya. Dengan kewenangan penuh kala mengambil keputusan, terbukti efektif dan efisien menyelesaikan persoalan di masyarakat. Terutama dalam situasi extraordinary (kejadian luar biasa).
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa terpenuhi/tidaknya hak rakyat baik primer atau sekunder ada pada ketakwaan seorang pemimpin dalam sistem yang menaunginya. Kewajiban yang ditunaikannya di masa normal maupun wabah mencerminkan betapa amanah pemimpin itu sangatlah berat yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di Yaumil Akhir di hadapan Allah Swt.
Wallahu a’lam bi ash Shawwab