Oleh: Aditya Putra
(Dosen Universitas Syekh Yusuf Al-Makassary dan Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin)
Pada tanggal 26 Mei lalu, salah satu partai politik terkemuka di Indonesia yaitu PDI-Perjuangan baru saja selesai melaksanakan rakernas. Gelaran politik akbar partai berlogo banteng bermoncong putih tersebut menjadi salah satu event politik yang dinanti-nanti oleh berbagai pihak, sebab ditengarai menjadi penentu posisi politik partai tersebut selama 5 tahun kedepan.
Rakernas kali ini juga menjadi spesial, karena diselenggarakan di tengah berbagai peristiwa yang tengah hangat di masyarakat, dan juga menjelang diselenggarakannya pilkada bulan November nanti. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila rakernas tersebut sampai menghasilkan 17 rekomendasi, mulai dari pandangan partai terhadap pemilu 2024 dan proses penyelenggaraannya (yang dianggap sebagai pemilu paling buruk sepanjang sejarah Indonesia), perubahan UU MK dan UU Penyiaran, kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal), hingga pada isu internasional seperti peta geopolitik yang bergejolak akibat perang Rusia-Ukraina dan konflik Iran-Israel.
Namun ada 2 poin yang kemudian menjadi menarik, yang pertama adalah permintaan maaf dari partai tersebut terhadap masyarakat Indonesia terkait ”adanya perilaku kader Partai yang tidak menjunjung tinggi etika politik, tidak berdisiplin, dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ideologi partai, serta melakukan pelanggaran konstitusi dan demokrasi”.
Meskipun tidak menyebut nama, namun dapat diasumsikan bahwa statemen tersebut ditujukan kepada Jokowi. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Jokowi tidak diundang pada rakernas tersebut, dan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto sendiri mengatakan bahwa yang diundang adalah “mereka yang memiliki spirit menjaga demokrasi hukum”. Poin yang kedua terkait dengan fungsi kontrol dan penyeimbang untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia, dimana PDI-P kemudian mendorong adanya perlakuan setara dan adil antara partai politik yang berada di dalam maupun di luar pemerintahan.
Kedua poin ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah PDI-P kemudian memutuskan untuk menjadi oposisi selama 5 tahun ke depan? Sayangnya, rekomendasi rakernas tidak menjawab secara lugas terkait hal tersebut, meskipun Ganjar Pranowo sendiri mengatakan bahwa poin-poin yang disampaikan dalam hasil rakernas tersebut telah menggambarkan arah politik PDIP selanjutnya. Apalagi Puan Maharani sendiri menyebutkan bahwa “Rakernas V PDIP memberikan kewenangan penuh kepada Ketua Umum PDI Perjuangan, sesuai dengan ketentuan Pasal 15 Anggaran Rumah Tangga PDI Perjuangan, untuk menentukan sikap politik partai terhadap pemerintah”, sehingga sepanjang sang ketum belum menyatakan sikap, maka segala pernyataan terkait partai tersebut hanyalah spekulasi.
Adapun Megawati sendiri meskipun mengatakan PDIP akan memposisikan diri untuk mengedepankan check and balances, namun tidak juga menegaskan apakah akan menjadi oposisi. Ia menilai bahwa banyak pihak yang menunggu sikap politik PDIP, apakah di dalam atau luar pemerintah, dan menyebut akan ‘memainkan dulu’ soal sikap politik PDIP.
Lalu bagaimana penentuan sikap PDI-P ini akan mempengaruhi dinamika politik di Indonesia 5 tahun ke depan?
Tradisi Partai Oposisi di Indonesia
Oposisi pada dasarnya hadir sebagai bentuk akomodasi untuk kelompok yang memiliki ide berbeda mengenai bagaimana penyelenggaraan sebuah pemerintahan. Tidak ada satu pun sistem pemerintahan demokratis di dunia ini yang bisa menjamin keseluruhan pihak didalamnya untuk sepakat mengenai satu cara untuk menjalankannya.
Seperti yang dijelaskan secara sederhana oleh Dahl (1971), bahwa “oposisi hadir ketika sebuah pihak tidak sepakat dengan cara pihak lainnya dalam menyelenggarakan pemerintahan”, maka dengan demikian, oposisi adalah sebuah keniscayaan, sebuah ’dialectic counterpart of power’ atau dialektika kontra dari kekuasaan, menurut Ionescu dan de Madariaga (1968).
