Penulis: Bahrum Pena
(Mahasiswa Umpar)
PIJAR OPINI — Kampus merupakan tempat produsen wacana keilmuan dari berbagai sudut. Entah itu dari segi ekstakta, non eksakta maupun pelbagai disiplin ilmu lainnya. Tak salah jika kampus dikatakan sebagai ladang wacana, kawah opini dan pabrik pemikiran yang dilempar kepada khalayak umum.
Dan pelaku pabrikasi dan publikasi wacana intektual tersebut tak lain dan tak bukan adalah mahasiswa itu sendiri. Yah, mahasiswa dalam peristihan saya adalah sekelompok orang dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa atau setinggat lebih tinggi dari siswa, mempunyai tugas yang multitasking, kalau kita meminjam bahasa milenial, atau orang-orang yang dibebankan tidak hanya pada satu visioner saja. Kalau memang disedari dari awal, tugas mahasiswa bukan hanya pergi kuliah, tapi ada tugas mulia yang jauh melampaui itu. Labelisasi agent of change, control of social, iron stock, moral force dan sederet peristilahan keren lainnya bukan hanya lem perekat saja tapi betul-betul harus merembes kesisi kejiwaan kita.
Yang menarik adalah sejarah panjang mahasiwa, dimana-mana dalam setiap aktivitas mahasiswa, baik aktifitas akademik maupun aktifitas organisasi atau aktifitas sosial lainnya, simbolisasi mahasiswa yang paling jelas terlihat adalah almamaternya. Sebuah jas yang beragam warna sesuai dengan warna kampusnya. Dengan memakai jas almamater seakan-seakan mempresentasikan mahasiswa lebih akademis dibanding siswa, lebih ilmiah dan lebih ideologis dibanding masayrakat umum. Memakai jas almamater dirasa mempunyai psikologi ego tersendiri ditengah-tengah struktrus sosial masyarkat.
Tapi pernahkah sang mahasiswa tersebut, duduk sejenak sambil minum kopi sembari memikirkan tentang almamater tersebut?. Sedikit merenungi, almamater itu apa sebenarnya, sejarahnya bagaimana, asal muasalnya dari mana dan pada awalnya almamater diperuntukkan untuk apa?. Kalau melihat kondisi mahasiswa jaman now, sedikit meminjam istilah kekinian atau peristilahan sosioligsnya mahasiswa era milenial, kita berani berasumsi bahwa masih sangat sedikit mahasiswa yang mengetahui tentang hal itu. Hanya ada segelintir dari sekian banyak mahasiwa itupun kesyukuran luar biasa kalau ada. Perbandingannya mungkin, jika dikalkulasi secara statistik hanya ada tiga sampai empat orang diantara seratus yang paham tentang almamater.
Mari kita sejenak berjalan kebelakan, berjalan kebelakang yang saya maksud disni bukan untuk mengenang masa lalu yang berakibat susahnya untuk move on terhadap sesuatu, bukan pula untuk memberhalakan sejarah karena akan menjebak kita pada konservatif dan kejumudan wacana sehingga kreatifas dan pembaharuan pemikiran sulit untuk diaktualisasikan. Berjalan kebelakang yang saya maksud disini adalah berefleksi, berkontemplasi dan menganalisa ulang segala sesuatu yang sempat hadir dilintasan pikiran kita.
Almamater itu sendiri berasal dari bahasa latin yang sera harpiahnya berarti “ibu susuan”. Almamater itu sendiri selalu terikat dari kata sekolah yang berasal dari bahasa latin juga yaitu “scolae, skholae, scola atau schola” yang artinya waktu senggang atau waktu luang. Dan juga almamater sering bersinggungan dengan akademik, yang dinama akademik diambil dari salah satu pahlawan Yunani yaitu “Academos” yang juga diambil oleh Plato sebagai nama sekolahya.
Mengenai almamater ini, di Yunani dulu para orang tua untuk mengisi waktu luang anak-anaknya dengan cara mengunjungi suatu tempat unuk mempelajari sesuatu untuk kebutuhan mereka. Disana mereka bermain dan belajar berbagai hal mengenai kehidupan. Namun seiring waktu banyak orang tua yang sibuk dengan pekerjaan sehingga mengikis waktunya untuk anak-anak mereka.
Maka dititipkanlah anak-anak mereka kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan untuk mengisi waktu luang anak-ankanya yang kemudian anak-anak mereka diasuh dan diberi bekal pengetahuan. Orang-orang (pengasuh) tersebut diistilahkan dengan “alma mater” yang berarti ibu pengasuh atau ibu yang memerikan ilmu yang sampai saat ini kita kenal dengan istilah almamater dalam lingkup perguruan tinggi.
Terus timbul dibenak kita kemudian yang bertanya bahwa apa keterhubungan ibu dengan mahasiswa?. Jelas bahwa mahasiswa itu sendiri karena telah melekat erat almamater ditubuhnya berposisi sebagai orang tua ketika anak atau tiap individu dititipkan padanya. Maksudnya ialah mahasiswa harus menjadi ibu yang melahirkan, merawat dan mejaga tradisi intelektual, forum diskursus, ruang-ruang kajian, siklus ilmiah dalam lingkup kampus maupun diluar kampus. Ibu itu menjadi sekolah pertama setiap anak, jadi mental dan pengetahuan pertama terbentuk dari ibu, begitu pula dengan kampus dan mahasiswa, harus menjadi madrasah dan bengkel terhadap banyaknya kepala yang tertampung di dalamnya. Ibu juga punya kepekaan dan rasa peduli begitu tinggi terhadap anaknya begitu pula mahasiwa harus punya kepekaaan dan kesadaran terhadap realitas masyarakat sekitar yang begitu kompleks. Ada tanggun jawab besar yang dipikulnya, memberi bekal pengetahuan pengetahuan sekaligus mengasuh, begitulah seharusnya aktivitas dan semangat gerakan mahasiswa jaman now.
Di moment-moment hari ibu ini, yang tertancap tanam dalam benak kita, bahwa ibu itu segala-galnya buat kita. Dia yang melahirkan kita, mengasuh dan membesarkan tanpa beban sedikitpun. Dan kemudian ibulah tempat kita kembali ketika segudang masalah menampar kita. Selalu dan selalu kita ingat bahwa jasa seorang ibu tidak akan pernah bisa kita balas dengan apapun dan sampai kapanpun. Maka dari itulah mahasiswa sekrang harusnya berefleksi untuk memperingati hari ibu, bukan hanya peringatran seremonual belaka, posting status hari ibu di akun-akun medsosnya, tapi harus jauh melampaui itu. Kecintaan yang tulus terhadap ibu bukan dibuktikan di dunia maya yang serba terbatas tersebut, tapi tindakan kongkret karena mahasiswa bukan hanya berbakti kepada ibunya, tapi mahasiswa juga adalah ibu terhadap zamannya sendiri. (*/ris)