1. Kebahagiaan
Penting memiliki perspektif yang jernih tentang kebahagiaan sebelum merancang keuangan keluarga. Jika keliru maka akan berdampak buruk pada pola yang akan kita lakukan, mulai dari perencanaan sampai dengan pengendaliannya. Perencanaan kita akan lebih banyak didorong oleh obsesi dan dorongan hasrat memiliki. Langkah-langkah yang akan kita ambil tidak lagi mandiri, tapi justru lebih dikendalikan oleh hal-hal diluar diri kita. Kenapa? Karena kita telah membangun perspektif bahwa kebahagiaan itu sudah termonopoli.
Kebahagiaan itu hanyalah milik orang kaya yang bergelimang harta. Kebahagiaan itu hanya ada ketika kita sudah bisa memiliki apapun yang kita inginkan. Kebahagiaan itu hanyalah bisa dirasakan ketika mampu membeli barang branded terkenal yang diproduksi secara limited edition. Bangunan perspektif seperti ini telah mengabaikan kenyataan bahwa kebahagiaan itu pada dasarnya bisa hadir pada banyak ruang, bisa didesain sendiri oleh masing-masing orang, dan tidak bertahta hanya pada satu keadaan saja.
Betul dengan harta melimpah orang memang bisa meraih kebahagiaan namun juga sangat mungkin dilanda risau berlebihan akibat hartanya. Banyak orang fakir akan berkata kebahagiaan itu ada pada kekayaan. Namun oleh kelompok lain seperti mereka yang sakit akan berkata kebahagiaan itu ada pada kesehatan. Pendosa berkata kebahagiaan itu ada pada pertobatan. Perindu berkata kebahagiaan itu ada pada pertemuan. Akhirnya cobalah bertanya kepada orang kaya yang sedang mules dan kebelet, apakah kebahagiaan itu ada dikamar kecil atau pada kendaraan mewah? Bisa diprediksi bahwa orang kaya tadi akan menemukan kebahagiaan itu tempatnya dikamar kecil, bukan dikendaraan mewahnya.
Jadi kebahagiaan ternyata itu bukanlah barang langka. Kebahagiaan itu bisa dihadirkan sendiri dan tidak harus tergantung pada penilaian orang lain. Kebahagiaan itu dapat diproduksi secara massal sehingga persediaannya melimpah ruah dan bertebaran dimana-mana.
Jika kita sudah melihat dari perspektif seperti ini, maka keuangan keluarga yang kita kelola nantinya bisa mengalir sesuai dengan saluran yang kita rancang sendiri. Bukan dikendalikan oleh ambisi memiliki materi secara berlebihan dengan alasan ingin berbahagia dengannya. Kita tutup bahasan ini dengan merenungi perspektif Ibnu Khaldun yang berpendapat “bahagia itu ialah tunduk dan patuh mengikuti garis-garis yang ditentukan Allah dan kemanusiaan” atau dari ungkapan penuh jiwa dari seorang Imam Al-Ghazali yang mengatakan “bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana mengingat Allah”.
Mari buang jauh-jauh perspektif yang bias tentang kebahagiaan jika anda ingin mengelola keuangan keluarga dengan lebih bijak.