Oleh: Aditya Putra (Dosen Universitas Syekh Yusuf Al-Makassary dan Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin)
Di tengah riuhnya perdebatan publik terkait revisi UU Penyiaran tahun 2024, salah satu lembaga yang menjadi pengawal penyiaran di Sulawesi Selatan, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia Daerah, diterpa berbagai isu tak sedap terkait proses seleksi calon komisioner di lembaga tersebut.
Salah seorang calon komisioner yang tidak lolos pada seleksi tersebut melaporkan dugaan suap kepada Badan Kehormatan (BK) DPRD Sulsel. Dalam laporannya, calon komisioner tersebut mengaku dimintai uang agar lolos tahapan uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test.
Wakil Ketua BK DPRD Sulsel Selle KS Dalle K pada wawancaranya dengan salah satu situs berita online mengatakan bahwa BK menerima laporan calon komisioner yang dimintai uang Rp 50 juta oleh anggota Komisi A, dan saat ini telah bersurat kepada pimpinan DPRD Sulsel terkait laporan tersebut.
Tidak hanya itu, proses pelaksanaan fit and proper test juga dinilai bermasalah. AJI Makassar, Ombudsman RI perwakilan Sulsel, hingga pengurus daerah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel menyoroti berbagai kejanggalan yang terjadi, mulai dari proses yang tertutup, tahapan seleksi yang berbeda antara incumbent dan calon komisioner baru, terpilihnya calon komisioner yang tidak memiliki latar belakang dunia penyiaran, hingga pada pengumuman nama-nama terpilih yang diumumkan oleh Komisi A.
Alih-alih oleh pimpinan DPRD seperti yang tertera pada aturannya, yang kemudian memunculkan dugaan adanya permainan orang “titipan” yang menjadi penyebab permasalahan tersebut. Ketua Komisi A DPRD Sulsel Syaifuddin Fatahuddin sendiri pada wawancaranya dengan ANTARA mengungkapkan bahwa memang ada beberapa orang titipan yang mau dimasukkan calon anggota KPID dan KI Sulsel, meskipun anggota Komisi A lainnya yaitu Andi Nurhidayati Zainuddin belakangan menepis dugaan berbagai pelanggaran terhadap proses tersebut.
Berlarut-larutnya penyelesaian persaoalan tersebut tentunya berdampak negatif, mulai dari penundaan pelantikan calon komisioner terpilh KPID Sulsel hingga potensi menurunnya kepercayaan publik terhadap bukan hanya KPID, namun juga kepada lembaga DPRD.
Ini tentu sangat disayangkan, mengingat penyiaran memainkan peran yang vital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai pakar komunikasi seperti Dennis McQuail, Stuart Hall, hingga Walter Lippmann, sudah menggaris-bawahi berbagai aspek yang dipengaruhi oleh penyiaran, mulai dari hiburan dan rekreasi, kesejahteraan publik, pengembangan ekonomi, hingga pada penguatan demokrasi dan pembentukan identitas nasional.
Sehingga menjadi sebuah kekhawatiran tersendiri apabila lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menghadapi ancaman pada penyiaran, pada kenyataannya justru digerogoti dari dalam oleh berbagai persoalan.
Di sisi lain, ini menjadi semacam berkah terselubung atau blessing in disguise, khususnya bagi masyarakat selaku stake holder yang paling berkepentingan terhadap dunia penyiaran yang sehat.
Berbagai masalah yang terjadi perlu dipandang sebagai sebuah peluang untuk meningkatkan kapasitas KPID, baik secara kelembagaan maupun secara personal. Pemetaan masalah menjadi dasar untuk menentukan langkah-langkah yang perlu diambil kedepannya oleh pihak-pihak yang terkait di dalamnya.
Keterbukaan (Transparansi)
Akan menjadi ironis ketika lembaga yang seharusnya menjadi penjaga dunia penyiaran Indonesia justru harus mengalami permasalahan diakibatkan kurangnya transparansi pada proses seleksi untuk memilih orang-orang yang kemudian akan menjalankan lembaga tersebut. Sementara penyiaran itu sendiri menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, baik dalam proses pengambilan informasi maupun pada informasi yang diperoleh itu sendiri.
Bahkan pasal 9 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) nomor: 02/P/KPI/04/2011 tentang Pedoman Rekrutmen KPI sendiri sudah menekankan, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga negara yang berwenang dalam proses seleksi komisioner KPI, untuk melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan secara terbuka.
Namun pada kenyataannya proses seleksi yang dilaksanakan kali ini justru terkesan tertutup. Oleh karena itu, keberatan yang diutarakan Ketua Pengda IJTI Sulsel Andi Mohammad Sardi terkait proses dan hasil seleksi komisioner KPID Sulsel ketika Aksi Bersama Koalisi Advokasi Jurnalis (KAJ) Sulsel ini menjadi cukup beralasan.
Padahal, jika berkaca pada sejarah, pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan calon komisioner KPID Sulsel periode yang lalu dapat dikatakan terbuka bagi umum, sebab masyarakat dapat mengikuti proses tersebut melalui siaran TVRI maupun radio.
Namun entah mengapa pada periode kali ini justru hal tersebut tidak dilakukan. Padahal uji kelayakan dan kepatutan yang terbuka bagi umum memiliki 2 fungsi, bukan hanya sebagai ajang penilaian kapabilitas calon komisioner, namun juga sebagai sarana bagi masyarakat untuk menilai para penguji itu sendiri, dalam hal ini Komisi A DPRD, apakah mereka sebagai wakil wakyat juga memiliki pengetahuan yang memadai terkait dunia penyiaran itu sendiri.
