OPINI — Meski era New Normal mulai digagas oleh pemerintah, tapi melihat perkembangan kasus Covid-19 yang terjadi, maka kondisi sebenarnya tidaklah benar-benar sudah membaik. Mengutip data yang dirilis news.detik.com, tanggal 29 Mei 2020, kasus Covid-19 di Indonesia masih cukup mengkhawatirkan. Orang yang dinyatakan positif sudah mencapai 25.216, padahal sehari sebelumnya masih diangka 24.538 kasus.
Berarti lonjakan dalam kurung waktu sehari saja mencapai 678 kasus positif. Jadi di tengah situasi seperti ini tetap harus fokus pada langkah-langkah untuk mencegah penularan agar tidak terus meluas. Setiap kita tetap harus secara tertib dan penuh kesadaran menjalankan protokol kesehatan yang menjadi anjuran.
Wabah Covid-19 telah menimbulkan dampak besar bagi kehidupan kita. Namun diantara dampak yang terjadi, mungkin tidak ada yang paling menakutkan melebihi dampaknya di bidang ekonomi. Tentu yang dibuat paling pusing dalam hal ini adalah pemerintah sebagai penyelenggara negara. Wajar muncul kegalauan, apalagi jika berkaca pada sejarah, dimana kerap kali keterpurukan ekonomi suatu negara menjadi faktor utama penyebab ketidakstabilan politik, dan akhirnya berujung pada jatuhnya sebuah pemerintahan. Jika pada Tahun 1998 krisis ekonomi diawali dengan krisis moneter, maka pada Tahun 2020 ini ancaman krisis ekonomi dipicu oleh krisis kesehatan. Apakah saat ini sudah layak dianggap krisis ekonomi sudah terjadi? Tentu perlu dibutuhkan indikator ekonomi untuk menilai dan biarkanlah kalangan yang lebih expert dibidang ini memberikan kesimpulannya.
Keterlibatan tulisan ini hanya ingin menyentuh wilayah yang kasat mata. Covid-19 yang secara resmi diumumkan masuk di Indonesia awal Maret 2020 telah menyebabkan perlambatan ekonomi akibat macetnya perputaran uang. Di pihak negara terjadi ketidakseimbangan fiskal yang begitu mengangah. Target penerimaan terpaksa dirasionalkan melalui kebijakan realokasi dan refocussing pada sisi pengeluaran. Langkah yang tentu harus dilakukan jika tetap ingin menjalankan ekonomi secara objektif. Dalam salah satu pendekatan untuk menghitung pendapatan nasional, ternyata sekarang ini tidak bisa berfungsi secara maksimal. Konsumsi (C) mengalami kelesuan, investasi (I) secara umum berjalan lambat, perdagangan ekspor impor apalagi (E-I). Mengharap pengeluaran pemerintah (GI) di tengah minimnya penerimaan hanya ibarat mengharap terang rembulan di siang hari. Di tengah situasi berat pemerintah seperti ini maka kebijakan mengeluarkan obiligasi dan membuka kran utang kembali menjadi solusi yang dianggap paling ampuh. Informasinya masih hangat, Sabtu 30 Mei 2020, oleh tempo.co dikabarkan bahwa World Bank menyetujui pendanaan US$ 250 juta atau Rp 3,66 triliun (kurs Rp 14.662) untuk program tanggap darurat penanganan Covid-19 di Indonesia. Ini artinya beban utang negara kembali bertambah.
Dampak terpuruk juga dialami oleh sektor swasta. Tidak sedikit perusahaan yang akhirnya memilih gulung tikar, melakukan kebijakan PHK terhadap sejumlah karyawan, atau minimal melakukan pemangkasan pada beban gaji/tunjangan pekerjanya. Disektor usaha informal, masyarakat begitu sulit mencari peluang usaha saat ini. Sebagian mungkin bisa bertahan atau malah mengambil peluang (opportunity), tapi ini hanya berlaku bagi mereka yang telah mampu beradaptasi dengan model bisnis era kekinian yang serba digital.
Problem ekonomi diberbagai sektor ini akhirnya berdampak pada daya beli masyarakat yang semakin berkurang. Imbasnya tidak lain adalah ancaman krisis ekonomi yang semakin nyata.
Menyikapi keadaan ini, maka keluarga sebagai unit terkecil perlu memikirkan jaring pengaman sendiri. Jika pemerintah berpikir pada tataran politik ekonomi negara, maka kita punya tanggung jawab pada tataran politik keuangan keluarga. Terkait hal ini, maka penting ada bekal pengetahuan seorang kepala rumah tangga, baik itu seorang bapak/suami atau ibu/istri dalam mengelola keuangan keluarga. Meski untuk itu tidak harus mendalam, tapi cukup memahami beberapa perkara mendasar dan gampang dipraktikkan.
Idealnya memang dalam pengelolaan keuangan, baik yang sangat kompleks seperti keuangan negara sampai yang paling sederhana seperti keuangan keluarga, pembahasan tidak terlepas dari 2 (dua) sisi yaitu penerimaan dan pengeluaran. Namun dalam konteks membahas keuangan keluarga di tengah Covid-19, maka yang paling prioritas untuk dikuatkan penataannya adalah pada sisi pengeluaran. Sebab membahas sisi penghasilan saat ini yang belakangan tergerus dan mulai mengering memang bukan perkara gampang. Sementara ini mari berharap dan berdoa keadaan segera pulih, ekonomi membaik, sehingga membincang tentang pintu penghasilan seperti dunia pekerjaan, peluang usaha, dan investasi kembali menjadi semarak dan menggairahkan.