Oleh:
Rusdianto Sudirman, S.H, M.H.
(Pengajar Hukum Tata Negara IAIN Parepare)
Koalisi secara terminologi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, dimana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri.
Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat.
Dalam praktiknya di Indonesia, koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai atau gabungan partai politik dengan tujuan agar dapat membangun pemerintahan yang kuat.
Secara konstitusional, koalisi sebenarnya hanyalah merupakan persyaratan untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan wakil Presiden. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 A ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum dilaksanakan pemilihan umum”.
Selain itu dengan adanya syarat Presidential Thresshold yang ditetapkan dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa “pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya” memaksa para partai politik untuk melakukan koalisi demi mengajukan capres dan cawapresnya masing-masing.
Dalam UU Pemilu menyebutkan bahwa, penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memeroleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di samping itu, pengaturan Presidential Threshold juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif. Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak hanya memeroleh legitimasi yang kuat dari rakyat, tetapi dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari DPR.
UU Pemilu mengatur mekanisme pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika, dan moral serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik.
Meskipum demikian, jika melihat sejarah koalisi di Indonesia, ternyata koalisi masih sangat sulit untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat. Dimulai dari hasil dari pemilu 1999, dimana PDI-P merupakan partai pemenang pemilu pada saat itu, namun ternyata PDI-P memilih untuk tidak berkoalisi dengan partai manapun dalam proses pemilihan presiden, sehingga mendorong partai yang berideologi Islam seperti PPP, PAN, PBB, dan PKS membentuk koalisi untuk mengusung seorang presiden, yaitu Abdurrahman Wahid atau Gusdur.
Akhirnya pemilu presiden pada waktu itu memenangkan Gusdur sebagai Presiden Republik Indonesia.Walaupun pada akhirnya pada tahun 2001 Gusdur digantikan sebagai seorang presiden oleh Megawati Soekarno Putri, dimana pada saat itu Gusdur di makzulkan sendiri oleh partai yang mengusungnya sebagai Presiden.
Selanjutnya pada pemilu 2004, merupakan pemilihan presiden yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat untuk pertama kalinya sesuai UUD NRI 1945 pasal 6A (1) bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pada saat itu Golkar merupakan partai pemenang pemilu, akan tetapi pada saat itu SBY yang terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Padahal SBY hanya diusulkan oleh partai-partai yang mempunyai suara minoritas di DPR dengan persentase kursi kurang lebih 12 persen. Sehingga saat itu terjadi suatu pemerintahan yang bersifat minoritas (government minority). Akibatnya jalan buntu (deadlock) akan sering terjadi antara presiden dan DPR karena komposisi dukungan presiden di DPR sangat kurang. Sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah yang membutuhkan persetujuan DPR tersebut sedikit terganggu, kemudian menyebabkan efektivitas dan stabilitas jalannya pemerintahan kurang stabil akibat pengawasan DPR (legislative heavy) yang begitu kuat, sehingga presiden sering menemukan jalan buntu (deadlock) ketika berhadapan dengan DPR.
Begitupun dengan hasil pemilu 2009 yang menempatkan partai Demokrat sebagai pemenang pemilu dan mengantarkan SBY terpilih kembali sebagai Presiden periode kedua.Walaupun partai yang mengusung SBY itu sebagai pemenang pemilu, ternyata belum dapat mencapai suara mayoritas di dalam DPR. Sehingga presiden dituntut untuk melakukan koalisi, agar semua kebijakan-kebijakan pemerintah yang membutuhkan persetujuan DPR dan tidak menemui jalan buntu.
Akan tetapi Setgab koalisi yang dibangun ternyata tidak begitu solid, anggota setgab koalisi seperti PKS sering melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah seperti yang terjadi pada hak angket century pada masa itu.
Kondisi berbeda di Era Jokowi di Periode Pertamanya, Komposisi dukungan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang beda tipis seringkali menjadi penghambat KIH sebagai partai pemerintah, sehingga terjadi suatu pemerintahan yang berifat minoritas (government minority). Selain itu segala kebijakan dan keputusan Jokowi banyak mendapatkan intervensi dari partai pengusungnya. Hal itu dapat kita lihat mulai dari pengangkatan Menteri di kabinet, Jaksa Agung, dan pengangkatan Kapolri. Dan sepertinya aroma bagi-bagi kursi kekuasaan di periode kedua Jokowi sudah mulai tercium ke publik ketika melihat beberapa pimpinan partai koalisi yang minta jatah kursi Menteri, pimpinan MPR, Direksi BUMN dan beberapa jabatan strategis lainya. Dominasi partai politik terhadap Presiden ini yang kemudian membuat siapapun yang menjadi Presiden akan menghadapi kondisi yang dilematis, apakah harus mengikuti kemauan partai atau mengikuti keinginan rakyat.
Akan tetapi, jika kita mencermati konstitusi khususnya Pasal 4 UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar”, artinya selama presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan UUD maka tidak ada alasan untuk menjatuhkan atau memakzulkan Presiden dari jabatannya.
UUD NRI Tahun 1945 mengatur secara eksplisit mekanisme pemberhentian Presiden dalam Pasal 7A yang menyatakan “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Maka menurut penulis, selama Jokowi menjalankan pemerintahan sesuai dengan UUD dan tidak melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang termuat dalam Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945 maka tidak perlu takut untuk berbeda pendapat dengan partai-partai pengusungnya selama apa yang diperjuangkannya sesuai dengan keinginan rakyat.
Sistem ketatanegaran kita tidak mengenal pemberhentian Presiden melalui mekanisme politik. Sehingga seharusnya Jokowi dapat bertindak sesuai dengan kewenangan dan hak-haknya yang dijamin dalam undang-undang dasar.
Koalisi di Indonesia adalah sebuah realitas politik yang tak dapat dibendung. Yang perlu dipahami bahwa saat ini Indonesia menganut sistem presidensial. Dan ketika sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai maka sangat sulit untuk menciptakan suatu kestabilan dalam jalannya pemerintahan yang demokratis.
Semoga saja pemerintahan ke depan siapapun Presidennya, koalisi yang dibangun dapat melahirkan pemerintahan yang kuat tanpa harus saling sandera kepentingan masing-masing partai, sehingga Presiden terpilih nantinya dapat mewujudkan tujuan nasional dan cita-cita bangsa yang termuat dalam pembukaan UUD NRI 1945. (*)