OPINI–Menikah adalah salah satu syariat dalam Islam. Menikah adalah satu-satunya jalan agar seorang yang saling mencintai bisa hidup bersama. Seorang laki-laki ketika sudah memiliki perasaan cinta pada perempuan, maka bolehlah ia melamar, lalu menikahinya. Namun, bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dinikahi laki-laki yang telah sah menjadi suaminya ternyata terikat pernikahan pula dengan satu pria atau beberapa pria lain (poliandri).
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB), Tjahjo Kumolo, Jumat (28/8) melakukan kunjungan kerja ke Kota Solo. Saat meresmikan Mal Pelayanan Publik (MPP) Jenderal Sudirman Solo, Tjahjo banyak bercerita terkait reformasi birokrasi dan beberapa pelanggaran yang dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Salah satunya, Tjahjo mengungkapkan adanya fenomena pelanggaran baru oleh ASN perempuan. Mereka melakukan poliandri atau memiliki suami lebih dari satu.
Menurut dia, dalam setahun ini, ada sekitar lima laporan kasus poliandri. Untuk memutuskan masalah tersebut, ia harus bekerjasama dengan beberapa pihak. Yakni Badan Kepegawaian Nasional hingga Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam kesempatan tersebut, Tjahjo juga menyinggung pelanggaran terkait radikalisme, narkoba hingga korupsi. Kepada para pelanggar tersebut dikenakan sanksi mulai dari nonjob hingga pemecatan. Sedangkan pelarangan poligami bagi ASN pria, sanksinya adalah dinonjobkan. (Merdeka.com., 28/8/2020)
Kasus poliandri memanglah bukan kondisi biasa dalam ikatan perkawinan. Secara sosial dan agama perkawinan jenis ini di larang bahkan haram. Namun demikian, di tengah masyarakat baik Indonesia atau di belahan wilayah lain poliandri sudah banyak terjadi. Karena sebab yang tidak biasa itulah poliandri banyak dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari pasangan sahnya dan masyarakat. Ibarat fenomena gunung es, yang terungkap hanya sebagian kecil dari sekian banyak kasus poliandri. Pelakunya bisa siapapun. Baik ASN ataupun ibu rumah tangga biasa. Faktor yang melatarbelakanginya pun beragam, dari masalah ekonomi, hubungan biologis, kepuasan seksual, kesepian, dan sebagainya tanpa mempertimbangkan norma dan undang-undang yang berlaku. Di Kabupaten Pidie Jaya misalnya.
Ada beberapa kasus poliandri yang ditemukan di kabupaten tersebut, dimana terdapat empat orang istri mempunyai suami lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Istri A melakukan poliandri saat ia bekerja di luar negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita). Selain karena jarak, kondisi suami yang sudah tua, sakit-sakitan, juga karena suami tidak lagi mampu memberikan nafkah lahir dan bathin menjadi faktor A poliandri. Kasus yang kedua, istri B melakukan poliandri karena suami yang bernisial Sf sering keluar kota dalam waktu yang cukup lama. Profesi Sf sebagai sopir bus Medan-Jakarta membuat Sf jarang di rumah bahkan terkadang hingga 4 bulan lamanya tidak pulang. Merasa jarang diberikan nafkah lahir dan batin akhirnya B menikah dengan selingkuhannya. Kasus ketiga, istri C melakukan poliandri karena sebab suami di penjara akibat terjerat narkoba, lalu C memutuskan menikah secara siri dengan lelaki lain. Kasus poliandri yang keempat, istri D. Ia melakukan poliandri tanpa sepengetahuan suaminya karena tak tahan selalu berjauhan dengan suami yang bekerja di Kalimantan. (http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah)
Itulah kondisi mencengangkan yang dilakukan isteri dalam memuaskan keinginannya karena gaya hedonis. Lalu bagaimana pandangan Islam terkait kasus ini?
