OPINI–Sulawesi Selatan dengan segala kearifan lokal yang dimiliki juga sumber daya manusianya, menjadikannya sebagai salah satu provinsi yang patut untuk dipertimbangkan di kancah Nasional. Ragam adat istiadat dan seni yang dimiliki masing-masing daerah menjadi salah satu kekayaan budaya Sulsel.
Berbicara mengenai kebudayaan Sulawesi Selatan berarti mengenal adat kebudayaan yang ada di seluruh daerah Sulawesi Selatan.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sekelompok orang. Kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya. Budaya itu terbentuk dari beberapa unsur yang rumit. Diantaranya yaitu adat istiadat, bahasa, karya seni, sistem agama dan politik. Bahasa sama halnya dengan budaya, yakni suatu bagian yang tak terpisahkan dari manusia.
Salah satu kebudayaan yang turun temurun yang ada di Matakali Desa Matajang Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang yaitu Maccera Manurung, yang diadakan dua kali setahun.
Maccera Manurung merupakan upacara pencucian benda pusaka peninggalan La Pariba, sekaligus ungkapan rasa syukur masyarakat Matakali atas limpahan rezki dari Allah swt yang diterima selama setahun. Baik itu rezki berupa kesehatan maupun hasil panen yang melimpah ruah.
Tetua yang ada di Matakali mengungkapkan, kemunculan sosok manusia yang tidak diketahui asal-usulnya di Matakali Enrekang yang mampu membawa perubahan positif di wilayah Matakali dan dikenal dengan Tomanurung La Pariba. Masyarakat Matakali sepakat mengangkat to manurung La Pariba sebagai pemimpin di wilayah mereka hingga saat lahir dan dewasa anaknya yang bernama To Jabbari dan kemudian La Pariba tiba-tiba pula menghilang dengan meninggalkan beberapa benda yaitu Kawelang, Tengkeng Bassi dan senapan, yang kemudian benda-benda peninggalan La Pariba tersebut diupacarakan oleh masyarakat Matakali dengan sebutan Maccera Manurung yang juga untuk mengenang jasa-jasa La Pariba.
Tahapan-tahapan dalam maccera Manurung yaitu, pertama masyarakat setempat ke Buttu Awo, kedua masyarakat setempat bergotong royong untuk mendirikan ayunan dan tempat untuk acara adat, ketiga pada malam hari acara masyarakat mendengarkan sejarah yang diceritakan setiap 2 tahun sekali, keempat yaitu pada pagi hari acara masyarakat setempat mengawal turunnya tetua adat, Kelima memotong ayang kemudian memotong kerbau. Keenam yaitu massajo yang artinya menyampaikan pesan leluhur terdahulu. Ketujuh yaitu madoa (berayun) dan mappadeddang yang diresmikan oleh tetua adat kemudian pak Bupati Enrekang. Kedelapan yaitu Mettaja (menunggu berkah di bagikan) berupa nasi, kerbau dan ayam, kesembilan yaitu ke Buttu wala-wala dan terakhir masyarakat setempat ke Burake untuk mengakhiri kegiatan acara Maccera Manurung tersebut.
Salah seorang warga Rosmini mengatakan, Maccera Manurung merupakan sebuah tradisi pengungkapan rasa syukur atas keberhasilan yang di dapatkan yang dilakukan setiap dua tahun sekali.
Dan tentunya harapan penulis untuk masyarakat setempat agar tetap menjaga kelestarian adat istiadat yang ada di daerah tersebut karena didalam kaidah ushul fiqh dikatakan bahwa Al-Adah Muhakkamah yang artinya Adat sebagai penentu hukum oleh karena itu dengan landasan tersebut maka masyarakat berkewajiban menjaga adat istiadat tersebut tanpa adanya unsur kesyirikan didalam adat istiadat tersebut.
Oleh : Niar Purnamasari (Mahasiswa Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah IAIN Parepare)