2. Kebutuhan
Mengawali bahasan ini kita mulai dengan topik yang biasa dibawakan dalam pengantar ilmu ekonomi. Diawal-awal akan dijelaskan tataran definisi, bahwa ekonomi adalah ilmu yang mempelajari tentang kegiatan manusia yang berkaitan dengan aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Pengertian yang lain, ekonomi dianggap sebagai ilmu yang mempelajari semua yang berhubungan dengan upaya dan daya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mencapai suatu tingkatan kemakmuran.
Bisa jadi karena memandang semua manusia pasti memiliki kebutuhan, sehingga John Stuart Mill sepakat menyebut manusia layak digelari homo economicus. Manusia menurutnya adalah aktor ekonomi sebagai orang yang melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan, kenyamanan, dan kemewahan, dengan usaha yang minimal.
Berangkat dari ciri eksistensi manusia tersebut, maka perspektif tentang kebutuhan menjadi hal berikutnya yang perlu dijernihkan. Bisa berangkat dari 2 (dua) pertanyaan. Pertama, apa sebenarnya kebutuhan yang perlu menjadi fokus untuk dipenuhi oleh manusia? dan kedua, apakah kebutuhan itu ada batasnya atau tidak? Pada salah satu bab dari buku tulisan Muhammad Ismail yang berjudul Fikrul Islam, dijelaskan bahwa dalam diri manusia ada potensi kehidupan (Thaqah Hayawiyah).
Potensi ini senantiasa mendorong manusia melakukan aktivitas dan menuntut untuk dipenuhi. Wujud manifestasinya ada 2 (dua) bentuk, Pertama, menuntut dipenuhi secara mutlak, sebab jika tidak terpenuhi manusia bisa mati. Potensi ini muncul karena ada dorongan atau stimulus internal dari dalam tubuh manusia. Inilah yang disebut kebutuhan jasmani (Hajah ‘Udhuwiyah) seperti makan yang didorong rasa lapar, minum yang didorong rasa haus, tidur yang didorong rasa ngantuk, dan buang hajat yang didorong kondisi kebelet. Kedua, menuntut untuk dipenuhi, tetapi tidak mutlak, karena seseorang tidak sampai mati jika tidak terpenuhi meski akan muncul kegelisihan. Istilah kekiniannya bisa membuat galau jika muncul menuntut dipenuhi tapi justru diabaikan.
Berbeda dengan yang kebutuhan jasmani, potensi ini lahir karena ada dorongan atau stimulus dari luar tubuh manusia. Baik yang datang berupa pemikiran ataupun fakta yang terindera. Inilah yang disebut naluri (gharîzah), seperti naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) yang muncul karena memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah. Ada juga naluri seks (gharîzah an-naw’) yang muncul karena pikiran mesum atau melihat wanita seksi berjalan didepan kita. Contoh lain adalah munculnya naluri mempertahankan diri atau naluri keakuan (gharîzah al-baqâ), misalkan nampak dari sikap seseorang yang marah atau spontan memukul orang didepannya karena merasa diejek atau dihina.
Memahami konsep ini akan sangat membantu kita dalam mengidentifikasi aktivitas yang dilakukan, apakah didorong oleh faktor pemenuhan kebutuhan jasmani atau semata faktor pemenuhan naluri. Apakah yang hendak kita penuhi adalah memang kebutuhan nyata (needs) atau sekedar keinginan (wants). Skala prioritasnya jelas yaitu belanja apa yang menjadi kebutuhan itu harus lebih diutamakan dibanding belanja hanya karena dorongan naluri atau keinginan. Mengenalinya mudah, kalau memang ada tuntutan mendesak untuk mengkonsumsi produk barang atau layanan jasa tertentu, berarti benar itu adalah needs. Tapi kalau “kebutuhan” muncul lebih karena dipengaruhi oleh budaya, cara pandang dan kebiasaan tertentu berarti itu cuma wants.
Ilustasinya begini, Akmal merasa sangat kehausan setelah jogging mengelilingi alun-alun, maka seharusnya ia akan langsung tergerak memenuhi kebutuhan ‘needs’ nya dengan mencari segera minuman, seperti air mineral kemasan ataukah jus buah. Namun rupanya Akmal sudah punya preferensi dalam memilih produk yang akan dikonsumsi, dan baginya itu prinsip dan tidak ada kompromi. Karena tidak menemukan merek minuman favoritnya dijajakan oleh pedagang sekitar, maka Akmal memilih tidak membeli apapun meski harus menahan lebih lama rasa hausnya. Ini artinya, Akmal dalam berbelanja atau melakukan kegiatan konsumsi semata didorong oleh keinginan ‘want’ nya. Melalui contoh ini, semoga sudah bisa difahami.
Kesimpulannya, jawaban tepat dari pertanyaan yang diajukan sebelumnya. Pertama, berarti kebutuhan yang perlu jadi fokus dan mutlak untuk diupayakan, dibeli, dan dipenuhi adalah yang berfungsi menjamin keberlangsungan hidup kita sebagai manusia. Adapun diluar kebutuhan ini bisa ditempatkan pada pos keperluan cadangan yang bersifat situasional. Kedua, kebutuhan ternyata ada batasnya.
Jadi apa yang dikatakan oleh sebuah ungkapan populer dalam ekonomi, bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas sedangkan alat pemenuhan kebutuhan terbatas, itu tidak sesuai fakta. Konsep tersebut bisa jadi muncul karena adanya kesalahan persepsi awal dalam memandang kebutuhan manusia, juga akibat telah mencampuradukkan pembahasan kebutuhan ini dengan naluri atau keinginan. Padahal kebutuhan seseorang, seperti makan misalkan, jelas terbatas. Ada yang mungkin orang bisa melahap habis 2 atau 3 mangkok Coto Makassar plus 5 ketupat, tapi tidak ada seorang pun sanggup menghabiskan coto seukuran gentong besar milik penjual Coto Makassar plus sekarung ketupat hanya dengan sekali makan saja. Termasuk anda bukan?