Syariat Islam membolehkan seorang laki-laki menikahi lebih dari satu isteri (poligami). Satu, dua, tiga atau empat orang isteri (QS.An-Nisa [4]: 3). Namun kebolehan ini tidak berlaku sebaliknya. Seorang isteri yang keluar rumah tanpa izin suami saja hukumnya haram. Termasuk juga larangan wanita berduaan dengan lelaki asing (bukan mahram), lalu larangan bercampur baur antara lawan jenis, tabarruj (menampakkan perhiasan dan kecantikan) dan hal lain yang masuk kategori ‘mendekati zina’ (QS. Al-Isra [17]:32). Jika semua aturan yang sejatinya bisa menjaga dan melindungi kehormatan serta kesucian isteri itu dilanggar hanya karena ingin membalas perlakuan zalim suami misalnya, maka perilaku ini adalah perilaku maksiat, masuk kategori nusyuz dan zina. Dua dosa besar karena melanggar larangan Allah Swt. yang harusnya dijauhi. Pelaku pelanggaran tersebut selain terancam sanksi yang berat pada akhirnya akan berimbas pada ketidakjelasan nasab (keturunan), nafkah dan waris.
Telah meriwayatkan Umar ibn Hafshi Syaibani Basri, telah meriwayatkan Abdullah bin Wahbi telah meriwayatkan kepada kami dari Yahya ibn Ayyub dari Rabiah ibn Sulaim, dari Busri ibn Ubaidillah dari Ruwaifa ibn Sabit dari Nabi saw. bersabda: “ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka ia tidak boleh menyirami air benih orang lain (maksudnya tidak boleh mengumpuli istri orang lain. “ (HR. Al Tirmidzi)
Sungguh sangat disayangkan, kemaksiatan atas perilaku poliandri dilakukan hanya demi kesenangan duniawi dan kepuasan jasmani/jasadiyah semata. Minimnya edukasi, ringannya sanksi dan pemahaman terhadap ajaran agama secara totalitas telah melabrak aturan syariat, termasuk norma sosial dan UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang berlaku di negeri ini. Hal ini tentu saja tak bisa terlepas dari maraknya budaya hedonis yang telah mendarah daging pada diri masyarakat akibat gempuran liberalisme. Sebuah paham yang lahir dari ideologi kapitalis sekuler, yaitu paham yang mengedepankan dunia dengan materinya, kepuasan ragawi tanpa melibatkan aturan agama untuk setiap interaksinya hingga muncul sikap sebebas-bebasnya, hilang rasa malu asal keinginannya tercapai. Dan ini yang sebenarnya titik awal kehancuran suatu bangsa karena sebab terkikisnya akidah sebagai akibat jahiliyahnya individu, masyarakat dan Negara dalam keterikatan pada hukum syara’.
Rendahnya pemahaman umat termasuk isteri tak bisa dilepaskan dari peran Negara sebagai institusi tertinggi dalam ranah berbangsa dan bernegara. Negara bertanggung jawab terhadap kerusakan moral yang terjadi pada warganya karena tidak diterapkan syariat Islam di tengah kehidupan masyarakat. Keadilan penguasa menjalankan roda pemerintahannya akan diuji dengan berbagai masalah yang dihadapinya. Bagaimana ia mengeluarkan aturan, kebijakan atau solusi atas permasalahan tersebut akan menentukan dirinya adil/tidaknya di mata syara’ (Allah dan Rasul-Nya). Apakah hukum Islam yang ia terapkan atau sebaliknya semuanya akan dihisab di Yaumil Akhir kelak. Bahkan sebelum hisab itu datang, azab dunia akan Allah turunkan manakala beragam kemaksiatan sudah sedemikian menggurita. Sabda Rasulullah saw.:
“ Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri. “ (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘alâ Shahîhayn menyatakan bahwa hadis ini ia terima berturut-turut dari ‘Abd ash-Shamad bin Ali al-Bazaz, Ya’qub bin Yusuf al-Qazwaini, Muhammad bin Said bin Sabiq dan Amru bin Abi Qays; dari Simak bin Harb, dari Ikrimah, dari Ibn Abbas, dari Rasulullah saw.
Al-Hakim berkata, “Hadis ini sahih sanadnya meski al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Wallahu a’lam bi ash Shawwab