3. Rezeki
Kejernihan dalam memandang rezeki ini akan digunakan dalam hal memaksimalkan sumber penghasilan. Sebagaimana difahami bahwa membahas manajemen keuangan berarti minimal ada 2 (dua) sisi yang menjadi perhatian, yaitu penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan berarti berkaitan dengan sumber-sumber penghasilan, sedangkan pengeluaran berkaitan dengan pos-pos belanja. Konsep rezeki dengan perspektif yang jernih diharapkan bisa memberi energi kerja yang kuat disatu sisi, dan kesabaran yang besar disisi yang lain. Semua ini tentu diperlukan dalam upaya menguatkan langkah-langkah dan ikhtiar anggota keluarga khususnya yang menjadi ujung tombak dalam mencari nominal penerimaan.
Terkait pembahasan rezeki ini, akan kita coba membangun sebuah perspektif melalui koreksi terhadap terhadap beberapa pandangan bias tentang rezeki. Pertama, rezeki itu adalah semata berbentuk harta yang diterima, disimpan, dan tercatat. Kedua, datangnya rezeki itu ditentukan oleh manusia. Ketiga, besar kecilnya rezeki seseorang itu menjadi pertanda kemuliaannya.
Segala sesuatu yang memberi kenikmatan dan dimanfaatkan oleh manusia pada dasarnya adalah rezeki. Selain harta, Ilmu, akhlak, kesehatan, umur yang panjang, rupa yang cantik dan tampan, pangkat jabatan, atau yang lain semuanya juga terkategori rezeki. Memang yang paling gampang dirasakan dan dinilai itu adalah rezeki yang datang dalam bentuk harta. Mungkin karena harta ini berkaitan langsung dengan kebutuhan manusia untuk bertahan hidup. Namun demikian juga harus disadari bahwa belum tentu harta yang telah diterima, ada dalam genggaman, atau tercatat sebagai kekayaan kita otomatis sudah menjadi rezeki kita. Mengingat pada hakikatnya apa yang menjadi rezeki (harta) kita tidak lebih dari apa yang kita makan, apa yang kita pakai, dan apa yang kita keluarkan.
Apa yang kita makan dan kita pakai itu adalah rezeki secara kasat mata berfungsi memenuhi kebutuhan kita dalam upaya bertahan hidup. Kita tentu mengalami sendiri, misalkan diawal bulan menerima sejumlah uang (gaji) yang bukti terimanya ditanda tangani jelas atas nama kita. Ternyata tidak semua nilai manfaat yang kita nikmati langsung senilai dengan nominal uang yang diterima. Sebagian ada yang berpindah ke istri, ke anak-anak, ke orang tua, ke tetangga, ke penjual sayur, bahkan berpindah ke hewan piaraan. Jadi bukankah layak dikatakan bahwa rezeki ril kita tidak sama dengan gaji bulanan kita?
Rezeki yang dikeluarkan dalam bentuk sedekah juga bisa dianggap rezeki kita yang hakiki. Harta yang dikeluarkan untuk sedekah tidaklah hilang atau berkurang sedikit pun. Bahkan disinyalir berdasarkan ajaran dalam Islam, dengan sedekah harta akan semakin bertambah sebagaimana keuntungan sebuah investasi. Penulis pribadi sebagai orang beriman meyakini ini, dan menjadikan perspektif yang layak untuk dijadikan pegangan.
Pertanyaan kedua yang disinggung diatas juga harus jernih, bahwa rezeki itu semata pemberian Allah. Rezeki itu bukan manusia yang mengatur apalagi yang menentukan. Terhadap potensi harta yang seharusnya rutin diterima setiap bulan sekalipun juga tidak bisa dijamin akan terus berkelanjutan. Kadang-kadang ada situasi dimana nampak jelas bahwa rezeki itu memang buka kita yang atur. Adapun usaha yang kita lakukan sebagai manusia tidak bisa dianggap sebagai penyebab rezeki. Makanya bisa saja ada usaha yang dari segi jumlah energi yang dikeluarkan sama, pola dan strategi yang dijalankan sama, namun rezeki yang dihasilkan tidak sama. Meski demikian usaha dan kerja keras itu bisa menjadi pembuka peluang datangnya rezeki.
Adapun terkait pertanyaan ketiga, harus ditegaskan bahwa bahwa rezeki itu bukanlah tanda kemuliaan seseorang. Rezeki adalah pemberian Allah kepada semua makhluk tanpa terkecuali. Makanya rezeki itu ada yang halal dan ada yang haram.
Tentu tidak bisa dianggap mulia orang yang rezekinya banyak padahal sebagian besarnya berstatus rezeki yang haram. Jadi tidak bisa dimutlakkan, bahwa orang yang rezekinya terus mengalir dan melimpah ruah, berarti lebih dicintai dan dimuliakan oleh Ar Razzaq (Allah, sebagai pemberi rezeki) dibandingkan yang lain. Selain itu tidak tepat membuat perbandingan antara orang yang banyak rezekinya dan orang yang sedikit rezekinya. Lebih pas membuat perbandingan antara orang yang banyak rezekinya dan orang yang dilebihkan rezekinya. Karena berangkat dari pemahaman yang luas tentang rezeki (bukan semata harta), sebenarnya setiap orang telah diberikan rezeki yang banyak. Menjadi manusia yang terlahir sempurna itu sudah merupakan rezeki yang tidak bisa dinilai dengan apapun.
Sehingga berapapun dan apapun rezeki yang diterima wajib disyukuri dan dipastikan bahwa rezeki yang dinikmati tersebut semata adalah rezeki yang halal.
Persoalan rezeki memang harus ditelaah bukan dengan semata bersandar pada pengamatan panca indera, tapi perlu menghadirkan dimensi iman didalamnya. Sehingga dengan perspektif yang komprehensif seperti ini, paling tidak akan menghadirkan ketenangan dalam merancang manajemen keuangan keluarga kita. Semangat untuk memperbanyak sumber penghasilan tidak harus membuat seorang kepala rumah tangga menghalalkan segala macam cara. Setiap langkah yang diambil semata berorientasi pada hasil, revenue, dan income. Luput akhirnya pada hal-hal yang menentukan keberkahan yakni pada proses dan cara yang ditempuh untuk mendatangkan rezeki (penerimaan). Selain itu cara pandang rezeki yang dipegang bisa berfungsi untuk menguatkan ikhtiar, menjaga asa, dan harapan untuk terus menerus mencari pintu-pintu rezeki yang bertebaran dimuka bumi. Bukan malah menghadirkan kecemasan dan kekhawatiran, yang nantinya dari kondisi ini bukan tidak mungkin bertransformasi bentuk menjadi kerakusan dan keserakahan seorang manusia. Alasannya konyol, karena orang tersebut khawatir kehabisan rezeki atau takut kala rezekinya nanti diambil orang lain.