Penulis : Ustaz Iwan Januar
Lagi kejahatan seksual lewat jejaring media sosial terjadi. Seorang gadis kelas VI SD asal kota Bandung dibawa lari teman lelaki yang dikenalnya lewat media sosial. Korban bukan saja dinodai dua orang pelaku, tetapi juga dijual kepada dua puluh orang lelaki lewat jejaring sosial.
Kejahatan ini bukan kali pertama terjadi. Seharusnya pemerintah lebih meningkatkan keamanan untuk mencegah beraksinya predator seksual yang memangsa anak dan remaja. Apalagi kejahatan ini sudah berkembang menjadi perdagangan manusia (human trafficking). Para korban dieksploitasi secara seksual untuk tujuan komersil.
Dari sisi penegakan hukum, berulangnya kasus ini menunjukkan lemahnya pencegahan dan menjadi tanda hukum yang berlaku tidak memberi efek jera bagi para pelaku. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa sejak 2017 hingga (Oktober) 2022, tercatat ada 2.356 laporan korban tindak pidana perdagangan orang atau perdagangan manusia. Sebanyak 50,97% dari korban perdagangan manusia merupakan anak-anak, 46,14% merupakan korban perempuan, dan 2,89% merupakan laki-laki.
Anak dan remaja termasuk kelompok usia yang amat rentan menjadi korban kejahatan predator seksual maupun perdagangan manusia lewat media sosial. Ini karena tingkat kesadaran dan pengetahuan mereka yang masih terbatas.
Selain itu, kondisi yang tidak harmonis dalam keluarga juga menjadi salah satu penyebab anak lebih intens dan percaya menjalin komunikasi dengan kawan di media sosial-walaupun baru dikenal-ketimbang berbicara dengan kedua orang tua atau anggota keluarga lainnya.
Oleh sebab itu, menjadi amat penting bagi keluarga, khususnya orang tua, menciptakan kondisi yang dapat mencegah anggota keluarga terutama anak dan remaja menjadi korban. Bagaimanapun, orang tua sebagai penanggung jawab pertama dan utama atas keselamatan anak sebelum pihak lain. Ini karena persoalan yang dihadapi anak seharusnya bisa diselesaikan di rumah.
Bila ditelusuri, anak dan remaja yang menjadi korban kejahatan lewat media sosial umumnya berasal dari keluarga dengan kondisi disharmonis. Mereka kurang kasih sayang dan perhatian, minim komunikasi dengan orang tua, ditambah lagi bila orang tua berperilaku toksik. Akibatnya, orang tua lebih sering tendensius dan berpandangan negatif kepada anak ketimbang memberi motivasi.
Pelaku kejahatan di media sosial, terutama yang terbiasa melakukan perdagangan manusia dengan sasaran anak-anak dan remaja bisa mendeteksi kondisi anak-anak itu lewat pancingan dialog yang mereka buat. Selanjutnya, mereka menggiring korban untuk percaya dan mengajaknya bertemu secara offline.
Ayah-Bunda, tentu kita tidak mau anak-anak kita menjadi korban kejahatan jejaring media sosial, apalagi menjadi korban perdagangan manusia. Hal itu tidak dimulai dengan meminta bantuan aparat penegak hukum, tetapi harus dimulai dari menciptakan kondisi Islami dan hangat di rumah. Dengan demikian, anak tidak kecanduan media sosial dan lebih betah bercengkerama berjam-jam dengan orang yang tidak dikenal di media sosial.
Ada lima langkah yang bisa dilakukan untuk menciptakan kondisi aman bagi anak di rumah.
Pertama, evaluasi kembali hubungan dengan semua anggota keluarga. Ciptakan kembali kehangatan dan keharmonisan, sehingga semua orang merasa nyaman bersama keluarga. Ayah-Bunda sempatkan waktu untuk bercengkerama dengan anak, mengobrol dan memberikan nasihat ringan, memberikan motivasi, termasuk terlibat dalam kegiatan sekolah anak. Sesekali Ayah-Bunda bisa mengantar-jemput anak dan hadir dalam kegiatan-kegiatan orang tua di sekolah.
Kedua, penting dan wajib bagi orang tua menghilangkan perilaku toksik terhadap anak. Hindari ucapan yang menjatuhkan mental anak, merendahkan diri mereka, dan tidak peduli dengan problem yang mereka hadapi, seperti mengerjakan PR, membetulkan sepeda, dan sebagainya. Sikap toksik pada anak membuat mereka kehilangan rasa nyaman dan kepercayaan pada orang tua. Akhirnya, mereka mencari orang lain yang bisa dipercaya, termasuk dari pertemanan di media sosial.
Ketiga, utamakan anak untuk tidak memiliki akun media sosial sampai mereka dewasa. Setelah itu, ajarkan mereka bijak bermedia sosial. Minta mereka meng-add orang tua dan anggota keluarga ke dalam jaringan pertemanan. Orang tua harus memantau pertemanan anak di media sosial, serta memantau percakapan yang ada. Ajarkan mereka untuk tidak memasukkan orang yang tidak dikenal ke dalam jaringan pertemanan. Batasi juga durasi penggunaan media sosial maksimal dua jam dalam sehari.
Keempat, ajak anak bicara bila tampak perilaku yang tidak sehat, seperti ketahuan bermedia sosial sampai malam hari, diam-diam punya akun lain selain akun yang di-share pada keluarga, atau orang tua melihat status atau percakapan yang tidak layak di media sosial, dan sebagainya. Beritahu anak bahwa sudah banyak terjadi kejahatan di media sosial. Oleh karenanya, anak jangan percaya pada omongan orang yang tidak dikenal. Minta mereka segera melapor pada orang tua bila ada status atau chat yang mengganggu. Hal ini bisa dilakukan bila anak sudah merasa nyaman dan percaya pada orang tua.
Kelima, ajak anak untuk bertahap mengurangi ketergantungan pada media sosial. Bawa mereka dalam aktivitas nyata seperti olah raga, silaturahmi, hiking, camping, ke perpustakaan kota, dan sebagainya. Banyak riset menunjukkan bahwa media sosial berdampak negatif pada kesehatan mental penggunanya, terutama anak-anak dan remaja. Mereka yang addicted media sosial bisa terdampak insecure, serta kurang konsentrasi dalam belajar dan pekerjaan.
Terakhir, hidupkan rumah dengan ibadah bersama keluarga, seperti membaca Al-Qur’an, tausiah, atau salat berjemaah ke masjid. Aktivitas keagamaan membuat hati menjadi lebih tenang dan menghilangkan perasaan insecure. Tanamkan juga pada anggota keluarga untuk selalu mengingat Allah Swt. dalam ucapan dan perilaku, termasuk di media sosial. Allah Maha Mengawasi apa yang dituangkan dalam media sosial. Oleh karenanya, minta anak-anak dan remaja menjaga diri setiap saat. (*)
Sumber: Muslimahnews.net