Adapun oposisi dalam pemerintahan ini adalah ’bentuk konflik politik yang paling beradab dan terlembaga’, seperti dikatakan oleh Ionescu lebih lanjut, yang pada negara-negara dengan tradisi demokrasi yang matang seperti di Barat kemudian menjadi sebuah opsi politik yang sangat lumrah.
Bahkan di negara-negara tersebut, keberadaan partai oposisi “sangat dilembagakan dan dilindungi secara hukum”, dan ”diakui secara formal, berhak atas sumber daya publik, serta memiliki kebebasan untuk mengkritik pemerintah yang berkuasa, mengakses media publik, dan mengorganisir secara terbuka” (Dahl 1966; Komisi Eropa 2010). Yang perlu dicatat adalah ketidak-sepakatan tersebut hanya pada cara pelaksanaannya, bukan pada dasar aturan yang menjadi landasannya. Dengan demikian demokrasi sebagai rule of the game tetap menjadi prasyarat wajib yang tidak dapat digantikan.
Selanjutnya, jika kita berkaca pada sejarah, PDI-P bukanlah parpol yang asing dengan peran oposisi. Sejak kelahirannya pada tahun 1999, PDI-P sudah diposisikan sebagai partai oposisi oleh rezim kala itu (yang memang tidak mengakui adanya oposisi). Dan dalam perjalanannya, partai ini juga sudah 2 kali melakoni peran sebagai oposisi, yaitu pada pada periode 2004 dan 2009, seperti yang dikatakan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristyanto.
Dalam disertasinya yang berjudul Oposisi Dalam Sistem Presidensial: Sepenggal Pengalaman PDI Perjuangan (PDIP) di Era Pemerintahan SBY-JK (2012), Tuswoyo menyebutkan bahwa langkah tersebut ditempuh Megawati dengan melarang kader-kader partainya tersebut untuk duduk dalam kabinet terpilih pada saat itu, dan selanjutnya membuat serta mengadopsi Format Oposisi PDIP yang berisi dasar dan orientasi kebijakan PDIP menjadi partai oposisi.
Format Oposisi PDIP tersebut menjelaskan bahwa oposisi dilakukan terhadap kinerja pemerintah berupa kritik terhadap hal-hal yang merugikan kepentingan rakyat namun juga dengan mengajukan alternatif lain yang menguntungkan bagi rakyat. Tuswoyo juga mengungkapkan hal menarik, bahwa isi Format Oposisi PDIP tersebut memberikan penekanan pada kepentingan “wong cilik” sekaligus menjelaskan sikap politik PDIP yang tak lagi berorientasi liberal, sebagaimana pernah dilakukan saat memegang kekuasaan, melainkan kembali pada orientasi kerakyatan atau dengan kata lain kebijakan reposisi seperti yang diamanatkan pada Kongres 2 PDI-P di Bali pada tahun 2005.
Langkah yang diambil PDI-P ketika itu mengundang banyak perdebatan. Banyak yang beranggapan bahwa oposisi itu hanya bisa terwujud dalam demokrasi sistem parlementer, bukan sistem presidensial seperti yang dianut di Indonesia.
Padahal sejatinya memang demikianlah cara demokrasi bekerja. Sebagai sebuah sistem, demokrasi berjalan dengan prinsip adanya ruang untuk memilih didalam pemerintahan, dan ruang tersebut adalah untuk semua, bukan hanya yang terpilih untuk menjalankannya.
Partai yang menang dalam pemilu bertindak sebagai pemegang kekuasaan, sebaliknya partai yang kalah bertindak sebagai oposa, diluar kekuasaan dan bertugas mengontrol kekuasaan serta memberi alternatif kebijakan kepada mereka yang berkuasa sehingga rakyat kemudian mempunyai pilihan kebijakan.
Menjadi oposisi yang berseberangan dengan rezim juga dapat dipandang sebagai bentuk pertanggung-jawaban partai terhadap konstituen yang memilih mereka berdasarkan ide-ide yang mereka usung.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, jika PDI-P pernah menjadi oposisi di masa lalu, lantas mengapa terkait saat ini Megawati masih menunda untuk menentukan sikap partainya?
