Jadi latte factor bisa diartikan sebagai pengeluaran untuk sesuatu yang pada dasarnya tidak terlalu dibutuhkan tapi dilakukan secara rutin dan terus menerus. Pada awalnya dari sisi pengeluaran terlihat kecil (ringan) tapi pada akhirnya menjadi beban pengeluaran yang mengambil porsi cukup besar. Dipilihnya istilah Latte Factor bukan berarti bahwa kebiasaan yang dimaksud hanya terjadi untuk kebiasaan meminum kopi di kafe saja seperti pada kasus DB, tetapi juga bisa terjadi untuk kebiasaan dan pengeluaran yang lain. Setiap orang mungkin berbeda-beda Latte Factor-nya. Tetapi kita bisa merangkum beberapa macam diantaranya yang sifatnya umum dan kerap dilakukan banyak orang. Apa saja itu?
- Air minum kemasan
Dibanding membawa air minum dari rumah, banyak diantara kita lebih suka membeli air minum kemasan. Alasannya karena dianggap lebih higienis, atau juga tidak ingin repot. Bagi seorang istri, bisa jadi menyiapkan tumbler untuk bekal air minum suami, punya resiko besar kehilangan barang koleksi. Ini bisa jadi. Harga air minum kemasan memang masih relatif terjangkau, namun kalau diakumulasi ternyata bisa besar juga. Anggaplah rata-rata harga 1 botolnya Rp. 3500-an. Dalam sehari seseorang bisa membeli sampai 3 botol, baik untuk keperluan minum disela-sela pekerjaan, habis makan, atau dalam perjalanan. Berarti dalam sehari uang yang habis untuk (hanya) membeli air sebesar Rp. 10.500 dan jika dihitung sebulan (30 hari) totalnya bisa mencapai Rp. 315.000. Angka yang tidak bisa lagi dibilang kecil, apalagi jika sebatas untuk keperluan melepas dahaga dengan air putih.
- Rokok
Ada yang mengeluh beban hidup semakin sulit, uang semakin tidak punya nilai terhadap harga barang, dan bingung mencari peluang untuk tambahan penghasilan. Tapi yang sedikit lucu, hal-hal tersebut diluapkan sambil mengisap rokok hingga habis berbatang-batang. Kebiasaan merokok memang masih sulit ditinggalkan sebagian orang. Jika dengan pertimbangan kesehatan belum bisa diterima sebagai alasan untuk berhenti merokok, maka mungkin dengan pertimbangan keuangan berikut lebih bisa diterima. Coba dihitung-hitung. Harga sebungkus rokok (non-electric) kita estimasi saja sebesar Rp. 25.000. Seorang perokok aktif lazimnya bisa menghabiskan minimal sebungkus rokok dalam sehari. Dalam hitungan 1 bulan (30 hari), berarti anggaran pengeluaran untuk keperluan merokok mencapai Rp. 750.000. Angka yang sangat besar mengambil porsi beban jika sampai menjadi pengeluaran rutin bulanan. Padahal jika dana sebesar ini dialihkan menjadi tabungan maka begitu banyak kebutuhan lain yang bisa ter-cover. Ini untuk simulasi sebungkus dalam sehari. Bagaimana yang selama ini merokok bisa sampai 2-3 bungkus sehari. Maka tentu akan lebih besar lagi tabungan yang bisa dihasilkan.