Oleh: Aditya Putra
(Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin)
Berita-berita mengenai kisruh politik yang terjadi pada internal Partai Golkar Sulawesi Selatan antara kubu Nurdin Halid bersama Kadir Halid menyangkut kepemimpinan Ketua DPD I yang dijabat oleh Walikota Parepare Taufan Pawe menjadi pengingat bahwa dalam setiap organisasi, konflik merupakan sebuah hal yang tidak dapat dihindari. Hal ini dikarenakan dalam setiap organisasi, yang menjadi penggeraknya adalah manusia, dan kodrat manusia sebagai mahluk sosial yang memiliki nafsu dan emosi acap kali menimbulkan pertentangan maupun kesalah-pahaman dengan manusia lainnya.
Dalam partai politik, konflik dapat terjadi umumnya karena adanya pembedaan ketika individu ataupun kelompok didalamnya memperebutkan sumber daya yang sama seperti kekuasaan ataupun kesempatan, sehingga terjadi benturan kepentingan. Namun perbedaan kepentingan tersebut tidak serta-merta akan menimbulkan konflik, melainkan konflik terjadi ketika salah satu pihak yang terlibat didalamnya menyentuh titik ambang batas “kemarahan” pihak yang lainnya. Di sini, dua macam konflik yang sering terjadi adalah konflik substantif dan konflik emosional. Konflik subtantif ini berkaitan dengan ketidak-sesuaian paham tentang hal-hal terkait visi, misi, tujuan, alokasi sumber daya, kebijakan, serta penugasan politik. Sementara konflik emosional lebih berkaitan dengan faktor individual yang timbul karena perasaan marah, jengkel, ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut, sikap menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian (Minarsih, 2011).
Meskipun demikian, konflik tidak perlu dihindari apalagi ditakuti. Konflik tersebut justru harus dikelola agar dapat digunakan sebagai sebuah kekuatan yang sangat bermanfaat dalam hal melakukan inovasi dan pengembangan organisasi partai politik tersebut. Menurut Rahim (2010), terjadinya suatu konflik dapat merangsang inovasi, kreativitas, dan terjadinya perubahan. Kemudian konflik juga dapat meningkatkan proses pengambilan keputusan dalam organisasi, menjadi cara untuk menemukan solusi alternatif pemecahan masalah, meningkatkan kinerja organisasi, dan memberi pemahaman kepada pihak-pihak yang terkait mengenai konflik yang terjadi tersebut. Hal ini tentu dengan syarat bahwa konflik yang terjadi tersebut mampu diarahkan seperti yang disebutkan oleh Morton Deutsch (1949, 1973), dimana ia membedakan antara konflik merusak (destructive) dan membangun (constructive), dan kemudian mengusulkan bahwa konflik yang sifatnya merusak harus dihindari, sedangkan konflik yang disebut terakhir justru merupakan aspek penting dan sebuah keharusan untuk kreatifitas manusia. Ini menandakan bahwa konflik adalah sebuah keniscayaan, namun output atau hasil akhirnya memiliki kemungkinan untuk merusak atau sebaliknya, justru memperkuat sebuah keadaan. Demikian pula konflik di tubuh Partai Golkar Sulsel ini bisa dipandang dari 2 sisi, yaitu berpeluang besar mengacaukan ritme dan kerja-kerja politik partai tersebut, namun dapat juga berpotensi menaikkan elektabilitas partai berikut tokoh-tokoh didalamnya. Semua ini tergantung pada bagaimana pengelolaan konflik tersebut.
Konflik perlu dikelola dengan menggunakan manajemen konflik. Menurut Ogonor (2004), manajemen konflik adalah sebuah strategi yang digunakan untuk mengurangi frekuensi yang merusak (destruktif) dengan memperkuat penghambat tindakan konflik dan mengendalikan peristiwa penyebab terjadinya konflik. Ogonor juga memandang bahwa manajemen konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan antara dua pihak, sehingga dapat mempengaruhi setiap tindakan yang diambil sebelum atau setelah konflik terjadi dengan tujuan utama dapat mengurangi efek dari konflik tersebut dan untuk memastikan kedua pihak dapat hidup dalam harmoni yang damai dan bertingkah laku secara tertib sesuai dengan aturan yang ada (Tekleab dkk, 2009). Dengan demikian, konflik dalam partai politik selayaknya dikelola seperti halnya sebuah “permainan” yang memiliki strategi-strategi dan rambu aturan (dalam hal ini AD/ART Partai) yang ditaati oleh semua pihak yang terlibat didalamnya. Output dari “permainan” tersebut adalah penyelesaian konflik yang paling efisien, baik dari segi ekonomis maupun dari segi politik.
