5. Utang
Pembahasan tentang utang ini membawa penulis pada persimpangan jalan. Ada situasi dilematis untuk menentukan arah perspektif yang harus dikuatkan. Satu jalan mengarahkan kita untuk menjauhi utang, dan jalan yang lain justru mengarahkan kita untuk berutang. Jalan yang pertama mengacu pada perspektif ajaran Islam yang diyakini penulis, bahwa utang itu seharusnya dihindari. Meski tidak semua utang itu sampai dikatakan haram, tapi semangat yang diserukan oleh ajaran Islam bukan hal yang kabur dan bersayap. Seterang purnama dan sejelas siang terik. Jangan berutang, hindari utang, jauhi utang, berlarilah sejauh-jauhnya dari utang. Narasi tadi memang hasil olahan kata penulis, tapi makna berasal dari saripati dan pesan utama yang dikehendaki ketika Islam membahas soal utang ini. Bayangkan saja, salah satu doa yang dianjurkan untuk sering-sering dipanjatkan adalah memohon perlindungan dari utang. Orang yang berutang diidentikan dengan pendusta dan pengingkar janji.
Utang bisa juga menjadi penghalang diampuninya dosa, penghambat masuknya orang beriman kedalam surga. Utang juga membuat seseorang menjalani hidup dalam prahara, menjadi hina disiang hari, gelisah dimalam hari.
Belum cukup sampai disitu saja, utang juga bisa menjerumuskan orang dalam kekukufuran. Bahkan pada bentuk utang yang mengandung unsur riba, maka situasinya bisa menjadi lebih mengerikan lagi. Meski demikian ajaran Islam tidak menutup sama sekali ruang untuk berutang. Ada hubungan dalam realitas kehidupan yang tidak pernah bisa hilang sama sekali, yaitu dari antara kalangan yang berlebih dan kalangan yang berkekurangan.
Dalam hubungan inilah ada syariat yang mengatur tentang utang piutang. Orang jadinya masih boleh berutang dalam situasi terdesak dan terjepit, tapi tetap harus memperhatikan beberapa ketentuan. Namun kembali lagi bahwa secara umum, perspektif Islam tentang utang itu adalah sesuatu yang perlu dihindari dan tidak dianjurkan.
Jalan kedua yang dimaksud sebelumnya adalah perspektif yang mengarahkan kita untuk berutang. Sudut pandang ini didapatkan dari ruang kuliah, saat menjadi mahasiswa jurusan manajemen.
Tepatnya seingat saya ketika belajar tentang bisnis dan investasi. Teringat betul pada pembahasan tentang struktur modal bisnis/perusahaan. Diawal kita diperkenalkan 2 (dua) macam sumber pendanaan bisnis yaitu modal internal dan modal eksternal. Modal internal ini lebih sering diistilahkan ekuitas (equity), sedangkan modal eksternal nantinya lebih sering diistilahkan sebagai utang (liabilities), baik yang sifatnya utang jangka pendek maupun utang jangka panjang.
Dibanding bertumpu pada kekuatan ekuitas, ada dorongan lebih untuk membentuk struktur modal dengan menggunakan utang. Logika dan hitungannya sederhana. Dibandingkan bisnis atau perusahaan memikul beban pajak (tax expense), maka jauh lebih efisien dan ringan jika hanya memikul beban bunga (interest expense). Pendanaan dari utang memiliki beban bunga yang bersifat mengurangi beban pajak (tax deductible expense). Teorinya, beban bunga mengurangi laba kena pajak, sehingga semakin besar beban bunga dan tarif pajak yang dikenakan kepada perusahaan maka semakin besar efisiensi pajak yang bisa diperoleh. Keuntungan yang diperoleh dari pendanaan melalui utang ini yang disebut tax shield.
Ilustrasinya, dengan menggunakan ekuitas, laba tergerus pajak sebesar 30%. Tapi dengan modal dari utang, laba yang kena pajak mungkin hanya sebesar 12%. Ini salah satu alasan kenapa berutang itu penting karena ternyata berdampak positif terhadap bisnis/perusahaan. Alasan lain, dengan utang bisa menjadi jalan untuk memperbesar kapasitas modal usaha dengan instan. Ini akan berdampak pada ekselarasi usaha yang ujungnya bakal meningkatkan laba.
Diperhadapkan dua perspektif yang berbeda mengharuskan ada sikap yang jelas untuk bisa melangkah dengan fokus. Kaki perlu berdiri secara tegak diatas suatu pilihan yang diyakini paling tepat. Dalam hal ini penulis sendiri dengan mantap berdiri diatas perspektif Islam yang tidak menganjurkan kita berutang. Terlebih lagi mengambil utang ribawi yang dampaknya sangat dahsyat. Meski keuangan keluarga tidak sekompleks pengelolaan perusahaan, tapi tetap saja struktur modal (baca : sumber penerimaan) keuangan keluarga harus bersih dari sokongan utang. Ini yang perlu menjadi tekad bahwa utang hanya akan merapuhkan keuangan keluarga kita. Utang bisa menjadi awal malapetaka dari gagalnya kita mengelola keuangan keluarga.
Kita cukupkan dulu pembahasan yang bertujuan untuk menjernihkan perspektif kita sebelum mengarungi lebih jauh dunia keuangan keluarga. Sebanyak 5 (lima) poin yang sudah dibahas adalah bagian dari yang penulis anggap terpenting dan paling mendasar. Topik lain sebenarnya masih banyak, misalkan tentang riba, kekayaan, tabungan, investasi, sewa, dan yang lain. Mengelola atau menyikapi semua itu sebenarnya perlu juga diawali dengan kejernihan perspektif, tapi mungkin akan dibahas pada tulisan yang lain. Selanjutnya pada bagian 2 (dua) tulisan berseri tentang manajemen keuangan keluarga, kita akan menjelaskan tentang prinsip-prinsip perencanaan keuangan keluarga. Insya Allah. (*)
Penulis adalah salah satu admin Grup FB : Klub Belajar Keuangan dan Akuntansi.