Jokowi vs Megawati?
Ada beberapa faktor yang setidaknya dapat digunakan untuk menganalisa mengapa PDI-P masih belum menentukan sikap politiknya secara tegas. Secara kepartaian saat ini, PDI-P berada pada posisi yang unik, yang belum pernah terjadi sebelumnya pada pemilu di Indonesia. Meskipun calon presiden usungan PDI-P menjadi capres dengan perolehan suara paling sedikit pada pemilu 2024, namun PDI-P justru menjadi partai yang paling banyak memperoleh suara, yaitu sebanyak 25 juta. Dengan demikian, PDI-P menjadi partai pemenang pemilu, dan akan kembali mendapatkan jatah untuk menempatkan kader terpilihnya sebagai ketua DPR RI.
Kondisi ini berbeda dengan yang dihadapi pada pemilu 2004 dan 2009. Pada pemilu 2004, PDI-P berada pada posisi kedua dibawah Partai Golkar, dan berhasil mendudukkan 109 kursi di DPR RI. Sedangkan pada tahun 2009, PDI-P berada pada posisi ketiga setelah Partai Demokrat dan Partai Golkar, dengan perolehan kursi DPR RI sebanyak 94.
Kursi ketua DPR RI kala itu bukan menjadi hak PDI-P. Sementara pada pemilu tahun 2024, selain berhak mendapatkan kursi ketua DPR-RI, partai ini juga memperoleh milestone dengan keberhasilannya selama 3 kali berturut-turut menjadi partai peraih suara terbanyak pada pemilu. Menjadi oposisi pada saat ini tentu memerlukan pertimbangan lain yang berbeda jika dibandingkan pada tahun 2004 ataupun 2009 yang lalu.
Selain itu, PDI-P masih akan menghadapi agenda politik penting berikutnya, yaitu pilkada pada bulan November nanti. Pengamat politik BRIN Firman Noor mengatakan bahwa kemungkinan PDI-P mempertimbangkan kepentingan-kepentingan politik pada level daerah. Jika PDI-P menegaskan posisi sebagai oposisi saat ini, bisa saja hal tersebut akan menghambat peluang koalisi mereka dengan partai lain di daerah-daerah.
Namun halangan terbesar bergabungnya PDI-P kedalam koalisi dapat dikatakan merupakan dampak dari buruknya hubungan antara Megawati dan Jokowi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Jokowi saat ini adalah ’musuh besar’ bagi Megawati. Mulai dari pencalonan Gibran Rakabuming sebagai pasangan Prabowo (meskipun berstatus sebagai anggota PDI-P), hingga pada “cawe-cawe politik” Jokowi pada masa kampanye adalah ”daftar dosa” yang ia lakukan terhadap Megawati. Sindiran keras Megawati di Rakernas PDI-P V dalam bentuk permintaan maafnya kepada rakyat Indonesia sudah hampir dapat dipastikan ditujukan kepada Jokowi. Sehingga tindakan Megawati yang menunda penegasan sikap partainya tersebut dapat dilihat sebagai sebuah langkah menunggu, selain untuk melihat hasil pilkada, juga pada sejauh mana keterlibatan Jokowi nantinya pada pemerintahan yang baru.
Oposisi atau Koalisi?
Ada sebuah adagium terkenal, bahwa ”tidak ada yang tidak mungkin di dalam politik”. Oleh karena itu, kita tidak bisa serta-merta menganggap bahwa PDI-P sudah pasti akan menjadi oposisi. Namun, pilihan PDI-P untuk menjadi oposisi ataupun ikut dengan gerbong koalisi akan membawa konsekuensi tersendiri, bukan hanya kepada partai tersebut, namun juga kepada proses demokrasi di Indonesia.
Apabila PDI-P masuk ke dalam koalisi, maka jumlah partai pendukung rezim baru nantinya akan semakin banyak. Data dari CSIS (Centre for Strategic and International Studies) menyebutkan bahwa dengan bergabungnya partai Nasdem dan PKB kepada koalisi, maka partai koalisi Prabowo-Gibran tersebut akan mendapatkan 63.64% suara nasional, yang jika dikonversi ke jumlah kursi parlemen menjadi 417 kursi atau 71.89% dari total 580 kursi di DPR RI. Tentu saja dengan bergabung ke koalisi, maka PDI-P akan memperoleh keuntungan dalam bentuk akomodasi politik dari pemerintahan baru nantinya.