Kompetensi
Salah satu yang juga menjadi fokus pertanyaan terkait uji kepatutan dan kelayakan komisioner KPID Sulsel periode kali ini adalah mengenai adanya calon terpilih yang tidak memiliki latar belakang penyiaran.
Ini adalah sebuah pertanyaan yang wajar, dengan asumsi bahwa yang paling mengetahui mengenai dunia penyiaran tentunya adalah orang-orang yang berkecimpung langsung di dunia tersebut, sehingga calon komisioner KPID selayaknya memenuhi persyaratan tersebut.
Namun, yang perlu dipahami adalah bahwa kompetensi itu sendiri bukanlah sebuah aspek yang berdiri sendiri, melainkan kombinasi atau gabungan dari pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku yang diperlukan untuk melakukan tugas ataupun pekerjaan tertentu secara efektif. Pasal 10 ayat 1 UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran juga sudah menyebutkan bahwa anggota KPI wajib memiliki kepedulian, pengetahuan dan/atau pengalaman dalam bidang penyiaran. Disini pengalaman dalam bidang penyiaran menjadi sebuah nilai tambah, namun tidak menjadi sebuah keharusan.
Maka uji kelayakan dan kepatutan lah yang kemudian menjadi sarana untuk menilai kompetensi calon komisioner tersebut, dan sekali lagi, menjadi penekanan akan pentingnya pelaksanaan tahapan tersebut secara transparan.
Kesetaraan Perlakuan
Yang dimaksud dengan kesetaraan perlakuan adalah pada bagaimana setiap calon komisioner KPID tersebut seharusnya menjalani proses seleksi. Sebab pada periode kali ini, para incumbent tidak menjalani uji kompetensi seperti calon lainnya, melainkan langsung memasuki fase uji kepatutan yang kelayakan di DPRD setelah lolos uji administrasi.
Meskipun pasal 22 PKPI Tahun 2014 memang mengizinkan proses tersebut, namun ini menjadi sebuah catatan tersendiri, mengingat lembaga lain seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap mewajibkan para incumbent untuk mengikuti tahapan seleksi yang sama dengan calon non-incumbent lainnya. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa para incumbent tersebut masih memiliki standar kompetensi yang sesuai, jika mereka tidak mengikuti uji kompetensi seperti peserta lainnya.
Keterwakilan Daerah
Selayaknya proses seleksi pada lembaga negara lainnya, terdapat berbagai kriteria yang harus terpenuhi pada tim yang kemudian bertugas untuk melaksanakannya. Tim seleksi komisioner KPID Sulsel periode kali ini kemudian menjadi sorotan dikarenakan tidak adanya perwakilan KPI Daerah.
Justru yang menjadi anggota timsel salah satunya berasal dari KPI pusat, yaitu ibu Aliyah. Ini tentu kontradiktif dengan ayat 3 Pasal 19 PKPI tentang pembentukan timsel pemilihan anggota KPI daerah, yang menyebutkan bahwa timsel anggota KPI Daerah terdiri atas 5 orang anggota yang dipilih dan ditetapkan oleh DPRD Provinsi dengan memperhatikan keterwakilan unsur tokoh masyarakat, akademisi/kampus, pemerintah provinsi, dan KPI daerah. Tanggung jawab disini jatuh kepada DPRD Sulsel untuk menjelaskan, pertimbangan apa yang kemudian mendasari terpilihnya perwakilan KPI dari pusat, alih-alih dari daerah, seperti yang sudah diamanatkan oleh PKPI tersebut.
Langkah Kedepan
Ketua DPRD Sulsel Andi Ina Kartika Sari dan wakil ketua Syaharuddin Alrif pada saat rapat dengar pendapat dengan Koalisi Jurnalis Peduli Penyiaran (KJPP ) di Gedung DPRD Sulsel tanggal 29 Mei silam menyatakan bahwa seleksi calon anggota KPID dan KI (Komisi Informasi) Sulsel belum selesai, dan memiliki kemungkinan untuk mengulang pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan.
Dan memang sebaiknya tahapan tersebut dilakukan kembali, sebagai sebuah langkah awal yang baik untuk menunjukkan keseriusan DPRD Sulsel dalam menangani persoalan tersebut, meskipun yang harus dicatat bahwa kisruh ini sendiri berawal dari berbagai kejanggalan pada proses uji kelayakan dan kepatutan yang justru dilakukan oleh Komisi A DPRD itu sendiri.
Begitu juga dengan proses penyelidikan yang dilakukan oleh Badan Kehormatan DPRD Sulsel sebagai respon atas dugaan adanya praktek uang suap, merupakan tindakan yang perlu dikawal oleh elemen masyarakat serta media itu sendiri, agar mampu menuntaskan kecurigaan masyarakat, sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap proses seleksi yang dilakukan oleh DPRD Sulsel itu sendiri. Hal ini juga penting dilakukan, agar para komisioner terpilih nantinya memiliki kredibilitas, bukan hanya dimata masyarakat, namun juga pemangku kepentingan lain di dunia penyiaran.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa kedepannya KPID akan menghadapi persoalan yang lebih kompleks. Perkembangan teknologi penyiaran yang semakin pesat akan menghadirkan berbagai persoalan yang tidak pernah ada sebelumnya. Isu-isu kontemporer seperti kecerdasan buatan (AI) yang dapat mengancam jurnalisme konvensional, penetrasi siaran asing melalui internet, hingga ancaman punahnya budaya lokal hanyalah beberapa diantaranya.
Maka dapat dibayangkan apabila komisioner KPID terpilih nantinya tidak tanggap, dan hanya terpililih dikarenakan praktIk-praktik tidak etis seperti suap. Dunia penyiaran adalah taruhannya, dan rasanya itu adalah sebuah harga yang terlalu mahal untuk dibayarkan. (*)