Sebagai sebuah pemimpin, ketua partai memiliki peran yang sangat penting dalam upaya untuk mengelola konflik tersebut. Kunci paling penting untuk kepemimpinan yang hebat adalah komunikasi (Towler 2003). Pemimpin adalah seseorang dengan keahlian yang luar biasa, dan dalam situasi tertentu ia memiliki potensi untuk melangkah maju, mengambil alih serta membimbing orang lain yang tidak memiliki pengalaman dan keahlian, serta mencoba untuk menanamkan keterampilan dengan cara memotivasi dan membantu mereka dalam mencapai target serta tujuan, baik individu maupun bersama. Untuk dapat menjadi pemimpin yang hebat, seseorang harus menjadi komunikator yang hebat. Pemimpin hebat selalu dianggap sebagai komunikator kelas satu, mereka memiliki seperangkat nilai yang jelas dan mereka senantiasa mempromosikan serta menanamkan nilai-nilai itu pada orang lain. Karena alasan inilah orang-orang menghargai dan mengikuti mereka sebagai pemimpin.
Ketua partai politik juga perlu untuk memiliki kualitas komunikasi kepemimpinan yang mumpuni. Disini komunikasi kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan untuk menginspirasi dan mendorong individu atau kelompok dengan cara berbagi informasi yang sistematis dan bermakna dengan menggunakan keterampilan komunikasi yang sangat baik. Ketika seorang pemimpin menginspirasi timnya ataupun kelompok serta orang-orang di sekitarnya dengan mengomunikasikan ideologi dan tujuannya dengan sempurna, maka hal tersebut membuat mereka menjadi efisien dan mudah dalam melakukan seluruh tugas yang diberikan.
Mangkunegara (2009) kemudian merumuskan beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh pemimpin dalam menangani dan menyelesaikan konflik. Yang pertama adalah menghindari konflik, dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan ditimbulkannya. Yang kedua adalah mengakomodasi, memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi pemecahan masalah, khususnya apabila isu tersebut penting bagi orang lain. Hal ini memungkinkan timbulnya kerjasama dengan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan. Yang ketiga adalah kompetisi atau persaingan, jika pemimpin partai meyakini bahwa dirinya memiliki lebih banyak kelebihan dan kesempatan dibandingkan lawannya. Yang keempat adalah kompromi atau negosiasi, dimana masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan menerima, dan yang terakhir adalah memecahkan masalah dengan kolaborasi atau pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama. Disini perlu ditekankan sekali lagi bahwa untuk menentukan strategi yang mana yang paling efektif mutlak memerlukan kualitas dan komunikasi kepemimpinan yang memadai dari seorang pemimpin.
Tindakan Taufan Pawe yang menyerahkan persoalan internal partai kepada Mahkamah Partai sebenarnya merupakan jalan yang terbaik, yaitu dengan adanya pihak ketiga yang melakukan proses arbitrasi atas gugatan kelompok Nurdin Halid dan Kadir Halid. Dengan demikian bentrokan yang diikuti dengan tindakan pengrusakan terhadap kantor partai Golkar pada tanggal 21 Juli kemarin seharusnya tidak perlu terjadi. Namun disisi lain, isu dan pemberitaan menyangkut hal tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk menaikkan popularitas, tergantung pada bagaimana mengemas isu tersebut. Sebab dalam komunikasi politik “any publicity is a good publicity”, sehingga aktor-aktor politik perlu jeli dalam memanfaatkan semua publisitas. Pemimpin yang memiliki kompetensi politik juga akan memanfaatkan konflik sebagai sarana untuk mengetahui dan memetakan dinamika yang terjadi didalam partainya, sekaligus menggunakannya untuk menentukan pola komunikasi politik yang sesuai agar mampu menciptakan suasana yang kondusif sebagai syarat utama agar dapat mencapai target politik partai tersebut. Meskipun komunikasi yang efektif memang tidak dapat menjamin bahwa sebuah konflik dapat diselesaikan ataupun dihilangkan, namun komunikasi yang buruk jelas memperbesar kemungkinan konflik tersebut membesar maupun menyebar.
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.