Demikian 7 (tujuh) contoh latte factor yang kerap datang menjadi “virus” keuangan keluarga. Biasanya dilakukan tanpa disadari dan tanpa penganggaran. Latte factor perlu dibahas bukan dalam rangka merenggut kebahagiaan dan mengesampingkan aspek kenyamanan hidup. Tapi lebih untuk menjadi bahan kewaspadaan terutama bagi yang sedang ingin merancang keuangan keluarga yang sehat. Meski hampir semua orang memiliki latte factor dalam pola belanjanya, tapi jenis dan besarannya bisa berbeda-beda. Silahkan mengidentifikasi latte factor masing-masing dan setelahnya coba disikapi dengan lebih bijak.
Selain latte factor, kita juga akan menyinggung sedikit “virus” keuangan lain yang disebut Flexing. Istilah flexing ini populer digunakan zaman sekarang untuk menggelari orang yang suka pamer kekayaan dan menyombongkan diri padahal tidak menggambarkan kehidupan sebenarnya. Bisa karena apa yang dipamerkan adalah sesuatu yang dipaksakan untuk dibeli ataupun memang kenyataannya barang yang dipamerkan hanya klaim atau bukan milik sendiri. Flexing ini identik akhirnya dengan kebohongan sehingga pelakunya dianggap juga orang-orang palsu (kw) atau bahkan penipu. Secara khusus kasus Flexing yang ingin disorot disini adalah sikap memaksakan diri untuk membeli sesuatu dengan tujuan untuk dipamerkan. Demi mendapatkan pengakuan dari khalayak, maka beragam barang dibeli tanpa kontrol. Orang yang terserang “virus” flexing akan membuat keputusan pengeluaran yang diambil tidak lagi rasional. Mereka tidak peduli lagi harga barang yang kemahalan, tidak lagi mengukur kemampuan, tidak lagi memperhitungkan resiko dan tidak berpikir lagi tentang nilai yang bisa didapatkan dari barang-barang yang dibeli.
Kecenderungan bersikap seperti ini semakin menjadi jadi di era sosial media sekarang. Beragam saluran untuk flexing begitu mudah didapatkan. Adanya harapan mendapat respon berupa followers, likers, dan viewers menjadi motivasi untuk semakin menggebu-gebu. Meski ada juga yang flexing secara malu-malu. Bermaksud pamer juga tapi dengan cara yang lebih halus. Untuk model yang seperti punya istilah sendiri. Biasa disebut Humblebragging yang secara harfiah artinya menyombongkan diri dengan “rendah hati”. Memamerkan bukan dengan membusungkan dada tapi mungkin dikemas dalam bentuk keluhan. Meski begitu, tetap saja maksudnya sama, yakni flexing atau ingin pamer. Jika dikaitkan dengan ketahanan keuangan keluarga, maka sikap seperti ini jelas membahayakan. Seberapa kuat pun kekuatan pemasukan keluarga jika sudah mendapat serang “virus” flexing ini maka suatu saat pasti akan bobol juga. Akan menjadi sangat menyakitkan, jika untuk maksud flexing akhirnya sudah menghabiskan banyak anggaran, tapi tidak mendapatkan respon sebesar yang diharapkan. Kenapa? Karena orang-orang sekitar dan publik, ternyata sama sekali tidak pernah dan tidak mau peduli dengan apapun yang kita pamerkan. Jadi sudahlah, mari berbelanja atau mengeluarkan dana untuk hal-hal yang memang penting dan dibutuhkan.
Semoga keuangan keluarga kita bisa terbebas dari kedua “virus” ini. Setiap pengeluaran yang dilakukan selalu berangkat dari rancangan anggaran. Jika pun ada pergeseran maka bisa dipastikan porsinya tidak signifikan dan menghasilkan nilai yang jelas, baik nilai pahala, kebaikan, maupun manfaat. Ini adalah bagian terakhir dari rangkaian tulisan berseri seputar manajemen keuangan keluarga. Masih ada sebenarnya beberapa topik lagi yang penulis ingin bagikan, seperti bagaimana menyulap gaji seorang ASN/karyawan menjadi modal investasi, berbisnis dari rumah, belajar keuangan ala Rasulullah, dan yang lain. Namun insya Allah akan dibahas pada ruang dan kesempatan yang lain.