Penulis: Saifuddin al Mughniy
PIJAR OPINI — Geliat politik memang bergerak seakan tanpa arah. Liar, dan cendrung membawa arus demokrasi berpindah dari agency politik ke agency yang lain. Tidak salah pikiran awam, bahwa politik itu liar, licin, dan tak sekuat penunggang kuda yang memacu kudanya dengan kencang, analogi ini ibarat satu keutuhan komitment. Apakah politik tak butuh komitment ? inilah yang sedikit meresahkan publik.
Dalam perspektif sosio politik, komitment begitu penting untuk.menguatkan pemerintahan. Yah, politik tak ubahnya sirkus dari agency yang ada. Modal politik tak cukup dengan elektabilitas, popularitas, tetapi ada ancaman demokrasi ketika para pemodal menjadi peremot kekuasaan diluar panggung. Terus kalau ini terjadi maka dimana eksistensi sekaligus independensi penguasa yang telah dipilih oleh rakyat.
Lagi-lagi masih bersoal pada local community, masalah klasik karena cost politik telah terambil duluan, sehingga acapkali dibarter dengan aset daerah ketika seseorang telah terpilih. Inilah bukti bahwa “politik tersandera”. Bahkan nuyris ketokohan tak dipedulikan bahkan diabaikan dalam proses politik.Model particracy yang telah gagal di beberapa negara justru bangsa ini mempraktekkannya.
Nah fenomena pengabaian tokoh, adat dan budaya menjadi sebab figuritas lokal untuk tampil sebagai pemimpin. Dibanyak tempat telah muncul realitas baru dengan aksara “kotak kosong”, sebuah peristilahan yang mengerikan. Kengerian bukan tanp alasan, kotak kosong ber-efek pada, (1) meniadakan figuritas dikontekstasi politik yang ada, seperti di daerah itu tak memiliki tokoh atau cerdik pandai. (2), kotak kosong menistakan demokrasi. (3), kotak kosong, kebih pada karena parpol sedikit pragmatis. (4), kotak kosong terjadi karena saling menyandera, belum lagi kehadiran para pemodal yang cendrung membeli parpol dengan biaya tinggi. Konsekuensinya adalah siapa menjadi pemenang menjadi hutang bagi pemodalnya, dan itu harus dibayar dengan mahal.
Pada aspek yang lain, fenomena “kotak kosong” adalah perlawanan terhadap budaya masyarakat, dan nampak adanya jual beli kepentingan, dan ini sudah mencederai substansi demokrasi. Bukankah demokrasi begitu menghargai budaya ketokohan ? tetapi kalau kotak kosong dalam pandangan politik berarti tak melawan siapa-siapa, terus dimana figuritas itu, dimana parpol sebagai tempat memproduksi pemimpin, apakah figur dan parpol juga ikut tergadai? semua ini adalah realitas terburuk berdemokrasi.
Bagi Sigmund Freud dalam *Naluri Kekuasaan* yang ditulis oleh *Calvin S Hall* bahwa realitas politik sudah masuk kategori *kecemasan moral*, yakni satu keadaan dimana seseorang tak lagi mau mengikuti cara-cara yang prosedur merebut kekuasaan, tak mau lagi mengikuti jalur kompetitif dalam mengisi ruang publik, dan menempuh cara dengan melanggar moralitas.
Fenomena politik kotak kosong dalam konteks politik nasional maupun lokal, sesungguhnya melawan “ketidakpercayaan publik”. Kalau pun kandidat menang mungkin tak bersoal, namun kalau kalah ini lebih menyakitkan sebab kemenangan publik atas ketidakpercayaan. Tetapi menang pun tentu dihantui oleh ketidakpercayaan publik dalam menjalankan.pemerintahan. Semua ini adalah efek domino dari budaya politik transaksional. Agak sulit diterima akal.sehat kalau kotak kosong menjadi kontrak politik.
Karenanya, kesadaran kritis minimal menjadi peretas transaksi politik yang menjual demi dan atas nama.demokrasi. Sebab kotak kosong adalah jawaban jatuhnya martabak ketokohan, dan mundurnya gerak demokrasi. (*/ris)