Dapat dipastikan bahwa kader PDI-P akan memperoleh kedudukan didalam kabinet tersebut. Namun fungsi check and balance yang menjadi salah satu poin didalam Rakernas PDI-P akan menjadi sangat sulit tercapai. Partai yang kemudian dapat berperan sebagai oposisi praktis tinggal PKS, namun dengan total kursi hanya sebanyak 53 atau sekitar 8.42%, dapat dipastikan proses pengambilan keputusan di parlemen akan didominasi oleh koalisi pendukung.
Dengan demikian, opsi-opsi alternatif terkait penyelenggaraan pemerintahan akan menjadi sangat sedikit, dan itu akan sangat berpengaruh terhadap iklim demokrasi di Indonesia. Kemudian dari segi personal sendiri, menjadi partai pendukung koalisi Prabowo-Gibran akan menghadirkan tantangan tersendiri bagi Megawati selaku ketua umum terkait bagaimana ia akan bersikap terhadap Jokowi maupun kepada wakil presiden Gibran Rakabuming, selepas berbagai pernyataan keras yang ia keluarkan terhadap mereka berdua.
Di sisi lain, jika PDI-P memilih untuk menjadi oposisi, maka partai tersebut akan dihadapkan para kenyataan bahwa mereka harus berkoalisi dengan sesama partai oposisi, yaitu Partai Keadilan Sosial (PKS). Apabila kedua partai ini bergabung, maka suara oposisi di parlemen akan mencapai 28.10% atau 163 kursi.
Namun ada faktor lain yang kemudian membuat berbagai pihak meragukan kemungkinan bersatunya kedua partai ini. Juru bicara TKN Prabowo-Gibran dan juga Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengatakan bahwa perbedaan antara PDI-P dan PKS itu bagaikan air dan api, dimana keduanya merupakan kubu ekstrem dari polarisasi politik yang terjadi di Indonesia.
Sekjen PDI-P Hasto Kristyanto juga mengutarakan hal yang sama, bahwa ideologi antara kedua partai tersebut berbeda sehingga akan sangat sulit bagi keduanya untuk melakukan koalisi. Tetapi, sekali lagi, didalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Terlebih lagi pada level daerah, koalisi antara kedua partai tersebut sudah sering terjadi.
Jika melihat pada skenario diatas, maka keputusan Megawati untuk menunda penegasan sikap politik PDI-P usai pilkada dan setelah terbentuknya kabinet Prabowo-Gibran merupakan langkah yang pragmatis. Ada keuntungan politik yang dimiliki PDI-P saat ini dibanding pada tahun 2004 dan 2009, dan hal itu menjadi riskan untuk dipertaruhkan apabila partai tersebut secara terang-terangan menempatkan diri sebagai oposisi.
PDI-P saat ini perlu fokus kepada pilkada dan upaya-upaya pemenangannya, termasuk melakukan koalisi pada level daerah. Apabila kader-kader ataupun pasangan calon kepala daerah yang diusung oleh PDI-P mampu memenangkan kontestasi pilkada, maka hal itu akan meningkatkan popularitas partai tersebut dan memperkuat posisi politiknya sebagai modal untuk tahun 2029.
Penundaan penegasan sikap tersebut juga memberikan waktu bagi partai tersebut untuk melakukan deal-deal politik belakang layar dengan Prabowo untuk membendung pengaruh Jokowi terhadap pembentukan kabinet rezim baru nantinya.
Sekali lagi, Megawati merupakan figur kunci bagi PDI-P. Oleh karena itu, hubungan antara Jokowi dan Megawati lah yang akan menjadi penentu sikap PDI-P. Jika kemudian PDI-P merapat ke koalisi, maka itu menandakan bahwa Megawati dan Jokowi sudah menemukan titik temu, dan menjadi bukti bahwa Jokowi sukses melakukan “cawe-cawe politik” level tertinggi. (*)